Sebagai pengetahuan umum, semua orang sudah tahu peran media sebagai apa. Tetapi selain menyajikan berita tentang isu-isu terbaru, baik dari berbagai  macam persoalan dalam kehidupan masyarakat hingga kebijakan negara baik dalam maupun luar negeri, apakah semua orang sudah memahami hakikat kehadiran media itu sendiri?

Mula-mula kita tahu pada zaman sekarang banyak media yang tumbuh menjamur karena siapapun bisa mendirikan sebuah perusahaan media –pihak swasta. Dari hal tersebut tidak menutup kemungkinan adanya pihak yang mencoba menggunakan media untuk kepentingannya sendiri. Contoh ketika seorang pendiri Parpol membuat sebuah media. Bisa jadi seorang pemilik perusahaan media menceburkan dirinya ke ranah politik. Atau juga perusahaan tersebut mayoritas modalnya dikuasai orang-orang politik. Pertanyaan yang muncul mengapa pada akhirnya media tersebut digunakan sebagai alat propaganda, entah untuk menaikkan pamornya atau menjatuhkan lawannya

Dilihat dari sebuah perspektif, pada akhirnya hakikat kehadiran media menjadi abu-abu. Apa yang selalu disampaikan oleh media tersebut akhirnya membutakan, memburamkan apa yang terkandung di dalam berita-berita dari media tersebut, karena begitu kentalnya unsur kepentingan politis satu pihak. Dan bagaimana jika tidak hanya satu media yang dikuasai oleh orang-orang politik?

Dalam sebuah buku yang berjudul Media Control karya Noam Chomsky, dia menulis bahwa pada era perang dunia pertama nun jauh di Amerika sana, media telah menjadi alat negara untuk mengubah masyarakat Amerika, yang tadinya cinta damai (setelah perang saudara yang berkecamuk dan menyengsarakan) menjadi masyarakat yang haus akan perang. Bahkan hingga mengagung-agungkan jiwa patriotis, yang sebenarnya Amerika sama sekali tidak memiliki kepentingan apapun di perang dunia pertama. Inilah sebuah kekuatan media, kita sebut sebagai propaganda.

Dari tulisan Chomsky tersebut kita mengetahui bagaimana jika media dikuasai oleh negara, hanya menjadi alat propaganda negara kepada rakyatnya untuk mencapai tujuannya. Pada akhirnya kita seperti dihinggapi oleh sebuah dilema akan siapa seharusnya media itu dipegang?

Tapi tak semua media yang dimiliki oleh pihak swasta dikuasai oleh kepentingan politik, ada pula yang berdiri di luar jalur tersebut. Tapi pihak swasta telah kita ketahui dimiliki oleh para pebisnis yang memang menjadikan media sebagai lahan bisnis untuk menghasilkan keuntungan. Memberitakan berita karena tahu bahwa berita tersebut sedang menjadi buah perhatian masyarakat, sehingga mendongkrak masyarakat untuk membaca berita yang diberitakan oleh media tersebut. Padahal pada kenyataannya masih ada berita yang lebih penting untuk diberikan. Seperti sebuah kasus remeh yang memang sedang beredar di masyarakat akhirnya lebih banyak dibahas ketimbang sebuah kebijakan pemerintah yang bisa memberatkan rakyat. Pada akhirnya media tetap dikontrol, baik oleh negara atau kepentingan bisnis. 

Iklan

Kalau dilihat lebih teliti lagi, media yang sekarang mayoritas dipegang oleh pihak swasta sebenarnya dapat dikontrol oleh masyarakat.  Sebab sekali lagi rupa-rupanya media swasta tersebut justru mengikuti hukum selera pasar. Seperti yang kita tahu selera pasar justru berada di tangan masyarakat untuk menentukan arah kemana proses itu berjalan. Permasalahannya adalah apakah kita sebagai masyarakat melihat celah tersebut?

Jika masyarakat telah melihat celah tersebut, media dapat digunakan oleh masyarakat untuk mencapai tujuannya yaitu kesejahteraan rakyat. Sekedar untuk mengkritisi kebijakan pemerintah atau bisa saja menjadi alat masyarakat untuk menodong pemerintah agar lebih banyak membuat program-program penyejahteraan rakyat. Media tak hanya sekedar bacaan atau tontonan selintas lalu, yang setelah selesai dibaca, dilupakan dan dibuang begitu saja. Ketika kita tahu bahwa media bisa digunakan oleh negara untuk mengubah rakyatnya, mengapa rakyat tidak bisa menggunakan media untuk mengubah negaranya?

(Ridwan Muhammad)