Pantulan dari Pentas “Bisikan Jiwa” Teater Moksa, Minggu 15 Maret 2020
Di tengah hiruk pikuk dunia, kerap kita melupakan siapa diri kita. Arus modernisasi tidak jarang melanda, dan sebagiannya menggiling pertanyaan dan jawaban penting akan eksistensi kita sebagai manusia. Materialisme dan kapitalisme global datang bagai malaikat maut yang menelan separuh dari kebebasan eksistensial manusia untuk berpikir jernih dan reflektif. Tidak ada lagi ruang di mana bisikan-bisikan jiwa manusia menyembul. Semuanya sirna. Kekuasaan dan kenikmatan telah merenggut kejernihan pikiran manusia akan dirinya.
Barangkali virus Corona yang melanda dunia hari ini adalah manifestasi kemarahan dan amukan alam akan keangkuhan dan kerakusan manusia terhadap isi planet kita. Ia datang ketika kapitalisme, materialisme, dan modernisme sebagai induk semangnya, mencapai titik kulminasi. Manusia telah terasing dari subjektivitasnya, dan lebih memilih menyembah berhala pada ornamen artifisial teknologi yang diciptakannya. Mencuci tangan, berdiam di rumah, dan menjauhkan diri dari keramaian, merupakan seruan agar manusia kembali ke “rumah” yang sesungguhnya, yaitu dirinya sendiri. Subjek yang telah lama teralienasi oleh materialisme. Manusia perlu membersihkan diri dari pikiran-pikiran sesat yang mendewakan teknologi; perlu kembali untuk bersatu dan menyerap energi sebanyak mungkin tentang dirinya.
Kemanusiaan Kita
Apa yang dipantulkan kepada penonton pada pertunjukan “Bisikan Jiwa” oleh Teater Moksa di Teater Utan Kayu, Minggu (15/3), merupakan sepilihan refleksi sutradara Panji Gozali akan kondisi saat ini, bahwa manusia perlu mempertanyakan dirinya. Meski ia hanya melakukan riset di sekitaran Jakarta, namun dengan bekal literatur dan pengalaman artistiknya, pertunjukan ini memantulkan bayangan bahwa sesungguhnya manusia tidak pernah terlepas dari tiga cengkraman ‘setan’: “harta, takhta, dan seks”.
Terkadang, manusia berpikir bahwa tiga godaan ini datang dari setan. Makanya ia selalu mempersalahkan setan (dalam wujud ular) ketika nenek moyang manusia, Adam dan Hawa, jatuh ke dalam dosa. Dalan pertunjukan ini, wujud setan digambarkan Panji sebagai Kuntulanang, Pucung, Geger Uwow, Suster Ngepot dan Tuyndrong. Sebagai orang Jawa, manifestasi setan ini sangat gamblang memperlihatkan latar budaya sang sutradara. Bahwa secara kultural, orang Jawa masih begitu percaya terhadap wujud setan dalam kehidupan manusia sebagai roh halus, jin, atau orang yang sudah mati. Menghadirkan sosok-sosok itu seolah membawa tubuh pertunjukan ke konteks hidup penonton. Adapun pemeran setan-setan (Jawa) tersebut, yakni Rafika Septiani (Suster Ngepot), Bagas (Geger Uwow) Rendi Sumbari (Pucung), Ibnu Yusca (Kuntulanang) dan Adi Ferian (Tuyndrong). Performer yang lain adalah Wawa (memerankan Lelaki), Riska Handayani (memerankan Wanita) dan Miswoyo Jianto (memerankan Orang Gila).
Panji dalam pencaharian intelektualnya justru melihat, godaan-godaan itu bukan dari setan, melainkan justru dari kecenderungan manusia untuk menyembah objek di luar dirinya. Dalam bahasa filsafat disebut modernisme, kapitalisme atau materialisme. Siapa di antara manusia yang tidak ingin menikmati dashyatnya kesenangan, hiburan, kekuasaan, kekayaan, atau seks? Tak dapat ditimpali, manifestasi kesenangan duniawi selalu menjadi objek kecenderungan pencarian manusia. Karena itulah, lewat pertunjukan berdurasi satu jam ini, penyair muda itu mengajak penonton, dan juga performer, untuk meletakkan kejernihan aras berpikir dalam kerangka kebatinan; melihat dari dalam jiwa: siapakah manusia itu. Bahkan, lewat mulut seorang gila, pertanyaan-pertanyaan eksistensial manusia itu menyembur: “Mengapa aku mesti hidup? Apa itu manusia? Mengapa aku mesti menjadi manusia? Bagaimana caranya menjadi manusia? Untuk apa menjadi manusia?”
Tabrakan Kreatif
Panji tidak terlampau dalam membawa arah pertunjukan pada bentuk surealisme sebagaimana Eugene Ionesco atau Samuel Beckett maksudkan, ketika keduanya menulis dan mementaskan “Kursi-kursi” atau “Sementara Menunggu Godot”. Dalam pertunjukan ini, dengan penonjolan pada visualisasi, tanpa dialog dan instrumentasi musik serta pencahayaan yang kuat, Panji tetap tampil realis dengan sedikit menggeser perspektif aktor untuk menjadi lebih abstrak dalam menjalin narasi pertunjukan. Pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi dan kebermaknaan manusia tidak melulu tersambung dengan simbol-simbol yang ada: kursi, gerak tubuh, monolog, atau kain putih dan komposisi ruang pertunjukan.
Panji sepertinya sedang melakukan eksperimentasi untuk mengelabui sejauh mungkin imajinasi penonton, barangkali juga aktor karena terkadang mereka tidak mempertanyakan mengapa mereka harus bergerak begini atau begitu. Membuat semacam tabrakan kreatif antara imajinasi penonton dengan tubuh pertunjukan, Panji serentak menyambungkan persepsi penonton akan kediriannya, tentang subjektivitas dan keadaban yang dihidupinya.
Apakah hidup manusia melulu untuk mencari harta, takhta dan seks? Apakah manusia sadar akan ketidaksadarannya? Atau, masih adakah bisikan dari dalam jiwanya, untuknya berhenti sejenak, merenung dan melempar-pantulkan dirinya?
Wanita dan Kekuasaan
Panji merangkum simbol-simbol pertanyaan itu melalui nalar artistiknya dengan menggambarkan sesosok manusia (Lelaki) yang tertidur, lalu jiwanya terbangun, kemudian tertidur lagi. Pada akhirnya, jiwa dan raganya sama-sama terbangun. Di sebelah Lelaki itu ada seorang Wanita. Ia tertidur pula. Berulang kali jiwa Lelaki terbangun, ia tetap tertidur pulas. Bayangan gelap dari jiwa Lelaki beriak-riak, hadir dalam wujud setan-setan Jawa. Mereka berjumlah lima orang.
Dua manusia yang sedang tidur, dengan satunya sering terbangun, pikirannya melalangbuana, itu adalah jiwa laki-laki. Sementara perempuan/wanita, lebih sering berdiam diri, berbicara seperlunya, dan ketika tidur, jiwanya tentram. Dua gambaran sifat asali manusia yang bukan hanya performatif, tapi memang nyata dalam hidup aktual manusia. Laki-laki bekerja di luar rumah, sementara perempuan cenderung bekerja di ruang domestik, untuk meminjam istilah sosiologi.
Panji juga menghadirkan sosok Orang Gila, seperti mau mengatakan bahwa manusia zaman ini sudah gila pada kekuasaan, kekayaan, dan seks; tiga hal yang senantiasa menjadi target dari semua pencarian manusia. Secara paradoks, pada puncak pertunjukan, justru memperlihatkan sosok Wanita yang memenangkan perebutan takhta dan harta; bukan Lelaki ataupun orang-orang gila itu. Simbolisasi ini menunjukkan bahwa pada prinsipnya, yang menang dalam perebutan takhta dan harta adalah Lelaki yang mampu menaklukan Wanita. Atau sebagaimana kata Foucault, kekuasaan selalu beriringan dengan wacana seksualitas. Hal ini mengingatkan kita pada tragedi pembunuhan ayah Hamlet oleh Claudius setelah ia bersengkokol dengan Gertrude, ibu Hamlet, dalam drama modern karya Shakespeare. Drama ini memperlihatkan bagaimana pucuk kekuasaan diraih dengan mengkapitalisasi wacana seksualitas (ketika Claudius menyatakan jatuh cinta pada Gertrude).
Wacana seksualitas dapat direpresentasikan lewat perselingkuhan, atau dalam pertunjukan “Bisikan Jiwa” sebagai perbuatan cabul, yang bagi Lelaki sering dilihat bukan sebuah keburukan, tapi merupakan ekspresi kebebasan, meski bablas. Dalam wacana tersebut, laki-laki lebih sering tersesat oleh pikirannya sendiri. Bahwa ketika memiliki seorang wanita, ia berpikir telah memiliki kuasa atas tubuh wanita. Tapi sejatinya, seperti kata Eka Kurniawan dalam novelnya “Cantik Itu Luka”, ketika laki-laki jatuh cinta pada perempuan, pada saat yang sama ia berada dalam genggaman wanita. Ia sesungguhnya tidak pernah bebas. Demikianlah, pertunjukan ini lebih terlihat maskulin, karena lebih banyak menonjolkan sisi-sisi kelaki-lakian dalam domain-domain publik: kekuasaan (politik dan ekonomi), pekerjaan, dan seksualitas.
Penonton Dibatasi
Pertunjukan ini diadakan dua kali, yaitu pada pukul 15.00 WIB dan pukul 20.00 WIB. Sebelumnya, lakon yang sama telah dipentaskan di Balai Warga Buaran, Jakarta Timur, Minggu (23/2), pukul 20.00 WIB. Penonton yang hadir pada umumnya milenial, baik yang masih berstatus mahasiswa maupun yang sudah bekerja, dari latar disiplin dan komunitas berbeda. Ada sekitar 30-an penonton di setiap sesi yang melingkari teater arena bawah tanah di Utan Kayu tersebut. Tidak banyak penonton yang hadir mengingat kondisi Jakarta sedang krusial akibat pandemi virus Corona, sehingga manajemen Teater Utan Kayu dan Teater Moksa memutuskan untuk tetap mementaskan pertunjukan dengan batasan maksimum 60 orang.
Jakarta, 17 Maret 2020
===========
Penulis: Daniel Deha