Judul Buku : Laut Bercerita
Penulis : Lelila S. Chudori
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Jakarta
Cetakan : 2017
Jumlah Halaman : x + 379 Halaman
ISBN : 978-602-424-694-5
Negara Indonesia telah mengalami reformasi sejak tahun 1998 setelah rezim Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden. Namun, peristiwa penculikan aktivis ‘98 yang termasuk kasus pelanggaran HAM berat (PHB) di Indonesia sekarang menjadi cerita mitos bahkan hanya dianggap sebagai isu gorengan setiap pemilihan umum (pemilu). Hal itu karena isu pelanggaran HAM seringkali dipahami sebagai masalah masa lalu yang kelam bagi pribadi politikus saja dan dianggap menggoyahkan elektabilitasnya pada saat pemilu.
Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014 dan 2019 isu kasus PHB manjur dipakai untuk menggagalkan dan menurunkan elektabilitas salah satu pelakunya, yakni Prabowo Subianto dan menjadikan rivalnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai pemenang. Presiden Jokowi pun sejak pertama kali dilantik berjanji menyelesaikan kasus PHB dengan cara membentuk pengadilan HAM ad hoc. Namun, selama berlangsung pemerintahannya, alih-alih membentuk pengadilan ad hoc untuk menyelesaikan kasus PHB secara hukum, negara justru memilih jalur pemecahan masalah melalui cara nonhukum (rekonsiliasi).
Hal itu pun bertentangan dengan pedoman penyelesaian PHB yang diatur dan termaktub dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Sejatinya, perkara yang membuat kasus PHB tidak ketemu ujungnya karena pelaku penculikan dan penyiksaan aktivis ‘98 tidak diadili. Kasusnya ditutup tanpa vonis hukuman apapun. Malahan pelaku bebas berkeliaran, berpartisipasi dalam pemerintahan selanjutnya, dan ikut serta dalam kontestasi politik lima tahun sekali.
Rentetan kasus PHB yang terjadi di Indonesia sangat panjang dan belum diselesaikan secara hukum. Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) menetapkan dua belas peristiwa PHB, yakni Peristiwa 1965-1966; Penembakan Misterius 1982-1985; Talangsari, Lampung, 1989; Rumah Geudong dan Pos Sattis, Aceh, 1989; Penghilangan orang secara paksa 1997-1998; Kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi I dan II, 1998-1999; Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; Simpang KKA, Aceh, 1999; Wasior, Papua, 2001-2002; Jambo Keupok, Aceh, 2003; dan Wamena, Papua, 2005. Kumpulan tragedi PHB itu hanya menjadi daftar kerjaan saja (to-do list) mengakibatkan penanganan berujung stagnan dan buntu.
Ditambah lagi, generasi muda saat ini sangat minim memorinya tentang sejarah tragedi PHB. Hal itu disebabkan bacaan sejarah yang dinilai membosankan. Generasi muda lebih gemar membaca buku ringan dengan gaya bahasa yang tidak kaku dan bersifat naratif.
Novel realisme-sosialis Laut Bercerita karya Leila S. Chudori menjadi salah satu bacaan ringan tentang sejarah. Novel ini mengemas cerita sadisme rezim orde baru yang menculik banyak aktivis karena mengkritik kebijakan mereka. Para aktivis mengkritik bahwa rezim orde baru telah berbuat tidak adil kepada rakyat yang tidak memiliki kuasa dan lemah.
Penulis memanfaatkan kesempatan untuk melakukan wawancara langsung kepada korban penculikan ‘98 yang kembali dan sosok lainnya. Sehingga, karakteristik tokoh dalam cerita sangat mendalam. Serta, peristiwa digambarkan dengan detail berdasarkan sejarah aslinya seperti peristiwa Blangguan 1993, Kudatuli atau Sabtu Kelabu 1996, Rumah Susun Klender, dan Aksi Kamisan.
Novel ini mengisahkan tokoh seorang aktivis pro-demokrasi bernama Laut Biru dengan menggunakan alur campuran. Kisah dibuka dengan Laut yang diringkus dan dibawa secara paksa oleh segerombolan Tim Elang dari Rumah Susun Klender ke markas tentara pada tanggal 13 Maret 1998. Di dalam markas itu, Laut tidak sendiri. Daniel dan Alex juga telah ditangkap. Mereka disekap, disiksa, dan diinterograsi oleh para prajurit berambut cepak tanpa rasa belas kasih.
Laut, Daniel, dan Alex termasuk anggota aktif organisasi Winatra. Organisasi itu awalnya adalah kelompok belajar mahasiswa yang sering mendiskusikan buku-buku ‘terlarang’ pada masa orde baru seperti novel Pramoedya serta bacaan karya Laclau dan Ben Anderson. Rumah Hantu Seyegan pun dipilih menjadi tempat diskusi mereka karena jauh dari pusat keramaian kota. Tujuannya untuk menghindari para keparat yang berniat menangkap mahasiswa karena terlibat membaca buku-buku ‘terlarang’.
“Kami akan merasa aman melakukan berbagai kegiatan diskusi mahasiswa dan aktivis hingga persiapan pendampingan petani di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur,” (hlm 16).
Mereka pun menyadari bahwa hanya dengan beradu argumen antar mahasiswa di lingkar studi saja tidak cukup untuk menyelesaikan isu yang dialami oleh masyarakat. Butuh aksi nyata berupa advokasi dan unjuk rasa agar isu tersebut dapat terdengar dan diselesaikan. Oleh sebab itu, Laut dipertemukan Bram oleh Kinan. Bram kala itu menjabat sebagai kepala organisasi Wirasena, induk organisasi Winatra. Pertemuan kedua orang itu semakin intens dengan diskusi dan merancang strategi unjuk rasa.
Banyak aksi yang dilakukan oleh organisasi Winatra dan Wirasena, seperti aksi Ngawi dan Aksi Tanam Jagung Blangguan 1993 yang paling terkenang. Aksi Tanam Jagung Blangguan memang tidak menghasilkan dampak yang signifikan kepada masyarakat. Karena warga Blangguan masih belum bisa mempertahankan tanahnya dari gusuran korporasi yang bertindak sewenang-wenang. Namun, pasca peristiwa itu tubuh organisasi Winatra dan Wirasena menjadi bertambah solid dan semakin berani melakukan pergerakan.
Bram meminta kami mendekat dan dia berbicara dengan suara yang rendah, “Kita tak boleh jatuh, tak boleh tenggelam, dan sama sekali tak boleh terempas karena peristiwa ini. Kebenaran ada di tangan mereka yang memihak rakyat,” (hlm 171).
Tiga tahun setelahnya, Laut diangkat sebagai sekretaris jenderal (sekjen) Winatra yang ditugaskan di Jakarta. Melebarnya sayap gerakan ke ibu kota disertai banyak aksi unjuk rasa dan manuver-manuver partai politik membuat rezim pemerintahan saat itu berpikir pendek. Mereka tidak segan melakukan tindak kekerasan melalui aparatus negara kepada siapapun yang menentang atau mencoba menggoyahkan status quo.
Pada saat itu, organisasi Winatra dan Wirasena telah diklaim sepihak sebagai ‘dalang’ dari peristiwa Sabtu Kelabu. Peristiwa itu menyebabkan kerusuhan dan banyak korban jiwa yang berjatuhan. Akibatnya, organisasi Winatra dan Wirasena dilumpuhkan secara paksa karena dianggap radikal. Sementara itu, Laut, Daniel, dan Alex melakukan pengasingan ke luar pulau Jawa agar terhindar dari kejaran intel dan aparat setelah dinyatakan buron.
“SEMINGGU di lampung, seminggu di Pekanbaru, dan kini di Padang terkadang tak membuat kami merasa seperti buron. … Tetapi setiap kali kami tak sengaja melihat seorang polisi lalu lintas atau melalui kantor polisi atau markas tentara, kesadaran kami melejit ke ubun-ubun bahwa kami ada dalam datar pencarian orang,” (hlm 205)
Namun, upaya mawas diri dan menghindari tangkapan para aparat harus berujung malapetaka. Laut beserta kedua kawannya pun ditangkap secara paksa di kediaman bersama setelah melakukan pengasingan cukup lama.
Mereka menjadi tahanan politik (tapol) yang dikurung di dalam kerangkeng besi bawah tanah bersama para aktivis lainnya. Sebagian dari mereka ada yang selamat dan dipulangkan kembali kepada keluarganya. Namun, sebagian yang lain, termasuk Laut menghilang, tidak diketahui jejak keberadaannya di mana dan bahkan bila wafat, kuburannya pun tak pernah ditemukan.
Baca juga: Kematian Periode Reformasi: Menuju Indonesia Cemas 2045
Ironis Negara Tidak Berpihak kepada Para Aktivis
Para aktivis yang tidak kunjung kembali pulang ke rumah masih meninggalkan harapan dan tanya bagi keluarga korban. Tidak adanya upaya konkret dan klarifikasi dari negara atau keseriusan menangani kasus PHB yang menyangkut para aktivis itu membuat keluarga korban memiliki perasaan aneh. Mereka memiliki kepercayaan bahwa orang terkasihnya hanya hilang atau ditahan sementara di kantor polisi dan akan kembali pulang.
Dalam novel ini, perjuangan menemukan korban penculikan ‘98 diwadahi oleh Komisi Orang Hilang. Pemimpin komisi ini bernama Aswin dan para anggotanya pun berisi para aktivis yang telah dikembalikan serta perwakilan keluarga korban seperti Asmara Jati, adik dari Laut. Tujuan organisasi fokus kepada pengumpulan bukti-bukti penghilangan orang secara paksa (desaparasidos) yang dilakukan oleh negara. Golnya adalah bisa membantu menemukan dan mengadvokasi semua korban penculikan ‘98 serta mengembalikan mereka dengan selamat kepada keluarganya.
“Kami tak memerlukan puluhan ahli hukum untuk membangun komisi ini. Kami membutuhkan keluarga, kawan dekat, dan relawan yang bisa ikut memberikan informasi tentang mereka yang hilang,” (hlm 246)
Ironisnya, respon negara terhadap kasus pelanggaran HAM tidak serius. Hal itu disebabkan semua kasus pelanggaran HAM tidak diselesaikan secara hukum malah berargumen dengan impunitas (ketiadaan penghukuman). Dengan dalih, bukti-bukti terkait kasus pelanggaran HAM tidak kuat dan tidak lengkap sehingga tak mampu diproses secara hukum.
Peran pemerintah begitu lambat dan cenderung acuh tidak acuh dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Oleh karena itu, Non-Govermental Organization (NGO) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pun mengambil perannya dengan cara melakukan gerakan aktivisme memori seperti Aksi Kamisan. Tujuannya untuk menjadi daya dongkrak kesadaran masyarakat agar sama-sama terlibat menuntut keadilan kepada pemerintah bagi para korban.
Apapun variasi gerakan, baik itu berasal dari NGO atau LSM, patut diapresiasi. Sebab, para aktivis yang terlibat dalam gerakan itu telah membantu menyadarkan masyarakat, memelihara ingatan kolektif bangsa, serta memberikan akses pendidikan politik. Oleh sebab itu, para aktivis semestinya mendapatkan perlindungan payung hukum yang kuat agar perjalanan membela hak masyarakat dan memberikan edukasi menjadi aman serta terjaga dari kesewenang-wenangan.
Penulis : Naufal Nawwaf
Editor : Sonia Renata