Para buruh dan masyarakat dari berbagai elemen yang tergabung dalam GEBRAK (Gerakan Buruh Bersama Rakyat) melaksanakan aksi di dekat Patung Kuda, Gambir Jakarta Pusat untuk memperingati Hari Buruh Sedunia atau May Day pada Senin (01/05). Mereka menyampaikan aspirasi dan keluh kesah, sebab buruh masih belum hidup sejahtera. Selain itu, mereka juga memprotes Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau UU Nomor 6 tahun 2023.
Ketua Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Sunarno, menjelaskan bahwa UU No. 6 tahun 2023 memiliki substansi yang sama dengan Omnibus Law maupun Perppu Ciptaker yang berpotensi menyengsarakan buruh. Tidak cukup dengan UU No.6 tahun 2023, pemerintah juga mengeluarkan PP (Peraturan Pemerintah) turunan. Ia mengatakan di klaster ketenagakerjaan terdapat PP Nomor 34-37
“Belum cukup omnibus law, kemarin pemerintah malah mengeluarkan Permenaker Nomor 5 yang isinya pemotongan atas upah dari kaum buruh di sektor padat karya,” tambahnya.
Tak hanya masalah upah, jam kerja dan status pekerja juga menjadi masalah yang menimpa kaum buruh. Sunarno menilai, pegawai honorer masih sulit mendapatkan kepastian status pekerjaan. Serta masih ada pengemudi ojol yang dianggap mitra, mereka harus ditetapkan sebagai pekerja, kemudian dilindungi dalam UU Tenaga Kerja.
“Kami melakukan aksi turun ke jalan, untuk menyuarakan suara mereka (pegawai honorer dan pengemudi ojol) juga. Supaya pemerintah mendengar aspirasi kaum buruh di hari buruh sedunia,” ucapnya.
Selanjutnya, buruh yang tergabung dari berbagai serikat akan melakukan aksi lanjutan melalui jalur litigasi atau judicial review UU No. 6 tahun 2023. Sunarno mengatakan bahwa serikat buruh sudah mendaftarkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi sebelum lebaran dan akan mengawal proses persidangan.
Dalam aksi yang seharusnya dilakukan di Taman Aspirasi, Istana Negara, terjadi pemblokiran jalan yang menyebabkan massa aksi berhenti di depan Patung Kuda. Sunarno menyayangkan blokade yang dilakukan oleh aparat tersebut. Menurutnya, Presiden Jokowi dan juga jajarannya harus bisa menerima perwakilan kaum buruh dan mendalami apa yang menjadi tuntutan atau keluh kesah dari kaum buruh untuk direalisasikan.
Senada dengan Sunarno, Ketua Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Sari Wijaya mengatakan bahwa pemblokiran jalan merupakan cerminan negara yang tidak ingin mendengar keluhan rakyatnya. Ia juga menilai penetapan May Day sebagai hari libur nasional merupakan kesalahan.
“Harusnya ini hari di mana buruh turun, dan kapitalis ketakutan karena tuntutan dari buruh. Tapi karena dijadikan hari libur nasional, maka yang terjadi adalah jalannya ditutup,” jelasnya.
Sari berharap dalam peringatan hari buruh ini, agar UU Ciptaker dapat dicabut dan gerakan-gerakan seperti ini tidak berhenti. Semua elemen harus bersatu untuk membicarakan isu-isu kemanusiaan dan kerakyatan.
“Mei ini bulan perlawanan. Seluruh elemen jangan pernah berhenti di moment dan hari ini saja, perjuangan bisa dilakukan melalui banyak cara, lewat medsos, hashtag, dari rumah ke rumah, semua dilakukan untuk menggelorakan aspirasinya supaya masyarakat juga mengetahui keadaan yang sebenarnya,” ujar Sari.
Anggota Forum Persatuan Perjuangan Buruh Bandung Raya (FPPB) Kamsin, juga mengharap agar pemerintah, khususnya pemerintahan kota dan kabupaten Bandung, untuk bersikap tegas dengan perusahaan-perusahaan nakal yang mempekerjakan pekerjanya dengan upah di bawah ketentuan.
“Makanya kami sangat berharap pada dinas pengawasan dan juga pada dinas tenaga kerja untuk menindak perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap aturan perundang-undangan,” tegas kasmin.
Penulis/reporter: Syiva Khairinnisa
Editor: Zahra Pramuningtyas