Judul Film: Quo Vadis, Aida?

Tahun Rilis: 2020

Durasi: 101 Menit

Sutradara: Jasmila Žbanić

Genre; Perang, Drama

Sudah lebih sebulan sejak Israel melakukan serangan ke wilayah Palestina, tanda-tanda usainya perang belum terlihat. Dengan dalih memberangus Hamas sampai ke akar-akarnya, Israel menolak terjadinya gencatan senjata yang diserukan oleh banyak negara.

Iklan

Akibatnya, penderitaan yang dialami warga palestina semakin menguat. Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seolah-olah hanya menonton genosida yang terjadi, tanpa berupaya mengintervensi dengan keras Israel untuk menghentikan perang. 

Palestina kini bak neraka di bumi. Per tanggal (10/11/2023), Kementerian Kesehatan di Gaza menyatakan jumlah warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel mencapai lebih dari 11.000 orang. Hampir 5.000 di antaranya merupakan anak-anak. Dibalik mereka yang wafat, tentu banyak juga korban luka-luka yang masih berjuang di tengah terbatasnya fasilitas kesehatan.

Serangan itu kemudian seperti yang dilansir oleh BBC (5/11) mengakibatkan sekitar 1.500.000 warga di Gaza mengungsi. Mereka dilanda krisis air bersih, pangan, dan bahan bakar. Sampai sekarang, mereka tidak tahu kapan perang usai dan bisa kembali ke rumah semula.

Situasi di Palestina tergambar dalam Film Quo Vadis, Aida? Berangkat dari kisah nyata, film berlatar tahun 1995 ini mengisahkan genosida etnis Bosnia di Srebrenica pada masa Perang Bosnia.

Adapun sebab perang diawali oleh krisis ekonomi-politik di Yugoslavia pasca meninggalnya Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito. Oleh karena itu, beberapa daerah Yugoslavia memproklamasikan kemerdekaan, termasuk Bosnia. Tak setuju akan hal itu, etnis Serbia yang menganggap diri sebagai Yugoslavia lalu menyerang Bosnia.

Tokoh utama film ini, Aida–ibu dari dua anak– semula merupakan guru di Srebrenica yang menjadi penerjemah bahasa PBB. Aida terpaksa beralih profesi karena tuntutan perang etnis Bosnia di wilayah Srebrenica. 

Baca juga: Bisakah kita Lepas dari Hegemoni Politik Bahasa Orde Baru?

Adegan awal film ini dibuka saat Aida menerjemahkan rapat antara Pemerintah Srebrenica dan tentara Belanda yang menjadi perwakilan dari PBB. Di tengah Tentara Serbia yang mulai mendekat ke Srebrenica, pejabat lokal tak ingin kota itu diserang Serbia. Tentara Belanda menjanjikan keamanan kota karena PBB sudah mengultimatum Serbia bahwa akan ada serangan udara jika Serbia menyerang Srebrenica.

Namun, Serbia bersikukuh menyerang Srebrenica. Serangan udara yang dijanjikan PBB pun tak terjadi. Akibatnya, banyak etnis Bosnia meninggal pada serangan itu dan sisanya lagi pergi mengungsi di Kamp Tentara Belanda. Ribuan orang mengungsi di sana, termasuk Aida beserta keluarganya. Sementara itu, karena kelebihan kapasitas, puluhan ribu pengungsi Srebrenica tinggal di sekitar wilayah kamp tersebut.

Di sini Aida berperan sebagai penyambung lidah orang-orang Srebrenica. Tak hanya itu, ia juga ikut berdiskusi mengenai kebijakan terhadap para pengungsi.

Iklan

Beberapa hari setelahnya, PBB tak kunjung memberikan bantuan. Hal itu membuat Tentara Belanda ingin bernegosiasi dengan pihak Serbia. Hasilnya, Serbia bersedia memberi bantuan kepada pengungsi. Selain itu, para pengungsi diberi pilihan untuk tetap tinggal di Srebrenica atau tidak. 

Namun, sehabis pengungsi mendapatkan makan dan minum, mereka dipaksa pergi oleh orang Serbia. Tentara Belanda tak bisa apa-apa. Dengan memakai bis, pengungsi pergi menuju gerbang kematian. Banyak pengungsi terutama laki-laki dibunuh oleh orang Serbia, termasuk suami dan anak-anak Aida.

Karena bekerja di PBB, Aida selamat. Di Akhir, Aida menemukan jasad keluarganya yang ia telah lama cari-cari. Di depan kerangka suami dan anak-anaknya, ia menangis menjadi-jadi.

Dapat dipahami kemudian yang terjadi di Srebrenica merupakan genosida dan kejahatan perang. Namun, Dewan Keamanan (DK) PBB yang berperan menjaga perdamaian dan keamanan internasional justru tak berbuat apa-apa. 

Sama halnya dengan Palestina kini. Di tengah mata dunia yang sedang tertuju pada Palestina dan seruan komunitas global untuk menghentikan genosida, DK PBB seolah tak memperlihatkan tajinya. Padahal, dalam hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia tahun 2005, DK PBB dapat mengambil tindakan kolektif secara tegas jika cara-cara damai tak memadai dan otoritas nasional secara nyata gagal melindungi penduduknya dari genosida, kejahatan perang dan sebagainya.

Akan tetapi, beberapa anggota tetap DK PBB seperti Amerika Serikat dan Inggris sedari awal mendukung Israel dan menolak gencatan senjata. Oleh karena itu, dapat dilihat PBB bukanlah organisasi netral. Sebagaimana pandangan klasik Marx mengenai ekonomi-politik. Dibalik sebuah relasi politik, baik sesama institusi atau negara, pasti ada kubu yang dimenangkan karena memiliki kekuatan sumber daya ekonomi.

Namun, hendak sampai kapan korban tak bersalah terus berjatuhan oleh karena perbedaan kepentingan. Jika genosida tak dihentikan, maka akan muncul Aida baru yang menangis di depan mayat keluarganya. Dan, Selain menghentikan pembunuhan, para pengungsi semestinya mendapatkan kembali ruang hidup mereka semula. 

Oleh karenanya, perlu desakan lebih dari komunitas global untuk menghentikan kekejaman di Palestina. Terlebih bagi beberapa negara Arab yang sedari awal mendukung Palestina sekaligus penghasil minyak besar seperti Arab Saudi, seharusnya mengembargo Israel agar gencatan senjata kemungkinan besar bisa terjadi. Jika bicara soal kemanusiaan dan dukungan, beranikah Arab Saudi mengambil langkah seperti itu untuk menghentikan perang?

Balik kembali ke film, Film Quo Vadis, Aida?  cukup menegangkan dan seru untuk ditonton. Namun, jika penonton sebelumnya tak tahu mengenai Perang Bosnia, pastinya akan cukup dibingungkan ketika menonton film ini. Sebab dalam film ini sedikit sekali penjelasan akan perang itu.

 

Penulis: Andreas Handy

Editor: Arrneto Bayliss