Sejarah Indonesia tidak bisa diwakili oleh satu daerah atau kebudayaan. Sejarah di Indonesia terlalu kompleks, sebab setiap daerah mempunyai ceritanya masing-masing. Hal itu dikemukakan Faisal Oddang dalam diskusi novelnya, Tiba Sebelum Berangkat, yang diselenggarakan di Jung Cafe, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (02/07).
Keyakinan itu membawa Faisal menulis novel ini yang mengangkat kisah tentang kebudayaan Bugis, Makassar, Sulawesi Selatan.
Novel tersebut sudah diluncurkan pada 2 Mei 2018 di Fort Rotterdam, Makassar. Pada diskusi kali ini, Faisal menceritakan, di tempat kelahirannya ada komunitas sosial yang dipimpin Bissu. Bissu ini merupakan inspirasi utama novelnya.
Bissu merupakan pendeta dalam kebudayaan Bugis; memimpin upacara adat. Di dalam kitab La Galigo, yang merupakan kitab tertua kebudayaan Bugis, dikisahkan Bissu mempunyai kedudukan yang bahkan lebih tinggi dari raja. Bissu bagai anak dewa. Mereka pula diajarkan ilmu kekebalan oleh Puang Matua, Imam besar dalam suku Bugis.
Namun, kini mereka sudah tidak lagi diikutsertakan dalam upacara-upacara suci adat. Jasa mereka hanya diperlukan ketika merias pengantin, kepentingan pariwisata, dan ada juga yang menjadi petani.
Berdasarkan hasil wawancara Faisal, alasan umum para Bissu bekerja ialah tidak mau hidup miskin. “Penghasilan mereka kini hanya dari pemerintah yang panggilannya tidak rutin, atau dari merias wajah pengantin,” ucap Faisal.
Awal Akulturasi dengan Islam
Sejak abad ke-13, La Galigo sudah dikenal secara lisan oleh masyarakat adat Bugis Kuno. Pada masa itu, para Bissu yang menjadi pendeta atau pemimpin spiritual (baca: www.femina.com). Pada abad ke-17, kerajaan-kerajaan Islam berupaya melakukan islamisasi ke Sulawesi Selatan.
Menurut Faisal, islamisasi dimulai dari kerajaan yang berkuasa (di Sulawesi Selatan) pada abad itu. Akan tetapi, gagal meskipun dengan cara kekerasan sekalipun. Akhirnya dilakukan cara lain, yaitu mencari kerajaan yang menjadi akar dari agama lokal untuk diislamisasi.
“Ternyata kerajaannya adalah kerajaan Hindu dan sangat kecil,” terang Faisal. Meskipun kecil, pengaruh kerajaan tersebut sangat besar. Terbukti setelah diislamisasi, masyarakat banyak yang memeluk Islam.
Meskipun masyarakat sudah memeluk Islam, kebudayaan sebelumnya tidak luntur. Justru terjadi akulturasi. Masyarakat masih diperbolehkan meminum arak dan berjudi. Hanya ada dua larangan yang berlaku, yakni berzina dan makan babi. “Nama-nama dewa dalam mantra-mantra pun diganti menjadi nama-nama Islam atau Muhammad,” kisah Faisal. Ia menambahkan, Bissu pun masih dihargai kedudukannya.
Tersingkirnya Bissu dari Tradisi Bugis
Peralihan pekerjaan para Bissu tak lepas dari peristiwa yang terjadi di Indonesia. Menurut Faisal, tersingkirnya Bissu dari kehidupan ritual kebudayaan Bugis dipengaruhi dua peristiwa besar. Pertama, pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) atau Peristiwa Gerombolan—istilah yang digunakan Faisal Oddang.
Orang-orang DI/TII menganggap keberadaan para Bissu tidak bisa ditolerir, sebab bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat bahkan dilarang melihat para Bissu. “Doktrin yang disuarakan pada saat Peristiwa Gerombolan, mereka yang melihat Bissu bisa kena sial 40 hari—40 malam,” ucap Faisal.
Kedua, adanya peristiwa G30S di 1965. Faisal mengatakan, para Bissu dianggap sebagai orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Para Bissu dianggap sering diundang dalam ritual-ritual yang dilakukan oleh PKI. Dalih pemerintah melakukan pembantaian para Bissu, yaitu mereka yang mengancam negara,harus dibantai. Saat itu, PKI dianggap mengancam negara. “Padahal saat itu Bissu melakukan ritual adat berdasarkan ajakan para warga,” katanya.
Selama ini, kisah Indonesia selalu diidentikan dengan Sejarah Jawa. Dengan begitu, ia menolak dikotomi kisah kedaerahan. Menurutnya, menulis tentang Makassar berarti juga menulis Indonesia.
Penulis: Muhammad Muhtar
Editor: Lutfia Harizuandini