Judul : Tiba Sebelum Berangkat
Penulis : Faisal Oddang
Penerbit : PT Gramedia, Jakarta
Tahun : 2018, cetakan pertama

 

Novel macam apa kira-kira yang prolognya seperti ini?

“Saat penisnya ditindih kaki kursi, Mapata teringat kata-kata Sukeri, ada setan perempuan dalam tubuhnya. Ketika lidahnya dijepit tang sebelum dipotong dengan sembilu, satu-satunya yang Mapata sesali adalah bahwa dia tidak bisa lagi memuaskan Battari, istrinya….” (hlm. 1)

Kekejaman dan kevulgaran menyatu dalam padanan dua kalimat tersebut. Namun, ada satu lagi yang tak bisa dilupakan yaitu keambiguan. Kalimat pertama yang sengaja diposisikan penulis sebagai pembuka novel ini menimbulkan prasangka pembaca terhadap Mapata (tokoh utama). Apakah dia seorang homoseksual? Namun, berikutnya anggapan itu dibantah oleh kalimat berikutnya.

Prolog tersebut diambil dari novel “Tiba Sebelum Berangkat” karya Faisal Oddang. Meskipun prolognya seperti itu, novel ini tidak menceritakan seorang homoseksual atau biseksual, atau yang secara umum kita kenal dengan istilah “waria”. Novel ini bercerita tentang bissu. Bissu merupakan seorang yang dianggap suci yang tidak memiliki satu gender dalam kebudayaan masyarakat adat Bugis.

Bissu berbeda dengan waria. Sosok bissu dalam novel ini digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai tingkat gender dan spiritualitas tinggi. Bissu bisa menempatkan kapan dia akan mengeluarkan nafas sebagai perempuan dan atau laki-laki. Sebagaimana yang dijelaskan di novel ini, bissu merupakan penyambung lidah masyarakat Bugis dengan Tuhan, Dewata Sewwae (hlm 11).

Iklan

Mapata yang disebut dalam prolog novel ini merupakan seorang bissu. Sebelum menjadi bissu, Mapata menjadi seorang ‘Toboto’. Toboto adalah orang yang mengabdikan dirinya kepada bissu. Toboto harus rela melakukan apa yang diperintahkan oleh bissu dan bissu juga mempunyai tanggung jawab terhadap Toboto. Bissu harus membiayai kehidupan Toboto dan mencarikannya jodoh.

Toboto dipilih oleh bissu untuk disiapkan sebagai penerusnya. Begitu pun dengan Mapata. Mapata dipilih oleh Puang Matua Rusmi. Ketika dia dipilih menjadi seorang toboto, otomatis dia dipersiapkan menjadi seorang bissu seperti Puang Matua Rusmi.
Mapata adalah toboto yang taat. Ia mau melakukan apa yang disuruh oleh Puang Matua, termasuk melakukan persetubuhan dengannya. Mapata diberi tahu bahwa yang mereka lakukan itu adalah suatu ritual yang harus dilakukan dirinya dan Puang Matua Rusmi. Ritual itu sering mereka lakukan di rumah Arajang— rumah tempat menyimpan pusaka suci.

Namun, perjalanan dia untuk menjadi seorang bissu tidak berjalan mulus. Dia diterpa oleh berbagai godaan dan kekacauan. Mulai dari diajak kawin lari oleh keponakan Puang Matua Rusmi, Battari sampai ditawan oleh organisasi masyarakat (ormas) agama, sebut saja Islam.

Novel ini hendak mengangkat cerita dari Indonesia Timur yang mulai dilupakan. Bukan hanya tentang bissu itu apa, melainkan cerita bagaimana bissu yang terancam hilang karena sengaja dihentikan proses regenerasinya.

Bissu sering kali dianggap menyimpang. Menyimpang karena mereka bisa menjadi perempuan dan laki-laki. Menyimpang karena Tuhan yang mereka yakini adalah Dewata Sawwae. Padahal dari sebelum Indonesia merdeka, bissu sudah ada. Bissu adalah bagian dari kebudayaan Indonesia.

Cerita tersebut disampaikan melalui tokoh bernama Mapata. Pertamanya adalah Mapata ditawan oleh Ali Baba, Ketua Ormas. Mapata dianggap menistakan agama. Selain itu, saat ditawan, ia juga dia dihujani berbagai tuduhan mulai dari keterlibatan di Permesta sampai disangka simpatisan PKI.

Selama ditawan di suatu ruangan, ia rutin diberikan kertas dan pulpen dipaksa untuk menjelaskan apa itu bissu dan tuduhan-tuduhan yang diberikan oleh Ali Baba. Dari sinilah sebenarnya cerita dimulai. Alur cerita yang dibuat flashback. Cerita tentang bissu dan bagaimana bissu diatur sedemikian rupa agar tampak seperti komunitas yang menyimpang.

Mapata menuliskan bahwa semua itu adalah gara-gara beberapa perang yang tejadi dan kedatangan tentara jawa ke Sulawesi Selatan 1952. Mereka (tentara Jawa) menganggap bahwa provinsi Sulawesi Selatan itu bukan untuk orang Bugis atau putera daerah, melainkan untuk orang-orang Jawa. Dalam cerita di novel ini digambarkan bahwa akibat peristiwa itu, orang Bugis mempunyai sentimen sendiri terhadap orang jawa. Mereka menyebut tentara dari Jawa dengan panggilan ‘Gurilla’.

Kedatangan DI/TII dan orang Jawa yang ingin mengislamkan provinsi Sulawesi Selatan juga cukup mencekik para bissu. Banyak dari mereka yang dibatai karena dianggap menistakan agama. Beruntungnya, Puang Matua Rusmi tidak terbunuh. Dengan kesempatan itu Puang Matua Rusmi giat mencari penerus-penerus bissu agar tidak punah, salah satunya adalah Mapata.

Sebenarnya, membaca “Tiba Sebelum Berangkat” seperti bukan membaca sebuah novel, melainkan karya jurnalisme sastrawi. Setting tempat, nama ormas, tentara dan beberapa kejadian sebenarnya banyak juga diceritakan oleh buku-buku sejarah. Seperti peristiwa DI/TII, lalu ada tentara KNIL dan masih banyak lagi. Meskipun begitu, novel ini tetap enak untuk dibaca. Memberi peringatan bahwa bissu adalah bagian dari keberagaman budaya dan kepercayaan yang ada di Indonesia.//Yulia Adiningsih

Iklan

 

Editor: Lutfia H.