- Judul : Cantik Itu Luka
- Penulis : Eka Kurniawan
- Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
- Tahun : 2016
- Tebal Buku : 505 halaman
- Diterbitkan pertama kali oleh AKYPress dan Penerbit Jendela pada Desember 2002
Cantik Itu Luka adalah salah satu dari empat novel karya Eka Kurniawan yang mendapat sorotan dunia kesusastraan internasional. Dari kekreatifannya dalam menggunakan konsep realisme magis, maka tak mengherankan jika novel yang sudah diterjemahkan ke dalam 34 bahasa ini memenangkan penghargaan sebagai World Readers 2016 di Hongkong.
Eka menceritakan berbagai peristiwa yang terjadi saat zaman kolonialisme di Indonesia. Seperti, penjajahan Jepang, pemberontakan kelompok nelayan, sampai terbentuknya Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa bersejarah itu nyata, tetapi Eka membangun cerita dengan menyelipkan hal-hal magis yang tidak rasional, itu lah konsep realisme magis yang Eka hadirkan. Seperti, dendam roh jahat (Ma Gedik) kepada keturunan Ted Stamler yang telah merebut Ma Iyang-nya. Dendam tersebut menjadi kutukan bagi Dewi Ayu, anak-anaknya, dan menantu-menantunya. Bahkan, hingga Dewi Ayu bangkit dari kubur setelah 21 tahun lamanya. Kutukan tersebutlah yang mengiringi munculnya peristiwa sejarah di novel ini.
Awal mula Dewi Ayu menjadi budak seks adalah ketika satu persatu orang pribumi ditangkap dan dikirim ke Bloedenkamp, sebuah penjara yang sangat menjijikkan dan penuh sesak dengan tahanan. Mereka mengalami kelaparan dan banyak yang terserang penyakit. Setelah penderitaan itu, Dewi Ayu beserta 19 gadis cantik yang lain, dibawa paksa oleh pasukan Jepang ke sebuah rumah pelacuran Mama Kalong.
Penulis kelahiran 1975 ini, seolah ingin menceritakan bahwa perang dapat merendahkan derajat perempuan dengan menyeleksi gadis-gadis tahanan perang untuk dijadikan pelacur. Hal itu lah yang menyebabkan novel ini banyak menjabarkan pekerjaan PSK, seperti kutipan berikut.
“Dewi Ayu, pelacur itu, terkejut mendengar maklumat yang dikatakan Maman Gendeng, namun tetap bersikap waspada terhadap apapun yang diinginkannya, sebab kedudukannya sekarang sangatlah jelas setelah membunuh Edi Idiot, maka ia hanya mengirim seorang kurir untuk mengundang sang preman yang baru. Maman Gendeng menerima dengan baik undangan tersebut, dan berjanji akan datang sesegera mungkin.” (hlm. 130)
Eka juga membahas penyimpangan sosial yang dilakukan Dewi Ayu. Penyimpangan sosial yang dilakukan oleh tokoh utama merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Pekerja seks bertugas melayani orang-orang yang menyewa jasanya sebagai pemuas berahi. Hal itu bertentangan dengan nilai-nilai agama yang masih tertanam kuat di masyarakat karena pelacuran termasuk bagian dari zina.
Selain PSK, preman dipilih sebagai pekerjaan tokoh lain di novelnya, yaitu Maman Gendeng. Preman merupakan salah satu kasus penyimpangan sosial, karena dianggap melanggar nilai dan norma agama yang sangat melekat kuat di masyarakat.
Penyimpangan sosial pun bisa dilakukan karena kehendak pribadi (biasanya tuntutan ekonomi) maupun karena faktor lingkungan yang sebagian besar orang di sekitarnya adalah pelaku penyimpangan. Dalam kasus Maman Gendeng, selain karena kehendak pribadi, masyarakat juga melabelinya sebagai seorang begundal pengangguran yang hanya merepotkan warga kota.
Dengan memunculkan kasus penyimpangan sosial, Eka seolah memberi sindiran ke masyarakat yang masih suka melakukan labelling kepada pelaku penyimpangan sosial (devians). Pengambilan kasus labelling di novel ini dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
“Mereka percaya bahwa kita adalah sampah-sampah masyarakat yang tidak berguna,” Maman Gendeng menyimpulkan. “Itu benar, tapi banyak di antara kita kekurangan pendidikan untuk menjadi apa pun dan mereka menutup pintu. Apa yang kita lakukan pada akhirnya menjadi garong, menjadi pencopet, dan hanya menunggu waktu untuk melampiaskan dendam pada orang-orang yang telah membuat mereka cemburu. Aku cemburu melihat orang baik-baik memiliki keluarga yang bahagia. Aku menginginkan hal seperti itu. …. Dan kini, setelah aku memperolehnya, seseorang merampas kembali kebahagiaan itu dariku. Dendam lama terbuka kembali, seperti sebuah luka.” (hlm. 468)
Maman Gendeng sebenarnya sudah mengumpulkan uang dan bermimpi untuk membangun kehidupan keluarga yang damai dengan melepaskan label premannya. Sayangnya, mimpi tersebut harus ia kubur setelah anaknya, Rengganis Si Cantik, mengaku diperkosa dan enggan mengungkapkan siapa pelakunya. Ia pun dibutakan oleh amarah dan membuat kerusuhan di Kota Halimunda. Tak peduli lagi dengan citra dirinya yang semakin memburuk. Toh, yang masyarakat kota percayai dia adalah preman, penyuka kekerasan, dan sampah masyarakat. Sekalipun Maman Gendeng berhasil pensiun dari kepremanannya, stigma buruk masyarakat terhadapnya tidak berubah.
Kasus seperti yang dialami Maman Gendeng sebenarnya dapat kita temui di lingkungan sekitar. Banyak mantan narapidana yang kehadirannya ditolak masyarakat karena stigma yang buruk tersebut. Dalam waktu yang lama, label dan stigma yang terus mengekori kehidupannya, justru bisa berdampak buruk di masa depan. Makin lama, ia akan percaya bahwa kejahatan adalah bagian dari dirinya yang tak dapat dipisahkan dan ia akan mencari, bergabung, dan bergaul dengan kelompok orang yang merasa senasib dan sependeritaan. Perilaku menyimpang yang sempat ia tinggalkan pun kembali ia jalani dan ia anggap sebagai jalan hidup.
Begitu pula dengan PSK yang tak luput dari gunjingan masyarakat. Stigma yang tumbuh di masyarakat salah satunya dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh aparat negara dan atau ormas agama. Kebijakan tersebut biasanya lebih digunakan untuk ‘membereskan’ PSK yang membuat pekerjanya dianggap seperti kriminal karena ada hukuman yang dijadikan ganjaran. Dengan begitu, pekerja seks biasanya dianggap sampah masyarakat dan dikucilkan di lingkungan masyarakat. Padahal, PSK dijadikan pilihan pekerjaan karena kemiskinan, kesenjangan sosial, bahkan bisa jadi karena penipuan, seperti yang dialami Dewi Ayu.
Melepaskan kebiasaan labelling di kehidupan bermasyarakat sepertinya cukup sulit dan hampir mustahil. Hal tersebut disebabkan karena lebih mudah melabeli orang dari apa yang mereka lihat daripada harus mengenal orang tersebut lebih dalam. Dengan adanya labelling, manusia cenderung menyembunyikan sisi buruknya dan memperlihatkan sisi baiknya ke publik. Orang yang menonjolkan sisi burukseperti yang dilakukan Maman Gendeng dan Dewi Ayu di novel ini, pasti akan dicap sebagai orang yang buruk.
Kendati demikian, labelling bisa dijadikan alat pengembangan diri (self-improvement). Kita bisa berkaca dari label yang kita berikan kepada orang lain agar kita tidak menjadi seperti mereka, dalam hal ini label yang diberikan adalah label yang buruk.
Dengan jalan cerita yang rumit dan sulit ditebak serta alur maju mundur yang mendominasi, novel ini pun tidak cukup dibaca dalam sekali atau dua kali duduk. Oleh karena itu, saat membaca novel ini sebaiknya jangan terlalu lama memberi jeda agar tidak lupa dengan jalan ceritanya.
Penulis: Anisa Putri Septiana
Editor: Ahmad Qori H.