Karya: Latifah
Akhirnya keluar juga!
Saya bergegas pergi. Masih ada waktu satu setengah jam untuk bisa sampai di tempat yang telah ditentukan. Semoga tidak terlambat meski semenitpun.
Angkutan umum bernomor D11 membelah jalan Margonda Raya. Kawasan yang hampir tak pernah sepi. Saya dan beberapa teman pernah berkelakar bahwa kami tidak akan kelaparan selama berada di sini. Banyak rumah makan yang buka hingga dini hari, bahkan dua puluh empat jam. Tapi untuk orang dengan dompet tipis seperti saya, nyatanya bisa kelaparan juga.
“Kampus ya, Bang,” ujar Saya ketika dari kejauhan melihat sebuah gapura yang sangat khas. Sang supir mengurangi kecepatan dan menepi ke kiri jalan. Di bahu jalan sedang ada galian yang hampir sepanjang tahun tak pernah selesai. Betapa baiknya pemerintah memberi pekerjaan tak putus pada kuli bangunan.
Kemudian saya menyebrangi jalan. Sebuah motor berhenti dan mengayunkan tangan kirinya dengan maksud agar kendaraan lain memberi ruang untuk kami, pejalan kaki. Mungkin sudah ratusan kali saya menyebrang, tapi simpati saya tak pernah usai untuk pengendara seperti itu.
Saya melewati jembatan kecil yang berada di antara gedung kampus dan gedung lainnya. Saya tidak tahu gedung yang tengah dibangun itu fungsinya apa. Sungai di bawah jembatan ini keruh dan berbau. Tapi itu tidak berarti dapat mengusir pengemis yang duduk menghalangi jalan. Mereka seolah-olah tertidur dengan sebuah mangkuk kaleng kecil di sisi kanan.
Walau jembatannya terbuat dari adukan semen (saya benar-benar tidak tahu namanya apa), tapi ini sangat rentan bahaya. Permukaannya miring. Tentu bukan dengan sengaja dibuat seperti itu untuk menguji adrenalin. Tapi ini merupakan akibat dari pembangunan gedung yang saya tidak tahu apa fungsinya tersebut. Saya khawatir pihak pengembang akan menutup jalan ini dengan dalih telah membelinya. Mungkin sepuluh tahun ke depan, saya harus memiliki baling-baling bambu karena semua jalan telah dikuasai perorangan.
Yang saya tuju sebenarnya adalah stasiun Pondok Cina di belakang kampus itu. Antrean tiket tidak sepanjang beberapa hari lalu. Sejak menggunakan mesin, saya tidak pernah lagi bertemu dengan teman masa kecil saya yang sebelumnya bekerja sebagai penjaga loket tiket commuter line. Mungkin saja dia pindah bagian. Atau justru pindah pekerjaan.
Tak lama berdiri di peron, kereta Jakarta Kota datang. Saya menaiki gerbong ketiga. Setelah duduk, saya mengeluarkan sebuah novel yang baru saja dipinjami seorang teman. Saya tidak pernah memberi waktu khusus untuk membaca. Tapi saya cukup sering membaca ketika sedang dalam perjalanan, sedang menunggu orang, atau menanti pesanan di rumah makan.
Setiba di stasiun Cikini, saya bertemu dengan seorang teman sekolah. Sebelumnya kami memang sudah janji untuk pergi bersama. Ia mengenakan jaket coklat dan ransel yang bisa saya taksir tidak terisi banyak barang. Mungkin hanya dijadikan sebagai pemanis saja.
Kami langsung keluar stasiun. Hari ini kami hendak menonton sebuah film yang kami tunggu-tunggu sejak tahun lalu. Saya dan dia sebenarnya jarang pergi bersama. Kebetulan saja kami memiliki selera film yang sama.
“Aku kira tidak akan keluar di bioskop,” kata saya. Dia mengangguk. Kami memilih berjalan kaki menuju Taman Ismail Marzuki.
“Lucu juga. Film-film yang menang piala citra ternyata belum pernah ditayangkan di bioskop Indonesia.”
Meski pembicaraan menjalar kemana-mana dan semakin seru, saya masih membagi fokus pada yang saya temui di jalanan. Sebuah wadah yang terbagi tiga bagian, dua bagian berisi butir-butir yang sama besar berwarna krem dan satunya berisi air. Hal itu tidak akan menarik apabila hanya ada satu, tapi semakin mendekati TIM, wadah tersebut terhitung banyak ditiap bawah tiang listrik atau apapun di pinggir jalan.
Ternyata dia juga sama penasaran dengan saya. Sampai sebelum melewati sebuah gedung dengan gerbang hitam, kami menemukan jawabannya. Seekor kucing sedang menjulurkan lidah pada wadah tersebut.
“Wah baru kali ini aku melihatnya. Jadi ingin tahu siapa yang melakukannya,” ucap saya yang takjub melihatnya.
“Kadang berbuat manusiawi saja sulit, tapi orang yang melakukan ini pasti kesadaran adil pada sesama makhlukNya sudah tinggi,” komentarnya seraya menghampiri kucing tersebut. Ia memastikan bahwa yang dimakan kucing itu merupakan makanan kucing dalam kemasan persis yang pernah dilihatnya di rumah sang paman.
“Kok aku jadi merasa damai ya mendengarnya?”
Kami tertawa.
Memasuki bioskop, kami langsung memesan untuk jam tayang saat itu juga. Kami memilih tempat duduk baris ketiga dari belakang. Penontonnya sepi. Mungkin karena jam kantor. Kami kaget juga ternyata empat diantara sepuluh penontonnya adalah ibu-ibu. Menurut saya, mereka bukan ibu-ibu biasa. Maksudnya bukan biasa, mungkin mereka dari kalangan intelektual. Ini sih subjektif saja. Penilaianku atas penampilan mereka.
Judulnya Siti. Film ini merupakan film terbaik versi Festival Film Indonesia dua ribu lima belas. Saya yang menonton siaran acara tersebut di televisi, merasa asing karena tidak pernah melihatnya di bioskop. Ternyata Siti memang dibuat tidak untuk bioskop. Siti telah memenangkan beragam penghargaan dan diputar dalam festival film di berbagai Negara.
Saya sendiri merasa miris. Mengapa antusiasme negara lain justru lebih tinggi pada Siti dibanding dalam negeri? Padahal Siti ini menangkat isu lokal yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia sendiri.
Saya sendiri tidak mengerti industri film. Yang saya ketahui hanya film yang mendapat penonton banyak itu biasanya bergenre cinta, komedi, horor, atau religi. Selera saya saja yang agak payah. Menonton itu untuk hiburan. Buat apa menghibur diri dengan film yang sepanjang ceritanya bicara tentang kehidupan yang pelik? Sekalipun itu justru kenyataan yang ada di sekitar kita. Pantas saja film ini tidak diputar di banyak bioskop.
Hitam putih pantai yang Siti telusuri menjadi akhir dari film yang durasinya menurut saya tidak terlalu panjang seperti film kebanyakan. Saya dan dia keluar dari sana. Rasa-rasanya baru tadi saya sampai di sini.
Masih terlalu siang untuk kembali ke rumah. Saya dan dia pun memilih kembali berjalan. Ya, dia sangat suka sekali jalan kaki. Kami memulai lagi pembicaraan tentang banyak hal. Dia menunjuk sebuah bangunan yang katanya dahulu adalah pabrik roti. Entah tertua atau terbesar di Jakarta. Saya tak mendengar dengan baik karena suaranya kalah dengan deru kendaraan.
Kemudian perhatian saya teralih pada trotoar yang kami lewati. Terdapat mural dengan ragam gambar dan tulisan. Bulan lalu saya ke TIM dan tak melihatnya karena menaiki kendaraan roda dua. Dia bilang mural ini merupakan hasil kerja sama antara seni rupa Institut Kesenian Jakarta dan jurusan bahasa Korea Universitas Nasional. Mungkin dia sengaja mengajak saya ke sini. Buktinya dia sudah tahu banyak tentang jalanan ini.
Kami tidak tahu benar ingin kemana. Begitu melihat sebuah plang bertuliskan Masjid Cut Meutia, saya mengajaknya untuk ke sana. Kami tetap berjalan kaki meski tak tahu seberapa jauh letaknya.
Kali ini kami membahas tentang film tadi. Tentang betapa mendalamnya Sekar Sari menokohkan Siti. Tentang Bintang Timur yang berperan sebagai anak siti namun seperti tidak sedang berakting. Seperti anak pada biasanya. Tentang kami yang baru akan menonton apabila suatu film telah mendapat penghargaan. Bisa-bisanya kami menggantungkan selera film kami oleh industri penghargaan yang mungkin saja banyak permainan di sana.
Ia tertarik dengan lagu di karaoke yang berbahasa Jawa. Bila di Indonesiakan artinya: jangankan uang lima ribu, uang seribu saja tidak punya. Bukan. Bukan saya bisa berbahasa Jawa, tapi memang ada terjemahnya di layar. Bisa dibayangkan, bila kami menonton film tersebut dalam festival di luar negeri, mungkin kami ikut penonton di sana dengan membaca terjemah ke dalam bahasa Inggris.
Kami memang lebih mengerti bahasa Inggris daripada bahasa Jawa.
19/Feb/2016