Oleh: Wisnu Adi Wibowo*
Sebelumnya:
https://lpmdidaktika.com/2018/02/bergerak-adalah-praktek-part-1/
https://lpmdidaktika.com/2018/02/bergerak-adalah-praktek-part-2/
C. Forum Militan dan Independen UNJ sebagai langkah strategis gerakan
Bahwasanya, matahari terbit bukan karena ayam jantan berkokok, tetapi yang benar adalah ayam jantan berkokok karena matahari terbit!. Forum Militan dan Independen UNJ (FMI UNJ) terbentuk bukan sebagai bentuk hedonisme waktu luang, bukan sebagai ajang adu kuat antar organisai-organisasi/komunitas-komunitas kampus, bukan sebagai bentuk khotbah para misionaris “agent of change” yang menyerukan sabda perubahan kepada para birokrat-birokrat hipokrit, bukan pula sebagai bentuk kegiatan ekstrakurikuler yang dapat serta-merta dicantumkan di dalam lembar pertanggung jawaban organisasi.
Sekali lagi, BUKAN DEMIKIAN!.
FMI UNJ terlahir sebagai proses gerak sejarah dari dasar dinamika kebobrokan sistem Pendidikan Tinggi, terlahir atas dasar belenggu dehumanisasi dari proyeksi semangat leizes-fair komersialisasi Pendidikan Tinggi, sekaligus terlahir sebagai wadah keresahan kolektif dan mewujud menjadi Avant-Garde perjuangan bagi gerakan sivitas akademis UNJ. Begitupula dengan gerakan yang telah disusun sebelumnya merupakan awal mula bagi sivitas akademis UNJ menemukan jati diri kesejarahannya dengan sebuah kesadaran konstruktif, dan bukan dengan kesadaran instingtif. FMI UNJ lah kiranya salah satu siasat kebudayaan ditengah kondisi filosofis pendidikan tinggi yang kental akan budaya hedonistik, pola pikir patronistik, dan mitos mimpi basah (maha)siswa dari kelompok-kelompok eksklusif-oportunistik. Singkat kata, FMI UNJ terlahir dari remah-remah kesadaran massa “tertindas” untuk menyatukan serpihan-serpihan semangat perubahan kedalam satu laras perlawanan.
Itulah wujud asli FMI UNJ sebagai wadah gerakan yang dalam konsepsinya terlahir DARI, OLEH, dan UNTUK rakyat UNJ secara keseluruhan demi menatap cita-cita masa depan gemilang Pendidikan Tinggi kelak di kemudian hari!
Berkenaan dengan peta pembacaan situasi berdasarkan batas jangkauan analisis penulis dalam melihat segi komplekstisitas masalah UNJ di muka, kita melihat bahwasanya kondisi ketidakadilan diskursif secara nyata beririsan dengan mekanisme kerja di dalam suatu instrumen pendidikan tinggi. Namun, kondisi tersebut nyatanya menjadi tidak terimbangi dengan ketidakberdayaan gerakan yang justru terjadi di tingkat yang paling mendasar. Sehingga target yang menjadi pusat bidikan dalam melangsungkan pembebasan hanya terbatas pada upaya-upaya perombakan struktural tanpa pernah memahami syarat-syarat objektif sebagai peletak dasar situasi ketidakadilan itu dapat terjadi. Dalam melihat hal ini, penyatuan serpihan-serpihan semangat perubahan adalah perkara yang amat penting dan menjadi penting mengingat ketidakadilan diskursif itu diproyeksikan secara amat sistematis. Karena, bergantung pada kuatnya penyatuan semangat perubahan tersebutlah kita dapat memecahkan suatu alur mekanik yang tersusun secara teratur di dalam era pendidikan neo-liberal masa kini. Maka dari itu, penyatuan wadah dalam bentuk aliansi/forum haruslah dimaknai sebagai suatu instrumen gerakan strategis dalam membaca realitas pendidikan tinggi.
Dalam beberapa tempo lalu, ada beraneka ragam aliansi/forum yang dipertontonkan di dalam basis genealogi gerakan kampus UNJ. Sebutlah Aliansi Mahasiswa UNJ Bersatu yang terbentuk pada pertengahan 2016 lalu, Forum Militan dan Independen UNJ pada pertengahan tahun 2017, dan terakhir Aliansi Rakyat UNJ Bersatu pada penghujung tahun 2017. Dari serbaneka aliansi dan forum yang sempat terbentuk tersebut, kiranya yang hingga sampai saat ini masih bertahan adalah Forum Militan dan Independen UNJ—hal inilah yang menjadi tolok ukur penulis untuk memilih FMI UNJ sebagai wadah gerakan ketimbang aliansi lain yang relatif berumur pendek—kini didominasi angkatan muda/para mahasiswa baru UNJ (sekarang lazim disebut FMI muda). Penyerahan tongkat estafet pergerakan dari mahasiswa yang berpengalaman lebih dalam setiap gerakan UNJ kepada para mahasiswa yang sebagian besar belum merasakan panasnya situasi kampus, kiranya membenarkan tesis penulis bahwa sejatinya di UNJ terdapat akar permasalahan sistemik yang tidak hanya dirasakan para mahasiswa senior. Karena itu, penulis menilai kehadiran FMI muda bukanlah sebuah indoktrinasi senioritas yang memaksakan tongkat estafet itu harus di turunkan. Hal tersebut tercermin tatkala kita melihat ‘masih’ terdapatnya remah-remah perubahan dalam wujud pembacaan situasi kampus—walaupun berupa pembacaan secara virtual—oleh para mahasiswa junior di dalam wadah group media sosial FMI muda.
Penghimpunan basis kekuatan pergerakan dengan jalan pembacaan situasi kampus yang di proyeksikan oleh FMI muda, kiranya memanifestasikan kerangka pergerakan strategis yang tidak mengenal taktik. Langkah penyusunan gerakan dengan jalan pembacaan situasi ini amat penting dan mutlak perlunya dalam rangka menegasikan gerakan-gerakan temporer dan sporadis yang sempat menjadi teror epidemi individu-individu perubahan UNJ. Namun perlu diingat, dalam upaya pembangunan gerakan, pembacaan situasi kampus tidak diperkenankan dilakukan secara terbatas pada lingkup terkecil (yakni terbatas pada individu-individu yang masuk kategori anggota group media sosial FMI muda). Karena hal itu akan menjadikan pisau analisis FMI muda tumpul secara materil, sekaligus menjadikan pembacaan situasi itu lakasana kitab suci gerakan para “pendeta-gerakan UNJ”. Dalam beberapa waktu lalu, group FMI muda sempat memanas dengan diberitakannya beberapa kasus seperti; polemik penyusunan statuta UNJ, penurunan akreditasi UNJ, dan tak ketinggalan perubahan nama—terkait hal ini, sempat beredar pula isu pengembangan objek formal/program studi—di beberapa program studi. Namun, pembacaan situasi kekinian tersebut sayangnya masih dilakukan secara terbatas dan memiliki konsekuensi logis pada nihilnya dimensi riil gerakan.
Pembacaan situasi secara ekslusif kiranya hanya akan menjadikannya cerita fiksi yang sangat mungkin akan menidurkan kembali kesadaran seluruh elemen mahasiswa. Eksklusifisme benih-benih gerakan ini pun turut menuai paradoks kelak ketika posisi gerakan sudah memasuki tahap penyusunan gerakan secara riil. Massa yang tidak pernah merasa mengetahui akan kesadaran konstruktif yang telah dipetakan oleh FMI pada akhirnya akan menyingkir dari arena gerakan. Dan pada keberlanjutannya, peta gerakan yang telah disusun tempo hari hanya akan menghasilkan gerakan “tukang putch” yang mengkerdilkan grand design perjuangan FMI. PELEBARAN JURANG antara aliansi/forum dengan massa, itulah yang akan dihasilkan jika kita menutur gerakan-gerakan seperti demikian. Pembacaan peta situasi kampus sudah seharusnya diwakili oleh seluruh elemen kampus dan menjadikannya pembacaan secara komperhensif yang mewakili seluruh komponen kampus. Sehingga pembacaan situasi tersebut dapat dijadikan acuan “MILIK SADAR MASSA”. Perkenalan massa dengan pembacaan situasi kampus ini dapat diartikan sebagai proses dialektik massa dalam menemukan kesadaran yang sejatinya sudah terdapat di dalam dirinya yang selama ini diselubungi kebutaan sosial. Perangkulan seluruh elemen kampus dengan logika wadah gerakan kolektif adalah penting, Karena pergerakan tanpa mengenal aksi-massa hanyalah sebuah mitos para pendeta kafir agent of change.
Kiranya perlu kita pahami lebih lanjut, pergerakan yang hanya terbatas pada taraf pembacaan situasi tanpa pemetaan posisi (baik dalam hal logika ber-aliansi maupun posisi tawar tuntutan) pun juga hanya akan menjadikannya ‘pergerakan yang membangkaikan gerakan’. Pemetaan posisi (bargaining position) baik di dalam forum maupun di luar untuk memanifestasi pembacaan situasi yang telah dilakukan, memiliki andil bagi massa untuk mengenal lebih dalam akar masalah yang akan dijadikan sebagai senjata perjuangan. Mematangkan kembali pemetaan posisi dalam hal logika ber-aliansi kiranya akan menghindarkan forum dari anasir-anasir kontra-produktif yang sebetulnya memiliki kepentingan antagonistik dengan gerakan. Positioning sangat berperan dalam upaya pembangunan eskalasi gerakan kedepan. Sehingga aras gerakan yang dilakukan lebih kepada pemberdayaan komponen sivitas akademis atau penulis sebut “pemberdayaan sadar massa”. Menyingkirkan anasir-anasir kontra-produktif serta menjauhkan pesismisme untuk langkah kedepan kiranya perlu di cermati lebih dalam.
Siasat-siasat kontra-produktif ini kiranya sudah terbaca bermula sejak FMI UNJ melakukan aksi demonstrasi dalam bentuk mimbar bebas di Arena Teater Terbuka UNJ (24/5/17). Aliansi FMI UNJ sebagai wadah kontekstualisasi gerakan yang mewujud berdasarkan lokus keresahan masing-masing (baik mahasiswa, dosen, dan karyawan), kiranya telah terkebiri dengan adanya sejumlah aliansi di dalam aliansi dan Press Realease di dalam Press Realease yang telah disepakati. Di dalam sebuah tulisan berjudul “Seandainya Saya Dosen UNJ Yang Dipolisikan” karya Tyo Prakoso (dilansir dari gerakanaksara.blogspot.co.id), ia menilai bahwasanya membuat aliansi di dalam aliansi itu serupa tindakan menyodorkan pantat ketika diajak berbareng bergerak. Tyo menambahkan bahwa membuat Press Realease yang tidak disepakati aliansi membuat delapan persoalan (PANTURA/delapan tuntutan rakyat yang menjadi tolok ukur perjuangan UNJ kala itu) tidak terekspose media nasional.
Aliansi/forum FMI UNJ di fase awal gerakannya memang mendapat banyak terjangan. Hal tersebut tersurat tatkala kita melihat perihal apa yang telah Tyo Prakoso tulis tempo hari yang membuktikan terdapatnya bentuk hubungan antagonistik antar anasir—atau makhluk berbentuk apapun itu—yang telah memecah penyatuan laras perjuangan dan menimbulkan banyak problematika internal aliansi. Dalam memahami logika ber-aliansi sudah sepatutnya bila setiap anasir-anasir yang terhimpun kedalam satu wadah melakukan kesesuaian tindakan berdasarkan kesepakatan bersama, dan diluar dari pada itu kiranya perlu kita perhatikan masak-masak dimana posisi keterpihakan dan kepentingan apa yang dimainkan anasir tersebut dalam gerakan. Karenanya, hal yang demikian saat keberlanjutan pembangunan gerakan pada akhirnya dapat memicu masalah-masalah baru yang sudah seharusnya kita hindarkan. Siasat-siasat yang hanya di lakukan untuk memobilisasi massa yang bukan demi kepentingan aliansi inilah yang penulis cemaskan.
Bagaimanapun, siasat-siasat kontra-produktif dalam hal logika ber-aliansi yang seperti itu haruslah kita cermati masak-masak. Tak pelak bagi kita, bahwa pada fase gerakan UNJ selepas Parade Cinta Rakyat UNJ—yakni fase gerakan TUGU Rakyat UNJ (28/9/17)—kiranya seluruh individu yang turut urun-rembug di dalam aksi tersebut mengetahui dengan pasti bagaimana kepicikan anasir kontra produktif dalam memobilisasi massa yang secara pasti bertentangan dengan kesepakatan. Dilansir dari REPUBLIKA.co.id, TUGU Rakyat UNJ yang seharusnya menjadi martir gerakan kala itu dengan anekdotnya telah berubah redaksi menjadi “7 Tuntutan BEM UNJ Terkait Pemecatan Rektor UNJ”. Pledoi “7 Tuntutan BEM UNJ” ini menjadi hantaman keras bagi gerakan sivitas akademis UNJ bahkan hingga ke sumsum tulang penopang gerakannya. Sialnya lagi, penulis juga menemukan pledoi tersebut tidak hanya dikutip oleh satu media nasional, sebut saja skanaa.com yang juga mengutip pledoi absurd tersebut. Terlebih lagi, di tengah-tengah perhelatan akbar pergerakan rakyat UNJ tersebut terdapat “konferensi pers” Aliansi Dosen yang jelas-jelas tidak terdapat di dalam agenda gerakan. Tak ketinggalan beberapa waktu lalu, aliansi sempat dikejutkan dengan pembeberan berkas Lembar Pertanggung Jawaban (LPJ) yang dirilis oleh Badan Eksistensi Mahasiswa UNJ yang di dalam poin-poinnya terdapat sejumlah aksi aliansi yang pada kenyataannya bukan kegiatan ekstrakulikuler mahasiswa dan seakan menjadikan pergerakan tersebut sebagai ritus pemberhalaan sejarah mereka.
Perlu di pahami lebih lanjut, bahwasanya bukan maksud penulis untuk memancing pertentangan horizontal yang keberlanjutannya akan memancing sentimen primordial setiap anasir-anasir penyokong gerakan. Sekali lagi, penulis tidak bermaksud seperti demikian! Tetapi, sejarah gerakan kitalah yang membuktikan bahwa kondisi tersebut betul-betul terjadi di tengah-tengah kita. Kemarin, hari ini, dan esok—jika kondisi ini terus berulang—tak pelak bahwa aliansi akan terus terjangkit virus epidemi yang lebih parah dari H1N1, yakni virus eksistensi buta sosial dan virus oportunisme yang memandang suatu kelas lebih superior ketimbang yang lain. Kiranya penulis tidak ingin membicarakan hal ini secara panjang lebar, karena penulis menyadari betul keterbatasan jarak pandang penulis dalam melihat realitas objektif. Biarkanlah kontrol massa yang akan menelanjangi bulat-bulat sikap pura-pura cinta akan keadilan dan sikap pura-pura gagah dalam berpergerakan ini. Karena pada waktunya, kesadaran massa akhirnya akan menghukum selubung tindakan-tindakan yang memperalat massa demi kepentingan sendiri. Singkat kata, biarkanlah roda sejarah yang akan melumat hancur kepentingan mereka!
Singkat kata, aliansi adalah wadah yang sudah sepatutnya menampung seluruh keresahan sivitas akademis UNJ. Aliansi bukanlah suatu mainan jenaka yang dapat diputar balikkan arah dan tujuannya. Dan untuk keberlanjutannya, aliansi harus terus membacakan diri di dalam situasi apapun, bahkan di tengah situasi terburuk sekalipun. Kondisi dilematis gerakan kampus saat ini adalah persoalan yang tidak mungkin dapat kita jawab dengan pola pikir yang dilematis pula. Penghimpunan kembali kekuatan aliansi sebagai laras perlawanan adalah sebuah jalan yang harus ditempuh dengan kondisi seperti demikian. Berhimpun dengan topik obrolan pembacaan peta situasi kampus adalah jawaban riil yang membuat langkah gerakan aliansi semakin strategis kedepannya. Menyelamatkan remah-remah semangat perubahan itulah yang harus dijadikan langkah strategis kedepan. Dengan tindakan seperti demikian kiranya yang akan menyelamatkan aliansi dari kepensiunannya di arena gerakan rakyat UNJ.
Sampai disini kiranya kita telah memahai ‘setidaknya’ bagaimana peliknya persoalan realitas Pendidikan Tinggi. Masalah demi masalah, ketimpangan demi ketimpangan, yang dirasakan seluruh elemen UNJ seakan tak akan pernah ada titik pemberhentiannya. Mekanisme sistemik—dan memang mekanisme sistemik!—Pendidikan Tinggi komersil yang membawa kita kesegenap perosalan ketimpangan dan ketidakadilan tersebut. Sebagai pemuda penerus bangsa yang menolak larut dalam alam neo-liberalisme, kita sudah sepatutnya bergerak. Sebagaimana seorang PEMUDA YANG BERFIKIR DAN BERTINDAK. Peleburan semangat, peleburan harapan, peleburan cita-cita kedalam satu laras perlawanan kiranya haruslah kita jadikan pelecut siasat strategis dalam melihat dan mengarungi masa kelam Pendidikan Tinggi.
Praktek! praktek! dan praktek!, sudah sepatutnya kita jadikan sebuah dasar pemaknaan pergerakan. Karena, pergerakan bukanlah ritus pemberhalaan sejarah sebagai simbol pengkafiran diri dari satu kelas yang memisahkan satu dengan yang lainnya. TERBENTUR-TERBENTUR-TERBENTUK, sebagaimana yang dikatakan Tan Malaka tersebut kiranya hanya akan menjadi sebuah rumusan diatas kertas dan tak akan berarti apa-apa jika kita masih di dalam kondisi statis dan berkepala batu. Maka dari itu, kemerdekaan tak akan pernah datang dengan kekuatan magis dari piciknya alam pikiran kita. Kemerdekaan lahir atas sebuah praktek!, kemerdekaan haruslah disusul dengan sebuah tindakan dan mewujud sebagai sebuah gerak sejarah yang mematahkan dilema “the end of history” Francis Fukuyama. Entaskanlah epidemi pesimisme dalam berpergerakan, entaskanlah alur mekanis dari sistem Pendidikan yang komersil itu. Aliansi harus terus menerus bergerak!, apapun caranya dan apapun konsekuensinya. Sambutlah fajar pembebasan dengan sebuah tindakan.
UNJ bersatu!, singkirkan kepala batu!, UNJ satu cita! maka pendidikan pasti jaya!
KARENA (BER)GERAK ADALAH PRAKTEK!
Depok, Januari 2018
*Penulis merupakan kader Solidaritas Pemoeda Rawamangun (SPORA)
*) Opini ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Redaksi Didaktika