Dalam memperingati hari Sumpah Pemuda (28/10), beberapa media menjajakan rubrik-rubrik yang membahas tentang kaum muda dan bahasa. Seperti yang ditulis oleh Siti Murtiningsih, Dekan Fakultas Filsafat UGM di koran Kompas (28/10) yang berjudul “Politik Bahasa.”
Di dalam tulisan tersebut, Siti menjelaskan lika-liku perjalanan politik bahasa bangsa Indonesia yang dimulai dari tahun 1928, hingga kini. Selain itu utamanya, Siti menyoroti persoalan posisi bahasa daerah hari ini yang mulai hilang peredarannya karena kalah dengan bahasa Indonesia dan asing.
Tercatat di dalam BPS, generasi z yang menuturkan bahasa daerah hanya 69,9 persen. Bahkan, di generasi setelahnya, penuturan bahasa daerah tersisa 61,7 persen.
Menurut Siti, hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor. Pertama dalam tataran keluarga, orang tua tidak mengajak anaknya untuk berkomunikasi menggunakan bahasa daerah. Kedua karena pengaruh industri budaya dalam negeri, seperti film-film sinetron di TV yang lebih menonjolkan penggunaan bahasa Indonesia. Terakhir karena pengaruh industri budaya luar negeri, seperti maraknya lagu-lagu yang berbahasa barat.
Solusi yang ditawarkan Siti untuk membalikan keadaan posisi adalah dengan upaya memasukan kosakata bahasa daerah ke dalam KBBI.
Namun untuk mencapai itu, kita perlu menengok sejarah. Jika melihat beberapa catatan sejarah, persoalan bahasa ini muncul ketika Indonesia memasuki masa Orde Baru (Orba). Kala itu, pemerintah melakukan hegemoni politik bahasa Indonesia ke seluruh masyarakat. Hal ini ditujukan untuk menjaga stabilitas politik dan ekonomi yang tengah dibangun kala itu.
Tak heran, kosakata yang sering bermunculan dan ditekankan oleh pemerintah adalah normal, tertata, akselerasi, modernisasi, pertumbuhan, pembangunan, tidak tercela, hingga anti-pembangunan.
Keseriusan politik bahasa di era Orba dapat dilihat di dalam buku “Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru.” Pemerintah merekonstruksi ulang Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Soeharto lewat Amanat Kenegaraan tahun 1972, mengatakan bahwa “Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia harus menjaga bahasa nasional agar tidak menuju kehancuran.”
Berseberangan dengan hari ini, yang mana Badan Bahasa dipergunakan untuk melestarikan bahasa daerah agar tidak punah. Salah satu caranya dengan memasukan kosakata bahasa daerah ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Namun, kalau sudah melalui proses panjang sejarah seperti itu, benarkah upaya tersebut akan berhasil?
Baca juga: Buku-buku di Perpustakaan UNJ Dinilai Kurang Bervariasi
Uraian masalah dan seuntai pertanyaan
Pemasukan kosakata bahasa daerah ke dalam KBBI sejak 2016 terus alami peningkatan dari tahun ke tahun. Terhitung, sebanyak 71 bahasa daerah dari 25 provinsi telah terdaftar di KBBI. Hingga September kemarin, terdapat 120.000 kosakata bahasa daerah yang sudah dimuat KBBI.
Hal ini dibarengi dengan upaya Kemendikbud Ristek, dalam memasukan kurikulum mata pelajaran bahasa daerah di sekolah. Tidak hanya berpatok pada satu kurikulum, lewat kebijakan Merdeka Belajar, muatan bahasa daerah dapat diselipkan ke dalam mata pelajaran lain.
Sayangnya, solusi tersebut belum memberikan dampak berarti di tataran akar rumput. Sebagai permisalan, kurikulum bahasa daerah yang diajarkan di sekolah seolah hanya diajarkan secara praktis. Dijalankannya kurikulum bahasa daerah tidak diiringi dengan pembinaan kepada peserta didik terkait urgensi mata pelajaran ini. Sehingga, peserta didik hanya sekedar belajar bahasa daerah tanpa tahu bagaimana tujuan dan cara penggunaannya.
Belum lagi ketika beberapa kali fenomena linguistik semacam penuturan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa asing terjadi. Terbaru jenis bahasa Jaksel belakangan ini hadir dan mudah diterima oleh generasi Z dan Alfa untuk digunakan sehari-hari. Adapula maraknya fenomena seperti aktor pemangku kebijakan model Nadiem Makarim yang menggunakan bahasa campur-campur itu di dalam beberapa sesi wawancara di Youtube.
Dalam kasus lain, bahasa daerah kian tahun mengalami secara perlahan mengenyam status hampir atau punah. Terhitung melalui data BPS (2020-2022), sebanyak 73,87% penggunaan bahasa daerah di lingkungan keluarga. Sementara di lingkungan teman atau kerabat mencapai 71,93%.
Jika dinalar secara kasar, tentunya angka ini tergolong banyak. Namun, bagaimana dengan data lain yang berbicara soal bahasa yang terancam punah?
Menurut Ethnologue, dari 719 bahasa daerah di Indonesia, 13 diantaranya sudah punah. Sedangkan yang aktif digunakan sebanyak 709 dan 75-nya menyentuh status hampir punah.
Jika secara kasar meneropong masa depan, bisa jadi bahasa daerah tetap akan punah kalau kebijakan yang berjalan masih seperti ini.
Berkaca pada Orba, keseriusan membangun politik bahasa itu membawa pada keberhasilan pengguna bahasa Indonesia hari ini. Pemerintah Orba merancang kebijakan politik bahasa dari atas ke bawah dengan sangat tersistematis, bahkan hingga tahap pelaksanaannya. Tak heran, dominasi dari narasi politik bahasa Orba hingga hari ini yang mempengaruhi hilangnya bahasa daerah masih sangat kuat.
Terdapat perbandingan penutur yang sangat jauh ketika pemerintah Orba menerapkan kebijakan politik bahasa, hingga dampaknya hari ini. Di tahun 1980 penutur bahasa Indonesia berkisar di angka 17,5 juta penduduk, kemudian meningkat tajam hingga 250 juta penduduk pada 2021. Tentunya Hal itu diikuti juga dari data berkurangnya jumlah pengguna bahasa daerah–terkhusus generasi Z dan Alfa–tiap tahunnya.
Mungkin saja, solusi yang dapat dicetuskan untuk melawan politik bahasa Orba adalah dengan cara mengeluarkan kebijakan penggunaan bahasa daerah di tiap wilayah Indonesia. Seperti saat belajar di sekolah, melaksanakan apel atau upacara di berbagai institusi, pidato pejabat di tiap daerah, dan lain-lainnya. Sementara bahasa Indonesia digunakan hanya sebagai komunikasi dengan masyarakat daerah lain.
Jika bahasa daerah menjadi urgensi hari ini, beranikah pemerintah mengambil langkah semacam itu?
Penulis: Arrneto Bayliss
Editor: Izam Komaruzaman