oleh: Daniel Jeremia*

Baru saja saya menonton ulasan dan trailer dari game yang bernama Watch Dogs: Legion—sebuah permainan dengan mekanisme open world yang penuh dengan nuansa resistensi kelompok sosial (di sini terdapat berbagai opsi fraksi yang dapat dimainkan) terhadap kekuasaan birokrat di era digital. Mengambil setting perkotaan London, Watch Dogs: Legion mengantarkan para pemain untuk menjalani bagaimana realita sosial kehidupan dunia modern yang dipenuhi ornamen-ornamen kuasa berbasis artificial intelligence (cctv, drone, smart city, kendaraan tanpa awak, robot, dan lainnya). Hal tersebut merefleksikan kembali imajinasi saya tentang kondisi hari ini—di tengah jurang pandemi dan arus informatika—sebuah wajah baru kehidupan setelah kematian yang dinamakan “new normal”.

Trisula Paralel Represif

Kesehatan merupakan sebuah ketimpangan sosial—selalu ada arus ekonomi-politik yang berusaha mengatur ke mana arahnya, berapa untungnya, dan siapa yang mendapat privilege. Menempuh bulan kedua kondisi pandemi tak henti-hentinya Pemerintah Indonesia ‘menjejali’ berbagai suguhan gelombang represif kepada masyarakat. Terdapat tiga pola represif yang dapat kita baca perihal kondisi ini, yaitu: represif-legal (melalui kebijakan), represif-langsung (melalui praktik penegak hukum), dan represif-ideologis (melalui hegemoni)—sebuah trisula yang saling melengkapi satu sama lain dari masa ke masa.

Pertama, represif-legal. Mengutip Wittgenstein; “…that there is no such thing as the application of a rule—the instance of applications becomes part of the rule itself” (Laclau & Mouffe, 1970: xiv). Hukum selalu bersifat represif dan dapat digunakan untuk melegitimasi kepentingan golongan. Setidaknya pemerintah telah menghasilkan berbagai wacana dan kebijakan hukum untuk menangani wabah, tetapi ada pula upaya penyisipan regulasi-regulasi lainnya yang bertentangan dengan keperluan masyarakat hari ini. Mulai dari wacana darurat sipil, penerapan PSBB, UU Corona, pembebasan napi, deklarasi surat utang, UU Minerba, Omnibus law, dan berbagai macam rancangan hukum lainnya. Jika ditelaah lebih mendalam, sejatinya negara sedang bersama-sama menggali sebuah lahan di belakang rumah kita—yang mana fungsi lahannya digunakan untuk menanam ‘kepentingan lain’ dari kondisi ini.

Contohnya dapat dilihat dari bagaimana  negara mulai menghadirkan kembali wangi-wangian anti-kritik ketika PERPPU Corona akhirnya diterapkan menjadi Undang-Undang. Di pasal 27 ayat 2, kita tentu mengetahui bagaimana negara melindungi berbagai lembaganya dari tuntutan hukum, selama para pegawai menjalakan tugas dengan dalih “itikad baik”. Tahun 2020, nun jauh di ujung sana, masih ada sebuah REPUBLIK 4.0 yang menggunakan dalih moralitas sebagai pembenaran tindakan yang amoral; karena apabila ‘transaksi di bawah meja’ juga dianggap sebagai “itikad baik”, maka hal yang lumrah apabila banyak orang akan berbondong-bondong ingin menjadi “yang jahat”. Langkah reproduksi legalitas ini berpotensi menciptakan sebuah “distorsi” akan adanya kekacauan di tatanan birokrasi legal-formal. Sehingga hasilnya pemerintah dapat memegang kendali yang lebih kuat untuk mengatur kehidupan masyarakat dengan butir-butir hukum yang diproduksi.           

Iklan

Sedangkan pola represif-langsung dapat dilihat dari bagaimana aparatur negara melaksanakan fungsi state of fear-nya atas fisik masyarakat. Konflik lahan masyarakat adat Pubabu di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi satu dari sekian contoh yang dapat menggambarkan, bahkan di tengah kondisi pandemi, negara semakin gencar melangsungkan kuasanya. Sebuah paradoks apabila jargon-jargon Work From Home (WFH) yang belakangan ini terus dikumandangkan justru dilanggar sendiri oleh orang-orang yang menyuarakan. “Apa benar sistem WFH hanya valid dan berlaku jika kamu adalah ‘kerah putih’ yang tinggal di daerah perkotaan?” Sedangkan masyarakat adat Pubabu yang mana selama ini terbiasa menjalani kehidupannya di rumah mereka—sedang digusur. Yang di luar dipaksa masuk, yang di dalam dipaksa keluar.

Untuk poin yang terakhir, yaitu: represifitas-ideologis dapat kita gunakan five stage of grief dari psikiatris Elisabeth Kübler-Ross—sebuah konsep paralel kejiwaan manusia menuju kematian—yang juga digunakan Zizek dalam buku terbarunya PANDEMIC!: COVID-19 Shakes the World (2020) untuk menggambarkan kondisi hidup manusia di masa pra dan pasca-Covid (new normal).[1] Di dalam konsepnya tersebut Ross menguraikan lima fase atau tahapan psikologis yang akan dilalui seorang manusia saat menghadapi ajalnya. Tahapan pertama adalah denial (penyangkalan); kedua adalah anger (kemarahan); ketiga adalah bargaining (menawar); keempat adalah depression (depresi); dan yang terakhir atau kelima adalah acceptance (penerimaan). Tahapan ini dapat kita gunakan pula untuk membaca sistem berpikir pemerintah Indonesia selama masa pandemi berlangsung.

Denial. Kita tau pada masa-masa awal Covid-19 ini menjadi sebuah isu, pemerintah tidak menganggap virus ini sebagai sebuah urgensi berskala nasional. Baik itu dengan langkah tetap membuka jasa pariwisata, menganjurkan minum jahe, menelaah kekuatan negara dari faktor iklim, dan lainnya. Anger. Setelah kasus ini mulai mengenai satu persatu orang di dalam pemerintahan dan merebak di masyarakat, barulah pemerintah mulai tergesa-gesa untuk mencari perlindungan terbaik. Dengan tidak adanya persiapan negara dan solusi yang mumpuni, terbuktilah disentegrasi antara pemeintah daerah dan pusat dalam bertindak—pemerintah mulai melacak jejak historis yang carut marut untuk memproduksi sebuah hukum.

Bargaining. Pada tahap ini pemerintah mulai memandang wabah ini sebagai sesuatu yang serius. Pemerintah pun mencoba membuka berbagai tawaran dalam menangani wabah. Mulai dari pengerahan influencer, wacana darurat sipil, physical distancing, lockdown, hingga akhirnya jatuh di formula Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun sayang, tawaran pemerintah tidak dapat menahan laju persebaran Covid dan angka kematian. Virus sudah menyebar dan keacuhan menarik kita ke jurang yang lebih dalam. Adapun opsi karantina wilayah tidak diperhitungkan, hal ini membuat berbagai spekulasi masih adakah uang negara.

Ada pula optimisme semu yang dengan mewacanakan “perang” terhadap Covid-19, yang mana tidak sampai satu bulan kita sudah diharuskan berdamai. Begitu pula realita Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan sepihak oleh para pengusaha dan langkah berputar para baron untuk kembali ke dalam rentetan panjang surat utang negara.

Depression. Kekacauan berpikir pada fase depresi dapat membuat mulut dan otak tidak sinkron. Alih-alih memberikan bantuan bagi masyarakat, negara malah mempertontonkan rendahnya kapabilitas linguistik yang selama ini terkubur di dalam istana dengan persoalan makna “mudik” dan “pulang kampung”—sedangkan angka kematian terus meningkat setiap harinya. Adapun di fase depresi pilihan membacakan puisi, konser virtual, dan menciptakan lagu dirasa tepat. Apa memang perilaku politik narsistik ala Trump sudah menjangkit pula di tatanan elite pemerintah. Menurut saya justru waktu luang semacam ini dapat digunakan untuk memberikan atensi pada tenaga medis dan ilmuwan untuk meneliti vaksin.

Di tingkat depresi pula wacana herd immunity yang dianggap sebagai wayout dari persoalan ini muncul.

“Herd immunity describes a state in which an infectious disease transmissible through human contact is unlikely to spread because a large proportion of the population is immune to disease.”      (Boslaugh, 2008: 490)

Perlu diketahui bahwa herd immunity hanya dapat dilakukan dengan dua opsi, yaitu vaksin atau membiarkan masyarakat mendapatkan antibodi dengan sendirinya setelah terjangkit virus. Karena vaksin itu sendiri belum ada, maka kemungkinan opsi kedua akan menjadi pengantar kita ke pintu terakhir; acceptance. Statement dari Presiden Joko Widodo sendiri yang memperkuat ke mana laju Negara Indonesia:

“Informasi terakhir dari WHO yang saya terima bahwa meskipun kurvanya sudah agak melandai atau nanti menjadi kurang, tapi virus ini tidak akan hilang. Artinya kita harus berdampingan hidup dengan Covid.”[2]

Iklan

Lima Langkah menuju Kondisi Normal

Hijrah dari gedung-gedung Wall Street menuju Silicon Valley bukan hal yang sulit bagi para kelas penguasa untuk berkelakar di tengah pandemi. Adanya zoom-bombing, intensitas transaksi digital, WFH, dan kehidupan di bawah robot-robot pintar akan semakin memperjelas bagaimana turunan kondisi “new normal” di Indonesia nantinya. Saya juga baru saja merasakan kebingungan sangat mendalam ketika melihat video kepatuhan robot empat kaki keluaran Boston Dynamics yang bertugas menerapkan social distancing di sebuah taman di Singapura. Adapun dari sektor pekerjaan; twitter baru saja mengumumkan bahwa mereka akan mempekerjakan seluruh karyawan mereka dari rumah—selamanya. Munculnya aplikasi-aplikasi yang menawarkan jasa kesehatan dengan konsep bio-teknologi juga menambah kompleksitas dan pengawasan hidup dalam kondisi ini.

Negara akan menerapkan pengenaan pajak atas produk digital sebesar 10% per 1 Juli. Hal tersebut membuka potensi akan adanya gelombang regulasi dan implementasi berikutnya yang akan menghantam praktik penggunaan teknologi digital masyarakat, baik itu dari dari aspek sosial, ekonomi, kultural, maupun politik.

Berbagai fenomena sosial yang meliputi sistem produksi dan konsumsi via teknologi informasi di masa-masa pandemi ini setidaknya membuat masyarakat telah terlatih untuk semakin berpikir rasional-praktis. Biasnya batas private dan public membuat para tenaga kerja semakin terbiasa dan terasa nyaman untuk dapat bekerja overtime. Coba tanya teman atau keluarga Anda yang lebih memilih WFH karena pengeluaran transportasi untuk berangkat ke kantor dan makan siang telah menurun secara drastis. Tentu hal ini tidak dapat dirasakan oleh para tenaga kerja informal yang harus berjibaku seperti hari-hari biasanya. Manusia akan semakin terpaku dan didikte oleh angka dibanding analisis-analisis mendalam yang sangat teramat panjang dan produk-produk teknologi informasi akan semakin laku di pasaran. Manusia mulai terbiasa untuk belajar tanpa guru dan guru mulai menempatkan kemampuan teknis di atas kemampuan berpikir kritis.

Agenda untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi “kelas menengah” akan terealisasi. Sebab di masa-masa pandemi ini akumulasi informasi telah berubah menjadi kapital. Hal tersebut terjadi karena diubah manusia menjadi perangkat lunak spasial dengan kapasitas megabyte dan gigabyte. Mewajarkan akumulasi informasi dan kemampuan teknis membuat terciptanya sebuah relasi kerja yang adapatif—apabila tenaga kerja dianggap ‘telah usang’, akan mudah untuk mencari yang baru. Para tenaga kerja akan mulai semakin terbiasa untuk digantikan dengan robot, dan robot mulai semakin mudah mengidentifikasi perilaku manusia.

Namun perlu kita cermati,  sekuat dan fleksibel apapun patok-patok dari kelas penguasa atas suatu kondisi, akan selalu ada sebuah tangan-tangan resistensi yang berusaha menghantam lajunya. Setidaknya dari kondisi ini, kesatuan kekuatan pekerja, komunitas informasi, medis, media alternatif, lembaga perlindungan hak digital, lingkar pengangguran, dan berbagai bentuk inovasi organisasi sosial lainnya yang akan muncul dan memperbaharui skema gerakan, dapat menjadi wadah penanggulangan yang tepat terhadap arus liar sistem kehidupan di era 4.0. KABARKAN.

*Penulis adalah Alumni Sosiologi Universitas Negeri Jakarta


[1] Slavoj Zizek, PANDEMIC!: COVID-19 Shakes the World. 2020, (London: OR Books), hal. 53.

[2] Diakses melalui situs https://www.kompas.tv/article/81382/jokowi-pemerintah-akan-atur-aktivitas-kembali-normal-warga-harus-hidup-berdampingan-dengan-covid-19?page=2 pada tanggal 16 Mei 2020, pukul 10.04 WIB.

Daftar Pustaka

Boslaugh, Sara & Louise-Anne McNutt. Encylopedia of Epidemology. 2008. Thousand Oaks: SAGE Publications.

Laclau, Ernesto & Chantal Mouffe. Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. 1985. London: Verso.

Zizek, Slavoj. PANDEMIC!: COVID-19 Shakes the World. 2020. London: OR Books.