Oleh: Wisnu Adi Wibowo*

 

Sebelumnya: https://lpmdidaktika.com/2018/02/bergerak-adalah-praktek-part-1/

 

B. Mahasiswa sebagai subjek demokrasi kampus
Berkenaan dengan pemahaman kultur demokratis di dalam lingkup universitas (UNJ), penulis telah mengutarakannya di pendahuluan dari tulisan, yakni pemaknaan yang ambigu atas konsep ‘demokrasi’ yang penerjemahannya hanya sebatas pada pemilihan umum calon pemimpin representatif mahasiswa, pemilihan ‘umum’ birokrasi kampus, ataupun kebebasan bersuara agar tidak di’polisi’kan. Pemahaman konsep demokrasi yang seperti ini, kiranya mengkerdilkan grand design perjuangan yang sudah diutarakan di aksi-aksi lalu yang berkenaan dengan tuntutan demokratisasi kampus. Demokrasi elektoral yang hanya sebatas (mahasiswa) memilih bakal pemimpin, sejatinya mengkerdilkan peran mahasiswa sebagai subjek penyusun kerangka basis kebijakan kampus. Sebagaimana yang termaktub di dalam UU No. 12 Tahun 2012, pasal 1 ayat 13, disebutkan; sivitas akademika adalah masyarakat akademik yang terdiri atas mahasiswa dan dosen. Dalam konteks ini, sayangnya Undang-Undang tersebut tidak menunjang mahasiswa sebagai komponen mutlak sivitas akademik yang memilki peran aktif secara utuh (bukan dalam takaran normatif) dalam pembentukan kebijakan dan memilih calon birokrat kampus.

Sebelum melangkah lebih lanjut, dalam rangka upaya menghayati peran aktif mahasiswa dalam proses pembentukan landasan hukum kebijakan kampus, ada baiknya bila penulis mengguratkan sedikit kondisi yang berkenaan dengan iklim kampus yang tidak demokratis serta urgensi mahasiswa sebagai subjek demokrasi kampus. Kiranya ada dua poin krusial berkaitan dengan selubung ideologis yang menyelimuti mekanisme pendidikan tinggi:

Iklan

Pertama, Dasar dari kecacatan regulasi Uang Kuliah Tunggal yang tidak demokratis dalam simpul regulasi maupun praktiknya, serta tak ketinggalan buruknya tata ruang dan tata kelola kampus sejatinya berpangkal pada ketidakmaksimal dan ketidaktransparannya mekanisme pengelolaan Perguruan Tinggi. Dalam segi pengelolaan tata ruang, tata kelola keuangan dan kebjakan yang tidak transparan inilah kiranya yang akan membuka keran kesempatan birokrasi kampus untuk melakukan tindakan menyimpang seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Seluruh mahasiswa UNJ setidaknya mengamini bahwa di masa kepemimpinan rektor “Dj” yang kini sudah tidak menjabat, telah melakukan tindakan penyelewengan yang demikian.

Dilansir dari data temuan FMI UNJ yang juga termaktub kedalam 8 tuntutannya, setidaknya telah ditemukan data diantaranya; perihal data nepotisme rektor melalui bukti SK Nomor: 1197/SP/2016, Surat Pernyataan Menduduki Jabatan Nomor:4389/UNJ39.2/KP/2016, SK Nomor: 22398/A4/KP/2015, SK Nomor: 100258/A2.1/KP/2015, SK Nomor: 4/SP2016, dan Memo rektor tanggal 12 Februari 2016, serta perihal data temuan BPK RI melalui laporan pemeriksaan Nomor 20/HP/XVI/2017 tertanggal 18 Januari 2017 yang diantaranya menyebutkan telah ditemukan adanya pengelolaan aset tak berwujud yang tidak sesuai ketentuan sebesar Rp. 9,29 miliar. Penemuan data tersebutlah yang menguatkan fakta penulis bahwa telah terjadi distorsi-distorsi mekanisme kebijakan kampus atas keberpangkalannya pada penyelewengan kuasa yang tidak demokratis. Anasir yang tidak demokratis ini berarti; mahasiswa secara keseluruhan tidak pernah dilibatkan secara utuh dalam proses penetapatan besaran UKT, serta penjelasan dan evaluasi regulasi UKT sebagai suplai dana terbesar universitas.

Anasir yang tidak demokratis dalam program pengelolaan Perguruan Tinggi Negeri sehingga menghasilkan produk kebijakan tidak demokratis, kiranya perlu kita telisik sedikit mengenai landasan hukum yang menjadi dasar penyusunan kebijakan pengelolaan kampus. Dalam statuta UNJ tahun 2003 pasal 1 ayat 1, menyebutkan bahwa peraturan UNJ adalah ketentuan yang diputuskan oleh rektor untuk mengatur kebijakan umum pengelolaan UNJ dengan persetujuan Senat UNJ (sebagai badan normatif dan perwakilan tertinggi yang termaktub dalam pasal 1 ayat 3). Namun, kehadiran tatanan Senat sebagai badan perwakilan tertinggi, penulis anggap rancu dengan redaksi pada pasal 1 ayat 2, yakni rektor adalah penanggung jawab dan pengambil keputusan tertinggi UNJ. Makna kehadiran perwakilan Senat sebagai entitas badan tertinggi kampus kembali menuai ambivalensi, dimana dalam Statuta UNJ dicantumkan bahwa rektor juga merupakan Ketua Senat. Hal ini mencerminkan pada kita bagaimana kuatnya totalitarianisme kampus sangat mengakar pada mekanisme pengelolaan kampus yang bersandar pada Statuta. Mekanisme statuta yang tidak memungkinkan adanya check and balance pada anasir-anasir penyusun kampus pada akhirnya menciptakan tatanan struktural-depotik kampus. Hal ini lah yang menjustifikasi segenap tindakan otoriter mantan rektor kita tercinta “Dj”.

Kelaliman tatanan struktural UNJ yang bersandar pada mekanisme Statuta yang tidak dususun secara demokratis, menghasilkan kontrak sosial yang sejatinya tidak mendukung kepentingan sivitas akademik dalam upaya melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi. Statuta yang menghasilkan kebijakan picik dikarenakan tidak memiliki padanan badan struktural yang secara kongkrit setara dengan para birokrat kampus. Dalam konteks ini, kondisi kelaliman struktural kampus yang bersandar pada mekanisme statuta dikarenakan tidak dibarengi dengan kontrak sosial—dalam arti, tidak adanya struktur penyelaras dari pihak sivitas akademik yang diakui setara dengan senat—yang merupakan manifestasi dari kepentingan seluruh elemen sivitas akademis. kiranya perlu digaris bawahi di bagian ini, elemen-elemen kampus yang dimaksud BUKAN bersandar pada elemen sempit yang mendaku dirinya badan representasi, melainkan yang dimaksud elemen sivitas akademik adalah elemen TANPA REPRESENTASI SEMPIT DAN BUKAN PIRANTI LEGAL yang sejak masa Orde Baru sengaja diciptakan pemerintah untuk mendepolitisasi mahasiswa dan seakan mengecilkan kepentingan respublica academica. Penjabaran tersebut di dasarkan atas kondisi gerakan yang terindikasi terdapatnya anasir-anasir kontra-produktif dari golongan-golongan penyusun gerakan dengan eskalasi gerakan yang telah dibangun sebelumnya.

Kedua, Iklim yang tidak demokratis pun juga tidak hanya menghampiri mahasiswa dalam tatanan struktural kampus. Dalam lingkup unit terkecil yaitu proses akademis di dalam kelas, mekanisme kegiatan belajar satu arah membuat iklim tidak demokratis ini sangat kental hingga ke setiap sendi kehidupan mahasiswa. Meminjam teminologi Paulo Freire, dosen sebagai ‘patron’ yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dibanding mahasiswanya pada akhirnya akan menjerumuskan mahasiswanya ke dalam jurang kesadaran naif. Mekanisme kegiatan belajar satu arah hanya memberikan kesempatan pada dosen berceramah atas materi mata kuliah yang penuh dengan kuasa pengetahuan. Secara tidak langsung hal tersebut memposisikan sang dosen sebagai subjek ‘nasabah`yang serba tahu dan mahasiswa sebagai objek ‘deposit’ yang tidak tahu apa-apa (hal ini tercermin dari anggapan mahasiswa UNJ mengenai “dosen yang otoriter” dsb.). Sistematika gaya mendidik yang demikian memiliki konsekuensi logis terhadap matinya daya kritis mahasiswa dalam upaya penerapannya di realitas kehidupannya sendiri.

Matinya daya kritis mahasiswa pada akhirnya memposisikan dirinya sebagai objek akademik yang tidak tergali potensi dirinya. Dalam UU No. 12 Tahun 2012, pasal 13 ayat 1, menjelaskan bahwa mahasiswa sebagai sivitas akademik diposisikan sebagai insan dewasa dan memiliki kesadaran dalam mengembangkan potensi diri di Perguruan Tinggi, sungguh metode praktek belajar di UNJ tidak tercermin sesuai redaksi UU tersebut. Dalam pasal 13 ayat 4, juga menjelaskan bahwa mahasiswa berhak mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, potensi, dan kemampuannya. Dalam hal ini, mekanisme belajar satu arah sang dosen (baik secara personality maupun akar prakteknya) yang telah menjangkit kedalam pola pikir mahasiswa di UNJ sejatinya mematikan daya kritis dan terkesan tidak demokratis dalam hal akademis. Dalam konteks tersebut, UNJ sebagai universitas dalam praktik akademiknya yang tidak demokratis, dapat dikatakan tidak membangkitkan ‘intellectual tone’ mahasiswa dalam kehidupan berbangsa yang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dan berkeadilan dalam upaya menyatakan kebenaran universal.

Kedua faktor tersebutlah yang kiranya belum terpahami oleh sebagian besar elemen mahasiswa UNJ sehingga menjadikan isu demokratisasi ambigu, dan memberikan kesan bahwa isu tersebut hanyalah isu milik para dosen reformis. Mekanisme Statuta yang tidak transparan dan tidak memiliki keberpihakan kepada mahasiswa UNJ, bukan hanya sebatas kebersandarannya pada faktor moral akademis, keserakahan rektor dzhalim, dsb. Mekanisme Statuta dinilai penulis menjadi liar lantaran aturan yang menjadi landasan hukum pengelolaan kampus, yakni UU No. 12 Tahun 2012, tidak menunjang sivitas akademik (mahasiswa, dosen, dan karyawan) untuk memiliki andil dalam mekanisme proses penyusunan Statuta itu sendiri dan berlanjut pada tersubordinasinya mahasiswa di dalam kehidupan kampus (bahkan hingga proses kegiatan akademis di unit terkecil kampus). Jangankan mengenai persoalan peran aktif mahasiswa dalam proses penyusunan Statuta, dalam PP No. 4 Tahun 2014 (pasal 33 ayat 3) mengenai akuntabilitas publik Perguruan Tinggi, menyatakan bahwa ringkasan laporan tahunan Perguruan Tinggi wajib diumumkan setiap tahun kepada masyarakat, dalam hal ini mahasiswa tidak pernah merasa mendapat penjelasan secara rinci akan laporan tahunan di UNJ (alias tidak mendapat transparansi rincian laporan tahunan).

Pada poin pertama yang kiranya menjadi akar persoalan, bahwasanya letak posisi mahasiswa di dalam kehidupan kampus yang katanya “miniature state” tidak dapat disejajarkan dengan birokrasi kampus yang telah diatur oleh Undang-Undang. Menurut Luqman Abdul Hakim dalam tulisannya Kampus (harus) Demokratis (dilansir dari gerakanaksara.blogspot.co.id), pada akhirnya mahasiswa hanya merupakan peserta pasif yang hanya bisa menerima—paling banter merengek—segala kebijakan kampus yang tidak sesuai bahkan yang cenderung merugikan mahasiswa. Luqman menambahkan bahwa status dan hak mahasiswa untuk berpartisipasi dalam organisasi PTN sangat dibatasi, dan sangat terbuka kemungkinan hal tersebut masih merupakan dampak dari Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) di tahun 1978 yang lahir untuk membungkam daya kritis mahasiswa.

Memang, bila kita menengok sedikit kesegi historisitas pemberlakuan NKK/BKK, kita akan menemukan pereduksian politik kampus secara sistematis oleh pemerintah Orde Baru dan berbagai bentuk campur tangan korporatis di dalam kehidupan kampus. Di dalam mekanisme struktural kampus sebelum pemberlakuan NKK pada 1978, posisi Dewan Mahasiswa (selanjutnya disebut Dema) sangat strategis, otonom, dan independen. Dalam struktur pemerintahan kampus, Dema dianggap setara kedudukannya dengan pihak birokrasi kampus, serta independen dan otonom dalam mengelola segala tindakan mahasiswa baik di dalam arena kampus maupun di luar sebagai agent counter politik di masa Orde Baru. Namun, pada sekitar tahun 1978 permerintah mengeluarkan kebijakan melalui SK Menteri Pendidikan, Daoed Joesoef, No. 0156/U/1978 tentang NKK dan disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotan BKK, Dema dan Majelis Mahasiswa (MM) dibubarkan dalam upaya pemerintah untuk memberangus aksi kritis elemen mahasiswa dan pemuda serta mendepolitisasi kampus. Hal tersebut praktis membuat gerakan dan aksi-aksi kritis mahasiswa mandul baik di dalam maupun diluar, dan menjadikan mahasiswa study oriented sehingga selama puluhan tahun bahkan hingga kini kegiatan mahasiswa menjadi apolitis, tidak berbudaya kritis dan terkesan elitis dengan peranggapan pendidikan sebagai pemenuhan tekno-struktur pembangunan.

Dalam buku Unnfinished Nation karya Max Lane, menyatakan; Dema dilarang di semua kampus berdasarkan satu kebijakan yang disebut Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), yang sesuai dengan konsep Ali Murtopo: “massa mengambang”. Konsep itu kini juga diterapkan di arena kampus. Tugas mahasiswa hanyalah belajar, dan akhirnya menjadi “massa mengambang” yang sekadar “menyembunyikan dirinya dalam usaha-usaha pembangunan” (Max Lane, 2014: 147). Dan pada kelanjutannya ketika pemberlakuan SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi) berdasarkan SK Menteri Pendidikan Fuad Hassan No. 0457/U/1990, SMPT dianggap elitis dan merupakan sebagai keberlanjutan dari NKK/BKK yang hanya berubah bungkus. Pemberlakuan SMPT sangat tidak mandiri, tidak otonom, tidak independen karena tepat berdiri di bawah ketiak birokrasi kampus yang memiliki hak untuk ikut mendekorasi persoalan SMPT. Pada keberlanjutannya, di beberapa kampus SMPT berubah bentuk (perlu diingat, hanya bungkusnya saja) menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa dengan posisi subordinasi dan depolitisasi yang sama mutlaknya dengan SMPT.

Iklan

Segenap upaya pihak pemerintah yang menjelma menjadi birokrasi kampus serta berbagai campur tangan pihak korporat untuk mendepolitisasi kehidupan kampus rasanya sudah sangat nyata bagi kita ketika upaya-upaya gerakan mahasiswa sebagai sivitas akademik UNJ reaksioner dan mandul dihadapan birokrasi kampus. Proyeksi struktur BEM yang terkesan “elitis” memberikan arti bahwa struktur tersebut merupakan ilusi optik dari apa yang disebut tatanan Student Government. Posisi tawar yang mutlak tidak dimiliki BEM dihadapan birokrasi kampus—karena tepat berada di bawah ketiak birokrat—tidak akan menambah gelegar perjuangan yang menyapu hingga ke akar rumput. Monopoli kekuasaan birokrasi kampus kedalam tataran BEM merupakan sebuah bentuk belenggu pengebirian gerakan mahasiswa UNJ. Dalam hal ini, posisi tawar BEM yang tersubordinasi dan terdepolitisasi bukanlah sebuah jawaban logis untuk mendapatkan posisi tawar sivitas akademik UNJ dalam proyeksi demokrasi kampus, lantaran kesan elitis dalam diri BEM yang sejatinya telah tersetir oleh para elit universitas. Karena itu, BEM penulis anggap tidak dapat menjadi sebuah wadah kontekstualisasi gerakan mahasiswa dalam merebut demokrasi kampus di UNJ. Melainkan, jawaban ideal untuk mewujudkan demokrasi kampus adalah membangkitkan kembali roh Dewan Mahasiswa—menyatu dengan Dewan Sivitas Akademik—sebagai komponen eksekutif dari elemen sivitas akademik (mahasiswa, dosen, dan karyawan) yang berdiri otonom, independen, dan setara dengan Senat Universitas.

Penulis mafhum betul, bila apa yang penulis sebutkan diatas sejatinya dapat dikatakan telah melompati landasan hukum yang berlaku saat ini. Dalam PP No. 4 Tahun 2014, hanya terdapat 2 stakeholder yang memiliki tugas, tanggung jawab, dan wewenang atas penyelenggaraan dan pengelolaan Perguruan Tinggi yakni Kemenristekdikti dan Organisasi Perguruan Tinggi (Senat Universitas dan Pemimpin Perguruan tinggi; Rektor beserta jajarannya). Dalam UU No. 12 Tahun 2012 pasal 14 ayat 3 dan pasal 77 ayat 5, berkenaan dengan Organisasi Mahasiswa menunjukkan bahwa tidak adanya delegasi dari pihak mahasiswa untuk sekadar mengkritisi pengajuan draft statuta (yang belum difinalisasi) atau bahkan tidak memiliki posisi tawar di dalam rapat plenno staff. Dalam beberapa aturan memang sudah jelas bahwa mahasiswa tidak memiliki posisi tawar untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan statuta atau bahkan hanya sekadar memiliki hak veto di dalam rapat plenno staff universitas yang kini tengah diperbincangkan. Namun, berkat ketidak jelasan dan ketidak transparannya statuta di UNJ sehingga menghasilkan despotisme struktur birokrasi kampus yang terjadi semasa rezim dzhalim-despotik lalu, setidaknya dengan fakta-fakta tersebut mahasiswa UNJ saat ini berada dititik paling krusial untuk memaksa terealisasinya pembentukan Dewan Mahasiswa ataupun Dewan Sivitas Akademik, dalam upaya menjadikan statuta sebagai kontrak sosial setiap elemen kampus. Partisipasi politik harus dipraktekkan! karena hal itu bukan sekedar utopia atau mimpi basah di siang bolong.

Kiranya kehadiran Dewan Mahasiswa juga dapat di jadikan sebuah antitesa terhadap kelemahan-kelemahan Badan Eksekutif Mahasiswa dari model “Student Government” yang pada kenyataannya menggantung keatas dan mandul secara politik. Keterlibatan aktif secara utuh peran mahasiswa sebagai bagian terbesar elemen sivitas akademis menjadi penting tatkala kita menengok kesegenap permasalahan yang menimpa UNJ yang sejatinya bersandar pada ketidak demokratisnya mekanisme pengelolaan Perguruan Tinggi (dalam hal ini UNJ secara khusus dan kampus-kampus lain secara umum).

Alasannya sederhana, mekanisme pengelolaan Perguruan Tinggi sebagian besar tertuju untuk elemen mahasiswa. Namun, mahasiswa secara keseluruhan tidak pernah merasa dilibatkan dalam proses pembuatan landasan pengelolaan kampus. Dalam konteks ini, mahasiswa sebagai elemen paling vital dalam universitas, maka peran aktif mahasiswa secara utuh atau sekadar bentuk sharing administrasion adalah mutlak perlunya. Karena segala kebijakan dan pengelolaan kampus—baik dalam pemberlakuan regulasi UKT, mekanisme tata ruang dan tata kelola kampus, pemilihan dekan dan rektor, dsb.—merupakan dasar rumusan pencapaian hak mahasiswa. Sampai pada bagian ini kiranya penting untuk memperhatikan aspek demokratisasi kampus sebagai dasar tuntutan (mengingat demokratisasi merupakan masalah kompleks) dan bukan mengedepankan pakta integritas—karena pakta integritas tanpa memiliki posisi tawar dihadapan birokrasi kampus adalah suatu kebohongan kronis—bagi gerakan mahasiswa UNJ kedapan. Karenanya, demokratisasi kampus merupakan sebuah jembatan emas menuju penghancuran secara riil belenggu yang selama ini dirasakan seluruh sivitas akademik UNJ.

(bersambung)

 

*penulis merupakan kader Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA)

 

*) Opini ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Redaksi Didaktika