Oleh: Wisnu Adi Wibowo*
PERJUANGAN BELUM USAI!, Gejolak perlawanan TUGU—Tujuh Gugatan—Rakyat UNJ pada 28 September lalu bukanlah sebuah fantasi kosong untuk memenuhi eksistensi diri, bukan sebagai prasyarat pemenuhan Lembar Pertanggung Jawaban organisasi, bukan pula sebagai bentuk simbolisasi kegembiraan atas lengsernya rezim dzhalim-despotik, sekali lagi BUKAN DEMIKAN!. Aksi TUGU Rakyat UNJ sejatinya berangkat dari kesadaran bahwa perjuangan sebelum-sebelumnya tidak membawa dampak perubahan signifikan bagi kondisi Universitas Negeri Jakarta. Aliansi harus terus-menerus bergerak, aksi Aliansi Mahasiswa UNJ Bersatu (30/5/16), Parade Cinta Rakyat UNJ (15/6/17) maupun aksi TUGU Rakyat UNJ (28/9/17) hanya sebuah permulaan, sebagai bagian dari proses gerak dialektik untuk menuju perubahan secara kualitas.
Reformasi birokrasi kampus bukanlah jawaban logis atas berbagai persoalan yang kita derita. Reformasi birokrasi kampus hanya akan membawa kita pada keresahan yang sama dengan pola-pola ‘ketertindasan’ yang berbeda dari sebelumnya. Meminjam analogi dari sebuah tulisan karya Tyo Prakoso berjudul “Seandainya Saya Dosen UNJ Yang Dipolisikan”, Reformasi rezim oligarki hanya akan memperlihatkan kita pada adegan “mengganti tikus dengan curut”. Kasus plagiarisme yang sempat meledak beberapa waktu lalu hanyalah puncak gunung es dari silang-sengkarut Pendidikan Tinggi Negeri yang berpangkal pada cacatnya mekanisme regulasi Uang Kuliah Tunggal, buruknya tata ruang dan tata kelola kampus, serta ambigunya pemaknaan konsep ‘demokrasi’ yang terjemahannya hanya sebatas pada pemilihan umum calon pemimpin representatif mahasiswa, pemilihan ‘umum’ birokrasi kampus, ataupun kebebasan bersuara agar tidak di’polisi’kan.
Sadarlah, bahwa benalu akan selalu tumbuh jika kita hanya memotong daun-daunnya, Masalah tidak akan pernah usai jika kita tidak mencerabut akar permasalahannya. Maka, untuk mengentaskan kondisi dilematis pergerakan akhir-akhir ini dan untuk menggerus karat-karat kapitalisme Pendidikan Tinggi, behimpun dan merefleksikan kembali untuk menjabarkan komplekstisitas masalah secara sistematis adalah mutlak perlunya. Karenanya, memaknai pergerakan bukan sebatas berteriak sorak-sorai kian kemari di dalam ambang angan-angan abstrak revolusioner yang tidak jelas bentuk dan ukurannya. Bergerak haruslah kita maknai sebagai suatu usaha, suatu cara, MENGAPA, dan APA YANG AKAN DILAKUKAN secara sadar akan masalah untuk mencapai suatu konsekuensi ideal, yakni pendidikan murah, demokratis dan berbasis kerakyatan.
KARENA (BER)GERAK ADALAH PRAKTEK!
Sebelum menyelam kedalam substansi pembahasan, ada baiknya bila penulis mencoba sedikit mengutarakan maksud penulis. Penulis berpikir, cairnya kondisi gerakan pasca aksi TUGU Rakyat UNJ (28/9/17) seakan membenarkan pra-duga penulis bahwa sebetulnya terdapat permasalahan mendasar yang belum terselesaikan di dalam ambang kesadaran setiap insan gerakan mahasiswa UNJ; hanya sebatas melawan isu yang bersifat sesaat dan tidak menjadikannya jaminan bahwa belenggu itu masuk kedalam liang kuburnya. Kondisi seperti inilah yang kiranya menurut penulis membuat gerakan mahasiswa UNJ terkesan sporadis, reaksioner dan temporer. Maka, untuk menjawab persoalan serius tersebut, di dalam tulisan ini penulis akan menspesifikasi arah pembacaan menjadi 3 poin pembahasan, yakni; A. Reformasi kampus bukanlah sebuah sintesa akhir, B. Mahasiswa sebagai subjek demokrasi kampus, C. FMI UNJ (Forum Militan dan Independen UNJ) sebagai langkah strategis gerakan. Menurut penulis, ketiga poin pembahasan tersebut merupakan persoalan mendasar yang kiranya perlu dijelaskan secara sistematis dan terspesifikasi pada tiap-tiap poin. Sebagai upaya langkah awal dalam memahami simpul dasar berbagai masalah yang menimpa UNJ sekaligus demi langkah pembangunan eskalasi gerakan pelajar UNJ secara utuh kedepannya.
A. Reformasi kampus bukanlah sebuah sintesa akhir perjuangan
Belenggu yang menjerat mahasiswa UNJ sejatinya belum sepenuhnya hilang. Sejarah membuktikan, bahwa Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang komersil dan tidak transparan serta absurdnya tata kelola dan tata ruang kampus sejatinya telah mengakar dan sudah menjadi ‘keresahan sistemik’ sebagai jamuan pengebirian Pendidikan Tinggi yang masih nyata adanya di tengah-tengah pergaulan hidup sivitas akademik UNJ. Terkhusus mengenai regulasi Uang Kuliah Tunggal yang sejak pemberlakuannya pertama kali pada tahun 2012—berdasarkan amanat Undang-Undang Perguruan Tinggi No. 12 Tahun 2012—diperkirakan menjadi solusi bagi mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi. Di karenakan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa dinilai lebih ringan dibanding regulasi SPP. Namun, dalam beberapa kali kesempatan (baik secara simpul regulasi maupun secara teknis pemberlakuan) UKT menunjukkan keabnormalan dirinya.
Berdasarkan Permenristekdikti No. 39 Tahun 2016, penggolongan UKT bagi calon mahasiswa baru ditentukan atas dasar kemampuan ekonomi, faktanya tidak tepat sasaran. Dalam praktek penggolongan UKT di UNJ, UKT di bagi menjadi beberapa golongan dengan range biaya yang berbeda. Range biaya terendah di tahun 2017 yakni; kelompok 1 (Rp. 500.000,-) dan kelompok 2 (Rp. 1.000.000,-). Penetapan penggolongan biaya UKT di tahun 2016, untuk kelompok 1 dan 2, serta mahasiswa kategori Bidik Misi digabungkan dalam satu wadah dengan kuota sebesar 20% berdasarkan dari keseluruhan jumlah mahasiswa baru yang tersebar di setiap Program Studi. Namun, anekdot mengenai regulasi UKT menunjukan, berdasarkan data yang dihimpun oleh tim advokasi BEM UNJ, bahwasanya kuota kelompok 1 dan 2 belum sepenuhnya terpenuhi. Ini membuka ruang ditemukannya ketidak tepatan mekanisme penggolongan range biaya UKT yang bersandar pada kesesuaian kemapuan ekonomi.
Begitu pula sama bermasalahnya dengan pemberlakuan masa sanggah yang di tetapkan bagi mahasiswa baru yang merasa keberatan dengan penetapan golongan UKT. Dilansir dari Haluan Mahasiswa IV LPM Didaktika UNJ, beberapa mahasiswa angkatan 2017 (yang sengaja tidak disebutkan namanya disini) merasa mengeluh atas golongan UKT yang ditetapkan padanya. Salah seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) tersebut menyatakan bahwa dirinya seharusnya tidak mendapatkan golongan UKT tertinggi di fakultasnya. Sebelumnya, ia menyatakan bahwa dirinya telah mengikuti masa sanggah pada 6 Juli 2017 di Aula UPT perpustakaan UNJ, namun ia tidak segera mendapatkan restu dari pihak Universitas untuk menurunkan jumlah UKT-nya. Kamandoko, sebagai Kepala Bagian perencanaan UKT menyatakan, kerap terjadi masalah pada prosedur penggolongan UKT (baik secara penetapan awal maupun dalam masa sanggah).
Bahkan dalam beberapa kali kesempatan, UKT sebagai syarat pembayaran tunggal mahasiswa atas biaya pendidikannya seringkali ditemui biaya yang harus dibayar mahasiswa diluar pembayaran UKT-nya. Berdasarkan atas data yang dihimpun Forum Militan dan Independen UNJ, bayaran yang harus dibayar mahasiswa di luar UKT kerap kali ditemukan, sebagai contoh; dana untuk Kuliah Kerja Lapangan (KKL), outing class ke Taman Mini (TMII), dll. Beberapa contoh yang dapat kita sebut “pungutan liar” ini memang sudah menjadi isu populis bagi seluruh mahasiswa UNJ. Menurut Permenristekdikti No. 39 Tahun 2016 pasal 8; Perguruan Tinggi Negeri yang memberlakukan regulasi UKT dilarang melakukan pungutan dalam bentuk apapun terhadap mahasiswa. Tetapi nyatanya, seperti yang telah disebutkan diatas semakin memperjelas bahwa regulasi UKT dalam teknisnya telah melangkahi aturan yang telah diatur oleh Kemenristekdikti. Dalam hal ini, mekanisme sistem monitoring dan evaluasi (SIMonev) yang diberlakukan Kemenristekdikti untuk mengawasi kepastian hukum kepada mahasiswa terkait persoalan UKT pun juga tidak dapat kita temui landasan hukum yang tegas jika terdapat pelanggaran.
Memang, mekanisme regulasi UKT yang diberlakukan UNJ dalam teknis pemberlakuannya telah memperlihatkan rantai baja yang cukup kuat untuk mengekang mahasiswa dengan mahalnya biaya kuliah. Namun, permasalahan UKT yang dalam konsepsinya ‘tunggal’, memiliki akar historis yang syarat akan masalah dan tidak semerta-merta berhenti sampai disini. Sudah barang tentu, sebagian besar mahasiswa UNJ mengamini bahwa pada tahun 2016 adalah bukti bagaimana ke-abnormalan akut dari makhluk yang bernama UKT ini. Dilansir dari UNJkita.com, pada tahun 2016, Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) mengalami penurunan, dikarenakan atas banyaknya Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang bertransformasi menjadi Perguruan Tinggi Negeri, sehingga mengakibatkan dana BOPTN yang tidak disesuaikan dengan jumlah pertambahan PTN terpecah. Biaya operasional UNJ yang terpusat pada pembangunan, penurunan dana subsidi dari BOPTN, secara objektif, kampus akan menaikan jumlah pembayaran UKT dan bahkan menetapkan regulasi uang pangkal untuk menambal beban pengeluaran. Pemberlakuan regulasi uang pangkal dengan pledoi “sumbangan dana pengembangan fasilitas” sebesar Rp. 15.000.000,- memberikan arti bahwa UKT bukanlah biaya kuliah yang secara konsepsi “tunggal”.
Dilansir dari UNJkita.com, dalam Permenristekdikti No. 22 Tahun 2015 tentang Biaya Kuliah Tunggal, pada pasal 8 menyatakan bahwa PTN dilarang memungut uang pangkal/atau pungutan lain selain UKT dari mahasiwa baru bagi program S1 dan Diploma. Namun, hal ini justru berbanding terbalik dengan redaksi di pasal selanjutnya, yakni pasal 9 yang menyebutkan bahwa PTN dapat memungut uang pangkal/atau pungutan lain selain UKT bagi mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional, mahasiswa yang melalui jalur kerjasama dan/atau mahasiswa yang melalui jalur seleksi mandiri bagi program S1 dan Diploma. Memang, sangat jelas sekali bahwa telah terjadi inkonsistensi regulasi UKT yang diterapkan Kemenristekdikti ini, dimana Uang Kuliah Tunggal dalam beberapa kasus yang terjadi di UNJ (tidak menutup kemungkinan terjadi di kampus-kampus lain yang juga menerapkan regulasi UKT) secara objektif telah mencederai asas ke-“tunggal”annya. Jika mekanisme regulasi UKT tetap bertahan di UNJ, yang secara konsepsi tidak jelas seperti yang telah disebutkan anasirnya secara gamblang diatas, penulis mengajukan tesis bahwa tidak menutup kemungkinan akan terus terjadi dan akan senantiasa kita rasakan kecacatannya kelak dikemudian hari.
Beberapa contoh kasus pencederaan konsepsi UKT yang memiliki asas “tunggal” diatas, telah menjadi ‘keresahan akut’ bagi mahasiswa UNJ, baik bagi mahasiswa yang berkecukupan maupun mahasiswa yang tidak memiliki perekonomian stabil. Bahkan, masalah perincian regulasi UKT yang tidak transparan dan tidak demokratis pun juga tidak kalah akutnya dari mekanisme regulasi UKT itu sendiri. Persoalan mengenai transparansi perincian aliran dana terhadap sarana-prasarana serta perincian aliran dana ke dalam kegiatan OPMAWA dan ORMAWA menjadi keresahan yang tak kalah serunya. Berangkat dari asumsi sederhana, suplai dana terbesar kampus berasal dari UKT, apakah sudah teralokasi dengan baik?. Sudah barang pasti, seluruh mahasiswa UNJ sepakat untuk menjawab TIDAK!. Kita dapat menemui dengan mudah betapa bobroknya sarana prasana UNJ sebagai penunjang kegiatan akademik di setiap program studi S1. Sebut saja semisal rusaknya LCD, AC, toilet, ruang laboratorium yang tidak memadai, kurangnya jumlah kursi, jumlah ruang perkuliahan, minimnya lingkungan belajar yang sehat, ruang terbuka publik, listrik yang kerap mati mendadak, dan masih banyak lagi.
Permasalahan demi permasalahan kembali timbul. Masalah lama yang belum usai, kini kembali muncul masalah baru. Dilansir dari Haluan Mahasiswa edisi Desember 2017 LPM Didaktika UNJ, berdasarkan data hasil Stock Opname pada Maret 2017 yang dilaksanakan selama kurang lebih satu bulan, terdapat 25. 254 buku yang hilang dari 102.097 koleksi buku yang ada. Jumlah buku yang hilang lebih banyak daripada buku yang dipinjam, yaitu 7.687 buku. Rita Jenny selaku Kepala Perpustakaan UNJ merasa prihatin terhadap kesulitan Perpustakaan UNJ untuk mendapatkan dana dari pihak rektorat. Kurangnya jumlah buku sebagai penunjang referensi yang nantinya dapat digunakan mahasiswa untuk melakukan kegiatan penelitian di UNJ, semakin menguatkan fakta bahwa UKT yang tidak transparan menghasilkan sebuah permasalahan turunan yaitu abnormalnya tata ruang serta tata kelola kampus.
Dilansir dari Warta MPA Edisi II LPM Didaktika, pada tahun 2015 jumlah mahasiswa baru yang diterima UNJ sekitar 5. 475 orang, pada tahun 2016 sekitar 6. 176 orang, sedangkan pada tahun 2017 UNJ menerima jumlah mahasiswa baru sekitar 6. 382 orang. Lonjakan jumlah penerimaan mahasiswa baru yang tidak diimbangi sarana prasarana yang mendukung bertentangan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 73 ayat 4, yang berisi Perguruan Tinggi menjaga keseimbangan antara jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap Program Studi dan kapasitas sarana dan prasarana, dosen dan tenaga kependidikan, serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya. Sungguh suatu permasalahan yang serius ketika jumlah mahasiswa baru yang terus melonjak sejak tahun 2016 tidak diimbangi dengan jumlah lulusan serta ketersediaan sarana prasana yang baik.
Sampai disini kita dapat memastikan bahwa sejatinya kegiatan akademik mahasiswa UNJ tidak tertunjang dengan baik. Absurdnya mekanisme regulasi Uang Kuliah Tunggal yang komersil dan tidak transparan memiliki konsekuensi logis atas timbulnya permasalahan tata ruang serta tata kelola yang buruk. Penerimaan jumlah mahasiswa baru yang tidak ditunjang dengan sarana prasarana—perpustakaan yang tidak memadai, ruang kelas kurang dsb.—kiranya menimbulkan masalah yang belum lama ini sempat mencuat, yakni plagiarisme. Mengenai plagiarisme, belum lama ini terjadi di Pasca sarjana (UNJ) yang membelit salah seorang Gubernur yang tidak penulis sebut secara spesifik disini, sebetulnya bukan sebuah kejadian alamiah yang lahir dari kehendak-kehendak gaib di dalam diri seseorang. Plagiarisme yang menimpa Pasca sarjana UNJ hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak penyelewengan Tridharma di berbagai Perguruan Tinggi. Pasalnya, seluruh elemen kampus pun tidak ada yang dapat memastikan bahwasanya tindak plagiat tidak terjadi di program S1 dan Diploma UNJ. Karena menurut penulis, plagiarisme bukanlah suatu permasalahan yang menyangkut satu individu yang memiliki sifat malas mencari dan mengklarifiksi sumber, ataupun lupa mencantumkan sumber. Jika kita telisik lebih dalam lagi dari segenap permasalahan yang terjadi di UNJ, kita akan menjumpai syarat objektif yang menjadi dasar dari tindak plagiarisme itu dapat terjadi, dan membuka ruang bagi program S1 dan diploma UNJ—bahkan di kampus-kampus lain—turut serta melakukan tindak plagiat.
Telah disebutkan terdahulu bahwa cacatnya regulasi UKT yang memiliki konsekuensi logis atas timbulnya permasalahan tata ruang dan tata kelola yang buruk dan pada akhirnya memiliki implikasi pada timbulnya tindak plagiat. Lalu bagaimana bisa satu permasalahan dapat memiliki impact ke permasalahan lainnya?, dengan kata lain bagaimana konsekuensi logis suatu masalah atas masalah lain bekerja secara teratur?
Dalam konteks mengenai permasalahan mekanisme regulasi UKT dengan segenap kecacatannya, pada akhirnya membuat mahasiswa berusaha untuk cepat-cepat lulus dan seakan mengabaikan asas Tri Dharma Perguruan Tinggi, dikarenakan biaya kuliah yang ia terima menjadi beban dalam proses akademisnya. Tata kelola yang buruk tak ketinggalan, perpustakaan selaku penyedia referensi penunjang kegiatan penelitian sedang dalam kondisi terabaikan, karena dana penyokong dari pihak rektorat tidak memadai dan terkesan tidak transparan. Mahasiswa tingkat akhir yang sedang menjalani tugas akhir (skripsi/KTI) menjadi terhambat, karena kurangnya referensi terdekat yang disediakan pihak kampus. Kurangnya bahan referensi juga berakibat pada matinya kultur akademis (baca dan tulis) dalam mengembangkan potensi diri (bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2012, pasal 6). Melonjaknya jumlah mahasiswa baru yang tidak berbanding dengan jumlah lulusan dan ketersedian sarana ruang kelas yang memadai juga dinilai penulis sebagai faktor penimbul tindak plagiat. Padatnya jumlah mahasiswa pada unit terkecil (yakni Program Studi) membuat susana kelas tidak kondusif dan terkesan mengganggu proses kegiatan belajar didalam kelas. Minimnya ketersedian tenaga pendidik yang berkualitas serta berintegritas memberikan arti pula bahwa proses pengembangan potensi mahasiswa dalam unit terkecil tidak tercapai.
Pendek kata, segala silang-sengkarut sistem pengelolaan pendidikan di UNJ-lah yang dalam keberlanjutannya menghasilkan lulusan ‘plagiat’ yang tak tergali potensi dirinya. Kecacatan mekanisme regulasi UKT menunjukkan pada kita paradigma yang komersil—yakni ‘logika untung-rugi’ bahwa semakin mahal biaya pendidikan, kualitas penyelenggaraan pendidikan akan semakin meningkat—dan tidak sejalan dengan kepentingan sivitas akademis yang menjunjung tinggi pengetahuan serta kebenaran ilmiah. Maka dari itu, masalah-masalah yang telah disebutkan anasirnya secara gamblang diatas, mengisyaratkan pada kita bahwasanya masalah yang menimpa UNJ bukan sekadar masalah temporer, karena masalah-masalah tersebut sejatinya beririsan dengan absurdnya mekanisme sistem yang diacu. Penempuhan jalan reformasi kampus dan tidak meninitik beratkan atas “masalah sistemik” hanya akan menjadikannya ‘gerakan tanpa prinsip’. Bahwa, tolak komersialiasi pendidikan, cabut regulasi UKT yang seharusnya menjadi titik berangkat kelogisan tuntutan kita. Karena itu, revolusi sistem Pendidikan Tinggi lah yang harusnya kita jadikan sebuah sintesa akhir!
(bersambung)
*penulis merupakan kader Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA)
*) Opini ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Redaksi Didaktika