Judul Buku: C*bul: Perbincangan Serius Tentang Seksualitas Kontemporer

Penulis: Hendri Yulius

Penerbit: Marjin Kiri

Tahun Terbit: 2021 (Edisi diperluas)

Hal: 298 hlm

ISBN: 978-602-0788-1-9

Iklan

“Kita semua adalah seorang cabul pada tingkat yang berbeda-beda”. (hlm. 6)

Kutipan buku Perv (2013) karya Jesse Bering tadi menjadi titik tolak perjalanan Hendri Yulius, guna menggali pornografi di bukunya yang berjudul Cabul. Mungkin bagi masyarakat Indonesia, membicarakan pornografi bisa dinilai tidak bermoral. Ini tidak lepas dari anggapan bahwa persetubuhan merupakan barang yang negatif serta dapat merusak moral bangsa.

Oleh sebab itu, pada 2017 Kominfo memblokir segala situs yang berhubungan dengan pornografi. Tidak tanggung-tanggung, 200 miliar rupiah  dikucurkan pemerintah untuk melawan situs-situs ‘amoral’ tersebut. Kendati demikian, dana sebesar itu seolah menguap begitu saja. Situs-situs bokep tersebut tetaplah bertebaran di internet. Hanya cara mengaksesnya saja yang berubah. 

Rasa-rasanya kita dapat mengamini pepatah lama, “banyak jalan menuju Roma”. Artinya, sebesar apapun penikmat bokep itu dihalangi, mereka akan tetap menemukan jalan untuk menyalurkan hasrat seksualnya.

Berbicara tentang pornografi tentu tidak dapat kita lepaskan dari seks. Biasanya, seks diartikan sebagai persanggamaan, persetubuhan, maupun hubungan intim. Entah itu bersifat prokreasi maupun rekreasi. Sementara segala hal sosio-kultural yang melingkupi seks dapat disebut sebagai seksualitas.

Kajian ilmu sosial lebih tertarik untuk membahas seksualitas, dibandingkan seks secara tunggal. Berbagai makna tentang seks dapat ditemui pada seksualitas. Sebagai suatu respon kultural dari masyarakat, makna yang dimunculkan dalam seksualitas tidak bersifat ajek, namun menyesuaikan tempat di mana ia dilahirkan dan konteks-konteks lainnya. 

Misalnya, di Indonesia seks tanpa pertalian pernikahan dimaknai sebagai suatu sumber dosa. Ini tidak lepas dari wacana dominan keagamaan yang menganggap seks menjauhkan manusia dari Tuhannya. Hal barusan juga bersumber dari kegirangan yang dialami manusia ketika sedang berhubungan badan. Kenikmatan yang meluap-luap itu dianggap sebagai suatu yang harus dihindari, sebab membuat manusia terlena akan macam-macam hal lainnya. 

Baca Juga: Evolusi Sex dari Membuat Anak Sampai Membuat Nikmat

Wacana dominan di atas akhirnya mengilhami seks sebagai barang privat yang tidak boleh dibicarakan di ranah publik. Namun, selayaknya apa yang dikatakan Michel Foucault, bahwa segala bentuk kekuasaan dan dominasi pasti menciptakan pertentangan baru. Wacana dominan yang merepresi seks sebagai suatu yang privat pada akhirnya bertemu dengan pemaknaan seks sebagai sumber kenikmatan yang harus dirayakan. 

Lalu di mana posisi pornografi?

Iklan

Mau tapi Malu

“Fantasi merupakan ruang privat dalam diri kita dan karenanya merupakan tempat yang paling jujur.” (hlm. 7)

Jujur saja, kita malu mengakui bahwa seks merupakan suatu sumber kenikmatan. Ini dikarenakan masyarakat tidak menghendaki pemaknaan demikian. Meminjam teori Sigmund Freud, hasrat manusia dalam Id memang harus dibatasi oleh Super Ego-nya. Kalau tidak begitu bagi Freud manusia nantinya akan sama seperti hewan buas.

Penulis buku Cabul
Hendri Yulius seorang peneliti gender dan seksualitas. Memperoleh gelar master pada bidang gender dan kajian budaya di Universitas Sydney.

Barangkali ini menjadi penjelasan yang tepat kenapa kita menyukai film porno. Sebab saat menontonnya kita mendapat merasa aman, serta hasrat terpendam juga dapat dipuaskan. Selain itu, tindakan ‘setan’ yang berarti persetubuhan tidak dilakukan secara langsung. Kondisi ini disebut sebagai Ego-Ideal, yaitu kondisi dimana Id dan Superego bertemu secara harmonis. 

Misalan di atas juga dapat diartikan sebagai voyeuristik, yaitu suatu kecenderungan mengintip yang melepaskan manusia dari sanksi sosial. Misal, saat menonton porno kita membayangkan diri kita bersama sang aktris. Berbeda dengan seks asli, menonton porno tidak membuat Anda merasa telah menerobos rambu-rambu sosial, karena orang lain yang melakukannya.

Bisa dibilang, pornografi muncul seiringan dengan adanya umat manusia. Dari lukisan gua batu di Australia yang melukis persanggamaan, sastra Prancis hingga rumah produksi, semuanya telah dijamah pornografi. Tingginya permintaan dari zaman ke zaman, membuat pornografi bertransformasi menjadi komoditas yang dieksploitasi juga oleh industri.

Saat ini, pornografi sudah menjadi produk budaya populer. Hal itu, mempengaruhi cara pandang kita terhadap seks. Namun, di sisi lain juga memberikan ruang bagi hasrat terpendam kita untuk terpuaskan. Salah satu bentuknya adalah munculnya istilah Mother I’d Like to Fuck (MILF) yang telah menjadi kosakata global.

Apa yang dikatakan Freud sebagai oedipus complex mungkin dapat menjadi jawabannya. Anak laki-laki cenderung memiliki ketertarikan seksual kepada ibunya. Gejala ini mungkin yang akhirnya menjadi fenomena global. Bahwa semua anak laki-laki di dunia akhirnya tumbuh fantasi terhadap MILF.

Namun, di sisi lain industri juga berperan dalam pembentukan fetish ini. Semisal, dekade 70 hingga 80an, bulu kemaluan menjadi hal yang sangat menggoda secara seksual. Tapi belakangan nilai itu berubah menjadi yang bersih lebih menggoda. Muaranya masyarakat ikut terpengaruh dalam memandang bulu kemaluan sebagai sesuatu yang jorok dan menjijikan.

Bahkan, industri melihat celah-celah apa saja yang dapat mereka masuki. Mereka tahu bahwa manusia senang mengerotisasi hal-hal yang terlarang. Semakin terlarang suatu hal, maka semakin nikmat rasanya. Apalagi, bila merujuk Jacques Lacan setiap dari kita memiliki sebuah ruang “kekurangan” yang dapat dieksploitasi industri kapitalis guna memuaskannya. Meski pada akhirnya kita tak akan kunjung terpuaskan. 

Tak ayal hari ini terdapat ratusan hingga ribuan kategori porno tersebar di internet. Kategori yang tak terpikirkan pun muncul, seperti BDSM, kinky hingga fetish-fetish yang melampaui batas-batas norma seperti Grandmother. Semuanya disediakan oleh pemodal, segala bentuk pemuasan hasrat kita telah diatur dengan apik.

Lebih jauh lagi, mungkin di masa depan kepuasan seksual kita dapat disediakan oleh AI? Atau nantinya akan muncul fetish terhadap AI dan robot-robot. Hanya waktu yang dapat menjawabnya.

Hendri Yulius membagi bukunya menjadi tiga bab yang merepresentasikan hubungan seks, yaitu foreplay, intercourse, dan cumshot. Buku setebal hampir 300 halaman ini menyajikan analisis yang komprehensif tentang pornografi. Meski begitu, pisau analisis yang diberikan Hendri agaknya terlalu bertumpu pada Freud. Ia tetap menggunakan Freud kendati diakui sendiri bahwa penjelasan Freud terlalu abstrak. 

 

Penulis: Izam

Editor: Abdul