Cinta merupakan bagian tak terlepaskan dari kehidupan kita. Baik disadari maupun tidak, sebagai makhluk yang senantiasa bergaul dan berhubungan dengan orang lain, sudah barang tentu hal tersebut senantiasa kita rasakan.
Lalu, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan cinta? Apakah kondisi dimana jantung berdegup kencang dan pikiran yang melayang-layang nan mabuk kepayang yang disebut dengan cinta? Pernahkah kita berpikir dan merefleksikan kembali apa yang sebenarnya disebut dengan cinta? Tentu menarik untuk ditelaah lebih jauh mengenai hal tersebut.
Menurut KBBI, cinta adalah suka sekali, sayang benar, kasih sekali, ingin sekali, berharap sekali, rindu, susah hati, dan risau. Sayangnya, definisi tersebut justru membuat konsep cinta menjadi rancu dan semakin kabur dari subtansi cinta itu sendiri.
Padahal, cinta menurut penulis, sangat berbeda dengan suka, sayang, berharap, dan apalagi risau. Mengutip Fromm dalam buku The Art of Loving, ia menuliskan bahwa cinta adalah aktivitas penggunaan kekuatan inheren tanpa peduli perubahan eksternal yang diakibatkannya. Jadi, cinta adalah kondisi “berada”, bukan “jatuh kepada”, yang dalam ungkapan lain, cinta adalah memberi, bukan menerima.
Sebuah pendapat menarik dari Fromm bahwa intisari cinta adalah memberi bukan menerima. Sebab, kita kerap kali kecewa dan merana apabila ditolak perasaan cintanya. Hal ini sebab dalih cinta, kerap kali dijadikan tameng akan sebuah ekspektasi dan hasrat untuk memiliki yang tak bisa kita kendalikan. Jadi, penulis merasa perlu untuk mengajak pembaca sekalian merefleksikan ulang, benarkah cinta suci itu untuk “dia” ataukah hanya sikap egois kita terhadap hasrat memiliki yang tidak terkendali?
Kesalahpahaman antara cinta dan ekspekstasi ini sudah dari dulu terjadi. Salah satu biang keladinya adalah kapitalisme. Kenapa kapitalisme? Karena sistem inilah yang menjadikan segala orientasi menjadi berfokus pada timbal balik apa yang telah diberikan dari “investasi” yang selama ini telah diejawantahkan dalam bentuk waktu, uang, dan pemikiran. Hal itulah yang telah merubah sedemikian rupa manusia menjadi individu pelit yang tidak mengenal ketulusan tanpa pamrih. Maka hal itu juga, yang membuat kata-kata “cinta tak harus memiliki” dianggap sebagai suatu bualan belaka.
Kalimat jujur dan apa adanya terhadap suatu realitas tersebut seolah hanyalah sekedar omong kosong belaka, apalagi bila dibenturkan dengan mereka yang terkonstruk oleh pola berpikir konsumtif. Sebab, mereka telah kehilangan suatu karakter produktif yang menyebabkannya selalu menuntut, alih-alih meraih potensi puncak dengan merasakan kekuatan dan kemakmuran yang mengisi hati dengan kebahagiaan melalui memberi.
Selain itu, belenggu narsisme juga mengambil peranan penting. Dimana seseorang merasa seolah-olah hanya tubuh, kebutuhan, perasaan, dan pikirannya sendirilah yang nyata. Membutakan dirinya terhadap realita, dan gagal melihat segala sesuatu dengan apa adanya. Padahal, yang merasa bukan hanya dia seorang, begitu juga dengan kekasih hatinya yang justru terhimpit oleh kebuasan eksploitasi nafsunya yang selama ini disalahpahami sebagai cinta oleh individu yang terbelenggu oleh kemahakuasaan narsismenya.
Apabila sedikit bergeser pada objek yang lain, sejatinya wujud-wujud cinta juga senantiasa kita rasakan, bahkan sedari kecil oleh orang tua kita sendiri. Sosok ibu adalah eksistensi konkrit akan makna cinta sebenarnya. Sebuah kasih tulus, tanpa pamrih terhadap anaknya, tanpa mengharapkan timbal balik apapun dari anaknya. Begitu juga bapak yang turut andil menaruh sumbangsih dalam membangun kerangka metode dalam cinta. Dengan gaya pendidikannya yang keras dan sejumlah persyaratan yang diterapkan bagi anaknya, membuat suatu nilai yang tertanam bahwa untuk mendapatkan cinta juga butuh sikap tau diri bagi sang anak. Sehingga, timbul kesadaran anak tersebut untuk tidak hanya pasif menerima, namun juga aktif untuk menghidupkan objek yang dicintainya.
Bicara tentang konsep menghidupkan, sedikit banyak dapat ditelaah lebih jauh dalam buku Erich Fromm yang berjudul To Have or To Be. Dalam salah satu bahasannya, ia mengutip dua puisi yang berasal dari dua kutub kebudayaan berbeda, yakni barat dan timur. Dalam salah satu syair yang ditulis oleh Tennyson yang berasal dari Inggris, ia menceritakan pengalamannya terhadap bunga yang indah, yang dengan keindahannya membuatnya ingin memetik hingga ke akarnya. Di sisi lain, Bashoi yang berasal dari Jepang, hanya ingin merasakan keindahannya dan membiarkan dirinya hidup di alamnya.
Kedua puisi tersebut, tersirat suatu sikap yang sangat kontras dampaknya. Tennyson mengambil sikap untuk memetik dan mengambil bunga tersebut yang barang tentu semakin lama justru membuatnya semakin layu dan mati. Sedangkan Basho, merasakan dan menyatu dengan keindahannya dan membiarkan bunga tersebut untuk tetap hidup dan memancarkan keindahan.
Maka dari fenomena tersebut, dapat kita tinjau kembali terhadap tema yang dibawa oleh penulis yaitu cinta tak harus memiliki. Memiliki bukanlah satu-satunya jalan keluar menuju kebahagiaan, baik bagi objek dan apalagi terhadap subjeknya. Namun, kebahagiaan sejati terletak pada aktivitas cintanya itu sendiri, bukan ketergantungan palsu terhadap objek yang selama ini kita anggap sebagai ekspresi cinta yang padahal justru hanyalah wujud masokisme. Maka, sebenarnya alih-alih hanya menuntut dan terus mengharapkan cinta, justru akan semakin lebih baik jika fokusnya adalah membesarkan hati dan meningkatkan kapasitas diri sendiri dalam mencintai. Sehingga, manfaatnya akan jauh lebih terasa bagi semua pihak yang terlibat didalamnya.
Referensi:
Fromm, E. (1989). The art of loving. New York: Perennial Library.
Fromm, E. (1976). To have or to be?. New York: Harper & Row.
Penulis : Fadhlan Aziz
Editor : Ahmad Qori