Ketika seorang tokoh mengatakan sistem pemerintahan demokrasi liberal adalah sistem final, hal itu menjadi kontroversi. Tokoh itu mengasumsikan gagasannya atas pertimbangan banyaknya negara yang sedang bertransformasi menuju sistem itu. Ditambah, negara-negara yang menerapkan sistem tersebut adalah negara-negara yang punya kuasa–banyak yang menyebutnya negara maju.
Para tokoh lain, (yang tentunya tidak sepakat) mengecamnya dan menganggap pandangan itu terlalu gegabah. Memang, begitu tidak arif jika menganggap satu sistem pemerintahan adalah yang paling benar. Partimbangan perbedaan latar belakang budaya merupakan pembahasan yang perlu dikaji dan diperhatikan dalam menerapkan sistem pemerintahan.
Gagasan itu benar terbantahkan ketika cina kini mampu menjadi negara yang punya pengaruh dengan tetap mempertahankan ciri khas sistem pemerintahanya. Begitu digambarkan Martin Jacques dalam bukunya “Ketika Cina Menguasai Dunia.” Cina dalam bangkit dari keterpurukanya adalah cara-cara yang murni Cina.
Akar Pola Pikir Cina
Pada masa jayanya, (jaman kekuasaan dinasti-dinasti kerajan) Cina sudah melakukan pelayaran. Hampir sama seperti yang dilakukan oleh bangsa eropa dalam penjelajahanya menuju pencarian wilayah baru. Perbedaanya, Cina lebih dahulu melakukan penjelajahan itu.
Selanjutnya, Cina punya tujuan yang sama sekali berbeda. Penjelajahan mereka bukan untuk mencari tempat jajahan ataupun menguasainya. Namun sekadar hasrat–walaupun tidak sesederhana yang terbayangkan–menunjukkan kemajuan peradaban dan teknologi yang berhasil diciptakanya, sebagai lambang mereka sudah lebih maju.
Bahkan penjelajahan itu menghasilkan catatan-catatan tentang observasi mereka terhadap bangsa lain yang mereka temui. Kembali lagi pada prinsip dasarnnya, menurut Martin Jacques, itulah gaya Cina, memandang bangsa lain. Bukan untuk mengusai tapi menunjukkan kemajuan keagungan peradaban mereka. Hal itu sebenarnya menggamarkan psike dan pola pikir bangsa Cina. Dibangun oleh doktrin kemajuan peradaban yang tidak bisa disangkal, banyak berpengaruh hingga sekarang.
Pola pikir itu hari ini, menurut Martin Jacques, terimplementasi dalam bentuk rasisme. Baik terhadap kulit putih maupun hitam. Dan itu tidak begitu buruk, melihat akhirnya bangsa dari negara itu punya kesadaran untuk mendahulukan loyalitas terhadap negara dan rasnya (dalam konteks nasionalisme) sebagai proteksi dari dikte bangsa lain.
“…contoh-contoh tersebut mengingatkan bahwa ras tetap merupakan faktor berpengaruh dalam pemikiran Cina dan menopang sebagian besar sentiment nasionalis.” (Hlm. 291).
Poin utama penyebab kemunculan rasisme itu adalah rasa percaya diri, atau bahkan angkuh. Itu dianggap sikap alami dari bangsa yang peradabannya sangat tua, yang bahkan sudah mendahului bangsa lain.
Contoh lain pendorong munculnya psike rasis adalah Cina dahulu, memandang negaranya sebagai pusat dunia (sinosentrisme). Bagaimana peta dunia versi cina kuno berbentuk lingkaran atau empat pesegi panjang dengan kerajaan tengah sebagai pusatnya.
Semakin jauh dari kerajaan pusat itu, dianggap sebagai lapisan luar atau peradaban pinggir yang digambarkan sebagai orang-orang barbar. Maka munculnya benteng besar Cina kurang lebih untuk melindungi kerajaan tengah dari serangan serangan barbar bangsa lain.
“Cina meyakini dirinya sebagai pusat dunia, kerajan tengah, negeri di bawah langit (tiangxia), berada di tataran yang sama sekali berbeda dari kerajaan negara-negara lain, bahkan tidak memerlukan nama.” (Hlm. 268).
Jatuh Bangun Cina
Meskipun Martin Jacques mempertanyakan standar tentang adanya peradaban tertinggal, beberapa hal ia identifikasi sebagai penyebab munculnya rasa ketertinggalan Cina. Konteks saat itu, awal abad ke-19 ketika Cina mau tak mau mengakui ketertinggalan kemajuan teknologinya dari bangsa lain. Utamanya Eropa.
Peristiwa yang menjadi tonggak hancurnya kepercayaan diri Cina adalah ketika bangsa Eropa mampu menghancurkan pangkalan laut Cina, dan perang-perang lainya seperti perang candu dan sebagainya. Bagaimana pun juga, itu adalah kenyataan yang begitu pahit bagi Cina. Ketika harus kalah oleh serangan musuh yang tidak menggunakan banyak tentara mampu membombardir wilayah kekauasaan Cina, dengan menggunakan teknologi yang lebih mutakhir.
Mulailah muncul keterpurukan mental, dan seiring berjalanya waktu memaksa Cina harus membuka diri terhadap bangsa lain. Bangsa-bangsa Eropa mulai berkuasa. Mental percaya diri Cina kemudian menjadi mental bangsa terjajah. Doktrin konfusian, berubah seiring berjalanya waktu terpapar, bahkan hampir hilang oleh dikte-dikte sistem yang dipaksakan bangsa penjajah.
“…Pandangan-pandangan arogan yang sebelumnya dipegang teguh mengenai peranya yang lebih hebat dibanding peran negara-negara lain berantakan membentur karang superioritas eropa.” (Hlm. 270)
Cina kemudian benar-benar dalam situasi terjajah. Mulanya bangsa Eropa kemudian Jepang. Mental terjajah semakin memojokkan doktrin konfusian, yang sejak masa kerajaan-kerajaan di Cina jaya, dijadikan falsafah hidup secara menyeluruh dan digunaan di segala aspek kehidupan.
Seiring berjalanya waktu, kesadaran-kesadaran akan bangsa kembali muncul. Cendikiawan-cendikiawan revolusioner berhasil menjadi pemersatu Cina dalam memberi pengetahuan tentang kemerdekaan. Mengembalikan mental tinggi diri bangsa Cina, meski tidak signifikan.
Mulai dari Sun Yat Sen yang nasionalis hingga Mao Zedong adalah tonggak dari Revolusi Mentalnya bangsa Cina. Utamanya masa kekuasaan Mao, yang hingga saat ini, kepartaian Komunis-nya masih digunakan.
Disamping itu, Martin Jacques melihat kekuasaan Mao yang secara doktrin menolak kembalinya Cina pada doktrin konfusian. Justru secara kontradiktif dalam praktiknya kembali pada cara-cara konfusian.
Doktrin Maois tentang “Politik Sebagai Panglima” dan peran sentral negara, sebagai kekuasaan tertinggi, serupa dengan gaya konfusian yang sejak lama menjadi mental pola pikir Cina. Doktrin tentang kebaikan moral, bukan hanya dari lembaga pendidikan formal tapi juga pada pendidikan di keluarga merupakan cara yang sama yang dilakukan ajaran konfusian.
Selain itu, meskipun negara mempunyai peran yang sentral–dan hampir tidak ada lembaga lain yang menandingi posisinya–meskipun begitu, dituntut untuk menyejahterakan negara secara global adalah doktrin budaya ketimuran sekaligus konfusian. Negara secara langsung bertanggung jawab secara terhadap kerajaan langit.
Berbeda dengan budaya barat yang melihat negara sebagai lembaga yang perebutan kekuasaan dengan lembaga lain, baik agamawan dan sebagainya. Negara bukan dipertahankan dengan kebijaksanaan seorang penguasa seperti doktrin konfusian, tapi dirongrong untuk digantikan (hlm. 220-225).
Namun, kembalinya cina secara implisit pada ajaran lama (konfusian) justru yang kemudian mengembalikan mental masyarakat Cina hingga periode kebangkitanya saat ini. Dalam situasi politik-pemerintahan yang sudah sejalan dengan psike masyarakat, mudah bagi Cina untuk memulai pijakan baru.
Konkritnya, jelas digambarkan dalam urusan diplomasi, Cina mampu menjalin kepercayaan. Di Afrika, Cina lebih dipercaya dalam urusan kerjasama ekonomi ketimbang amerika, eropa atau negara lain yang sifatnya ekspansif. Meski tidak bisa dipungkiri, masih terjadi konflik rasial antara kedua golongan ras tersebut, karena semakin banyak orang Cina yang menjadi diaspora di Afrika.
Tetap kepercayaan bangsa terhadap kerjasama dagang dengan Cina lebih tinggi. Sebab, Cina punya gaya yang dia bawa dari masa jaman dinasti. Tidak melakukan ekspansi, atau penjajahan tapi melakukan sistem kerjasama saling menguntungkan. Atau secara implisit jika mengambil cara pandang Cina, ‘sekadar menunjukkan kehebatan bangsa Cina’. Perusahaan multinasional yang tumbuh di negara lain menjadi simbolnya.
Konteks Indonesia
Sejak awal kemerdekaan pun, perdebatan tentang sistem politik, tidak terhindarkan. Hatta pernah dikecam oleh banyak tokoh ketika ingin menerapkan sistem politik yang sama dengan sistem politik barat. Dengan besar hati, ia pun menerima saran dari teman-teman seperjuangannya. Sistem pemerintahan versi Demokrasi Pancasila diterapkan.
Tidak berselang lama, beberapa tahun kemudian sejak runtuhnya pemerintahan dibawah kekuasaan Soekarno, Indonesia terjerat dalam lingkaran Setan Kapitalsime Barat. Berawal dari masuknya Freeport McMoran, yang secara signifikan mengakibatkan ketergantungan bangsa Indonesia pada modal asing.
Selanjutnya, pertengahan tahun 1994 an, ketika secara kontroversial Indonesia harus terjerat hutang pada International Monetery Found (IMF) dengan menandatangani World Trade Organization (WTO) dan turunan-turunannya, yang menyebabkan candu negara atas hutang dan kapital hingga hari ini terus menjangkiti.
Tentu saja lembaga pemberi modal punya banyak kepentingan, hingga akhirnya ia mendikte negara ini mengikuti sistem yang diusungnya. Bermain logika sederhana saja, bisa kita lihat arahnya. Misalnya, usulan untuk menciptakan percepatan perekonomian. Secara eksplisit, bisa kita lihat itu adalah dorongan untuk terus bekerja mendapatkan uang yang banyak, supaya (katanya) negara bisa maju perekonomiannya. Setelah perekonomian kita maju, maka proses pembayaran hutang akan semakin cepat.
Itu terlihat sebagai tujuan yang baik. Namun, obsesi memperbanyak kapital lama kelamaan, membuat kita semakin disudutkan pada perilaku pragmatis, untuk terus mengejar materi secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya, muncullah perilaku bersaing, tidak jarang yang akhirnya menghalalkan segala cara. Selanjutnya, akibat tekanan itu, sejalan dengan apa yang dikatakan Dandhy Laksono dalam Indonesia Not For Sale mengakibatkan kita menjadi orang yang terdorong untuk ingin sesuatu yang instan. Hal itu, akan menihilkan proses, menihilkan rasa, dan menihilkan arti kemanusiaan. Karena orientasi kita terpaku pada angka.
Bukti nyata pengaruh IMF itu adalah terliberalisasinya sistem perekonomian Indonesia yang tentunya tanpa riset mendalam akan situasi negara kita, diterapkan agar sesuai dengan kondisi budaya bangsa Indonesia.
Padahal, jika sedikit melihat ke belakang, bangsa kita adalah bangsa yang dibangun atas dasar solidaritas dan semangat gotong royong. Kerjasama antar warga. Ketenteraman bernegara. Beberapa tahun lalu, di Yogyakarta berhasil menunjukkan itu. Ketika gempa bumi, mereka membangun lagi tempatnya dengan gotong royong. Bukan persaingan versi Barat.
Martin Jacques memang condong pendekatan menggunakan determinisme ekonomi dalam menilai majunya Cina. Artinya, majunya Cina diidentifikasi dari sebesar apa kekuatan ekonomi Cina. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana proses transformasi majunya negara itu dengan caranya sendiri. Serta, Cina menjadi negara yang berpengaruh dengan jalanya sendiri. Dan mampu mendefinisi apa itu maju dengan definisinya sendiri.
Menarik ketika akhirnya kita dibauat untuk berpikir kembali, dan membuka diskursus. Namun, jangan sampai terbatas dengan cara bagaimana menjadi Cina. Tapi lebih substansial lagi, kita perlu melihat kembali seperti apa sebenarnya pola pikir kita? Dibentuk oleh apa? Apa sebenarnya tindakan kita? Sudah sesuaikah dengan hati nurani?
Penulis: M. Muhtar
Editor: M. Rizky Suryana