Mahasiswa baru harus mengorbankan materi dan waktu karena alasan Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Prodi (PKMP) wajib diikuti. Padahal, kegiatan tersebut hanya program kerja BEM tanpa fokus melatih kepemimpinan.
Dalam rentang waktu Oktober hingga November 2022, kegiatan PKMP UNJ mulai diselenggarakan. Hal ini merupakan program kerja tahunan BEM Prodi (BEMP). Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini disasarkan pada mahasiswa yang baru memasuki kampus.
Masing-masing BEMP memiliki kebijakan terkait pelaksanaan PKMP di dalam atau di luar kampus. Kebijakan tersebut bergantung pada besaran uang yang diterima BEMP dari masing program studinya. Jika nominal pemberian dinilai kurang atau ada faktor lain yang menghambat pelaksanaan PKMP di dalam kampus, opsi penyelenggaraan di luar dijalankan.
Sebagai contoh program studi PPKN, Psikologi, Pendidikan Akuntansi, dan lainnya menyelenggarakan PKMP di luar kampus. Sedangkan program studi Sastra Indonesia, Sastra Jerman, dan lainnya menyelenggarakan di dalam kampus.
Sayangnya, nominal yang dikeluarkan dalam pelaksanaan PKMP tergolong besar. Peserta harus membayar dengan ketentuan yang ditetapkan untuk mengikuti serangkaian kegiatan. Program studi PPKN tadinya mematok harga 600.000 rupiah, kemudian diturunkan menjadi 350.000 rupiah. Program studi Psikologi menetapkan harga 190.000 rupiah. Pendidikan Akuntansi menetapkan biaya di angka 75.000 rupiah. Belum lagi, biaya dapat bertambah seiring keperluan pribadi mahasiswa.
Seakan minim pilihan, mahasiswa baru mau tidak mau terjerumus untuk mengikuti PKMP berbayar ataupun tidak. Hal ini dikarenakan masih terdengar bebunyian bahwa PKMP wajib diikuti karena berpengaruh terhadap kelulusan. Faktanya, hasil dari PKMP yakni sertifikat kelulusan hanya menjadi pajangan galeri gawai. (mungkin bisa digunakan jika mahasiswa baru ingin mendaftar organisasi semacam BEM atau BEMP). Peraturan Rektor UNJ nomor 7 tahun 2018, mengatur hak dan kewajiban mahasiswa, tidak ada yang menampilkan soal tetek-bengek PKMP sebagai syarat kelulusan.
Pihak BEMP perlu mengevaluasi terkait permasalahan ini. Kebutuhan ekonomi masing-masing mahasiswa tidak bisa dipaku sejajar. Banyak juga mahasiswa yang kesulitan memenuhi hak dasarnya untuk hidup dan membayar pendidikan di kampus. Bukankah seharusnya pihak BEMP tahu karena dalam pendataan tiap mahasiswa baru juga menyangkut soal UKT dan gaji orang tua?
Baca juga: Trisula Perjuangan Ki Hajar Dewantara
Apalagi, jika tujuan dari PKMP hanya bicara soal pemenuhan program kerja tahunan. Rasanya tidak etis karena menjadi timpang antar pemangku kepentingan. Pihak BEMP sebaiknya jujur terkait pelaksanaan PKMP. Hilangkan kebudayaan bohong soal sertifikat.
Langsung saja, acara ditujukan untuk mencari calon anggota baru yang “berminat” menjadi anggota BEMP. Jika tidak berminat, maka jangan dipaksa untuk ikut. Sejatinya, mahasiswa memiliki kebebasan untuk memilih organisasi atau komunitas yang sesuai dengan minat, kebutuhan, dan bakatnya.
Minim Substansi Kepemimpinan
Dapat dilacak dari tahun ke tahun, PKMP selalu menghadirkan tugas yang tidak menjadikan mahasiswanya menjadi pemimpin. Sepengamatan penulis, tugas hanya berfokus pada penulisan esai dan membuat infografis.
Padahal, untuk menjadikan seseorang menjadi pemimpin prosesnya panjang. Tidak cukup dengan penugasan selama seminggu. Seorang pemimipin erat kaitannya dengan pembentukan mental dan cara berpikir. Hal itu bisa di dapat dari pembacaan teori dan terutama intensitas pengalaman.
Contoh, Seorang Sastrawan W.S Rendra yang membangun organisasi teater terkenal di zamannya “Bengkel Teater” selalu menegaskan, sebelum menjadi pemimpin massa, jiwa kepemimpinan untuk mengatur diri sendiri harus dibentuk dahulu. Hal itu diejawantahkan ke dalam pandangannya soal daya hidup.
Bagi Rendra, daya hidup merupakan gairah manusia untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Dalam prosesnya membangun dan mempertahankan daya hidup, Rendra mengalami banyak sekali pengalaman.
Salah satunya, ia harus ditangkap pada tahun 1970 di peristiwa malam tirakat karena lantang menentang watak korupsi pemerintah yang menghambat daya hidup rakyat Indonesia. Dari peristiwa itu, Rendra dengan semangatnya yang hadir dan mengalir dijadikan contoh bagi rekan dan muridnya.
Lain halnya dengan PKMP, peserta didik tidak menemukan jalan untuk mengetahui bagaimana jadi pemimpin karena praktik yang diberikan sedikit. Lebih baik, nama PKMP dirubah. Penggantian nama itu bisa berupa arti filosofis dari kegiatan. Jika program kerja memiliki fokus untuk mencari minat gabung calon anggota baru. Maka, nama program kerja yang dibentuk mengikuti arti filosofinya.
Dengan begitu, seluruh mahasiswa di tiap program studi tidak perlu repot membayar mahal atau mengikuti PKMP. Karena nama yang terpampang dan keseluruhan acara sudah jelas tujuannya “mencari calon anggota baru”. Kegiatan akhirnya mengerucut pada mahasiswa yang ingin mendaftar BEM saja.
Penulis: Arrneto Bayliss
Editor: Izam Komaruzzaman