“Kawasan pasar Boplo Gondangdia pernah menjadi pusat penjualan bubuk kopi Ibu kota. Sepanjang jalan Kenari hingga pasar berderet toko-toko memajang stoples berisi penuh biji kopi beserta alat penggiling terpajang gagah di depannya. Serta aroma wangi khas biji hitam tersebut, tak pernah hilang memanjakan indra penciuman orang-orang yang lewat.”

Memori tadi masih tersimpan dengan rapi di dalam kepala seorang Lunardi Valanchie. Pria bernama asli Xu Yilun tersebut berujar bahwa dulunya sepanjang jalan kenari di sisi timur stasiun Gondangdia. Mayoritas berjualan bubuk kopi, namun kini semuanya berganti menjajakan kebutuhan sehari-hari seperti beras, telur, dan air mineral.

Toko Kopi Luwak miliknya menjadi satu-satunya yang masih bertahan. Di tengah serbuan aneka kopi sachet dengan berbagai varian dan harga terjangkau. Meski menurutnya kondisi sekarang tidak dapat lagi mengharap keuntungan. Sebab untuk bisa menutupi kebutuhan sehari-hari dan makan saja sudah cukup.

Lunardi adalah generasi kedua dari keluarganya yang melanjutkan bisnis berjualan kopi bubuk. Sebelum bernama Luwak, setidaknya telah ada tiga kali pergantian nama. Awalnya toko tersebut diambil dari marga keluarganya Xi Nam Bi, namun akibat meletus kejadian G30 S nama tadi terpaksa diganti. Berganti menjadi Toko Kenari, berasal dari hobi ayahnya memelihara jenis burung itu.

“Ketika meletus kejadian G30 S itu kan segala sesuatu yang berbau Cina jadi gak boleh. Maka diganti nama Xi Nam Bi menjadi Toko Kopi Kenari.”

Jauh sebelum berjualan kopi, awalnya sang kakek yang baru saja datang ke Indonesia. Membuka kios obat-obatan Cina. Namun, usaha tersebut tidak berjualan mulus akibat sepi pembeli. Barang dagangan pun diganti menjadi bahan-bahan pokok, tetapi tetap tidak membawa kemajuan berarti karena harus mengambil barang dari koperasi pemerintah. Barulah diakhir tahun 60-an keluarganya mulai menjual bubuk kopi.

Iklan

“Kakek saya itu awalnya setelah dari Cina dia ke Singapura, namun di sana banyak penyakit menular. Maka kakek saya pergi ke Indonesia, awal tiba dia langsung tinggal di sini daerah pasar Boplo Gondangdia. Awalnya jualan obat, kemudian bahan-bahan pokok, baru terakhir kopi seingat saya tahun 69 atau 70an.” Kenang Lunardi saat dijumpai tim Didaktika di tokonya.

        Baca Juga: Kesejahteraan Petani Kopi dibalik Prestige Budaya Minum Kopi

Toko Kopi Kenari memasuki masa kejayannya pada dekade 80-an, saat itu tokonya takpernah sepi. Mulai dari perorangan untuk dinikmati sendiri hingga beberapa kedai dan kafe kopi bilangan Jakarta menjadi langganannya. Terdapat tiga jenis biji kopi yang dijual Arabika, Robusta, dan kopi campuran jagung. Semuanya didatangkan dari Sumatra tepatnya Lampung, kemudian proses penggilingan dan pengemasan dilakukan di toko ketika ada pembeli.

Kopi jagung paling banyak diminati menurut Lunardi pada masa itu. Sebab harganya paling terjangkau, namun tetap nikmat ketika disajikan. Jenis ini sebenarnya berasal dari campuran kopi Robusta dan jagung. “Waktu itu kopi sachet belum banyak seperti sekarang, jadi orang pilih jenis ini buat dibeli.” Terang dirinya sambil menunjukkan wadah kaca terisi penuh jenis kopi barusan.

Nama Kenari bertahan hampir setengah abad hingga tahun 2012. Ketika itu terjadi kebakaran hebat di Kawasan pasar Boplo. Menghanguskan pemukiman sekitar, serta toko kopi miliknya. Dirinya mengaku ketika peristiwa itu, sedang membaca buku di rumahnya. Sehingga tidak banyak yang bisa diselamatkannya, Lunardi hanya berpikir keluar dan membawa surat-surat penting saja.

Pasca peristiwa tersebut Ia memilih mengungsi ke rumah orangtuanya. Sambil memikirkan untuk membuka Kembali tokonya yang telah habis terbakar. Barulah tahun 2014 dirinya memutuskan berjualan kopi lagi, dengan mengganti nama usahanya menjadi Toko Kopi Luwak.

“Setelah kebakaran itu toko tutup saya menganggur selama dua tahun. Saat ingin buka saya konsultasi untuk membuat nama baru. Keluarlah nama Luwak resmilah Toko Kopi Kenari berganti. Pemilihan itu juga pas lagi boomingnya kopi sachet dengan nama itu. Istilahnya kita bakal kecipratan hoki pake nama itu.” Ujar Lunardi sambil tertawa.

Setelah Kembali buka, tokonya tidak serta merta ramai, akibat adanya pergantian nama dan sempat tutup dalam waktu lama. Hingga saat ini, Toko Kopi Luwak tetap menjajakan jenis biji kopi sama seperti masih bernama Kenari. Serta proses penggilingan, juga memakai mesin lama yang selamat dari sisa kebakaran. Hingga kemasan kopi bubuk tetap menggunakan kertas berwarna cokelat, khas bungkusan kopi tempo dulu.

Pelanggan baru berdatangan kembali setelah berjalan dua tahun dari waktu pembukaan. Orang-orang mulai mengenali kembali toko kopi yang memiliki sejarah panjang tersebut. Walau tak seramai masa jayanya Lunardi tetap bersyukur masih bisa melanjutkan bisnis keluarganya.

“Saya bersyukur masih bisa jualan walaupun tidak seramai dahulu. Karena sekarang orang lebih memilih menikmati kopi sachet. Paling tidak penghasilannya masih bisa untuk beli makan sehari-hari sudah cukup.”

Iklan

Selain itu, menurut Lunardi dengan tetap berjualan bubuk kopi yang enak dapat menjadi sarana menyenangkan orang lain. Hal itu sesuai dengan moto Toko Kopi Luwak, “Kopi yang enak itu menyenangkan dan pelanggan itu adalah harta.”

 

Penulis: Abdul

Editor: Ihsan Dwi Rahman