Oleh SAIFUR ROHMAN (Pengajar Program Doktor bidang Filsafat di Universitas Negeri Jakarta)
Seorang akademisi menyatakan Presiden RI Joko Widodo adalah “bajingan yang tolol” di Islamic Center Kota Bekasi, Jabar, belum lama ini. Ungkapan tersebut dilontarkan ketika menanggapi proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Menurutnya, ucapan itu sengaja dilakukan karena Joko Widodo “menjual negara ke pengusaha China”. Dalam waktu kurang dari satu minggu, sudah ada lima laporan yang masuk ke polisi. Tuduhannya adalah penghinaan terhadap martabat kepala negara. Joko Widodo merespons dengan menyatakan “Itu hal-hal kecillah, saya kerja saja”. Dua hari kemudian, Jumat (4/8/2023), permintaan maafnya bukan karena penghinaan tetapi karena menjadi sebab keonaran.
Ketika ucapan itu menjadi viral, bagaimana mendudukkan persoalan ini dalam konteks demokrasi, politik dan etika dalam praktik berbangsa? Apa solusi dalam praktik komunikasi publik?
Kontradiksi Prinsip
Prinsip komunikasi dalam demokrasi adalah kebebasan karena demokrasi adalah penghargaan atas hak-hak setiap orang. Intinya, kebebasan adalah hak asasi yang melekat dan tidak bisa dicabut. Prinsip kebebasan inilah yang menjadi dasar para pendiri bangsa melindungi hak tersebut melalui undang-undang. Secara eksplisit, kebebasan untuk mengemukakan pendapat diatur dalam UUD 1945 pasal 28 ayat (3). Dinyatakan, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Ketika reformasi bergulir, pemerintah mengumumkan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Pendapat di Muka Umum. Secara lebih detail, UU tersebut menjelaskan tentang mekanisme berpendapat di tengah-tengah publik.
Bila direfleksikan ke dalam laporan kasus “penghinaan terhadap pemimpin negara”, ucapan itu merupakan ekspresi dari kebebasan individu dalam menyatakan pendapat. Ketika kebebasan itu dipertanyakan publik, maka sekurang-kurangnya kasus ini memiliki tiga prinsip yang bertentangan.
Pertama, prinsip kebebasan versus kewajiban. Deklarasi HAM 1948 menjelaskan bahwa manusia dilahirkan untuk bebas dan setara. Setiap orang berhak mengutarakan pendapatnya tanpa harus terkekang oleh apa pun, sebab pengekangan terhadap pikiran adalah kata lain dari perbudakan. Bagi pendengar, kecuali hak bebas, setiap orang menyandang kewajiban dasar untuk menghargai kebebasan orang lain. Kewajiban bagi Immanuel Kant adalah keharusan tindakan (imperis) untuk menghormati hukum yang mengatur hak setiap orang.
Kedua, prinsip kesetaraan versus kesantunan. Dalam perspektif komunikasi, maksud penutur tidak sama dengan pendengar. Penutur mendasarkan diri pada prinsip kesetaraan, sementara itu pendengar mengacu pada prinsip kesantunan. Prinsip kesetaraan berbunyi, setiap orang memiliki kedudukan yang sama tanpa menimbang asal-usul, jabatan dan pekerjaan. Karena kesetaraan itu, praktik komunikasi haruslah didasari oleh semangat “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”. Tidak ada yang direndahkan atau ditinggikan dalam komunikasi tersebut.
Ketiga, prinsip rasionalitas versus harmoni. Penutur mengacu pada prinsip kebenaran rasional, sementara itu pendengar mengacu pada prinsip kebaikan bersama. Kebenaran dalam prinsip rasionalitas harus dijelaskan berdasarkan argumentasi logis. Itulah yang selalu disebut dengan “akal sehat”. Prinsip harmoni lebih pada upaya menjaga stabilitas sosial, keselarasan dalam hidup bersama. Karena itu, di samping akal sehat diperlukan “akal budi”.
Argumentasi yang berkembang menunjukkan adanya persoalan-persoalan etis dalam demokrasi kita. Itulah kenapa penutur tidak mau meminta maaf karena dianggap sudah sesuai dengan prinsip kebebasan, kebenaran, dan kesetaraan. Penutur cukup meminta maaf atas “keonaran yang ditimbulkan di tengah-tengah publik”, Jumat (4/8/2023). Pada sisi lain, pendengar mau menjebloskan ke penjara atas prinsip kewajiban, kesantunan, dan harmoni. Alasan pelaporan adalah penghinaan dan martabat kepala pemerintahan direndahkan. Kata-kata itu kasar dianggap tidak mengikuti sopan santun yang telah dijunjung bersama.
Tradisi berkata kasar
Suka atau tidak, berkata kasar atau vulgar telah menjadi bagian dari tradisi komunikasi kita. Pada masa Orde Baru, kita dapat membaca ungkapan “Bangsat” (1975) karya Darmanto Jatman sebagai kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah masa itu.
Dalam komunikasi sehari-hari, kata-kata kasar menjadi bagian dari keakraban, seperti “jancuk” bagi orang Jawa Timur dan “asu” untuk Jawa Tengah. Sujiwo Tejo memiliki komunitas Jancukers. Pada masa sekarang Ganjar Pranowo pernah berkomunikasi dengan pilihan kata “anjing” dalam kaus yang dipakai. Tertulis, ”asu kabeh”, “anjing semua”. Latar belakang tulisan itu berupa gambar beberapa anjing yang berjajar. Dengan begitu kata “asu kabeh” mengacu pada gambar anjing yang berjajar atau “semua itu gambar anjing”. Kendati demikian, ucapan itu merujuk pada makna yang lain, yakni semua orang pada masa kini memiliki sifat-sifat rendah layaknya binatang.
Kata-kata kasar menjadi ekspresi yang sangat personal sehingga membawa emosi tertentu bagi pendengar. Ketika kata-kata itu digunakan dalam praktik komunikasi publik, maka itu menjadi bagian ekspresi pribadi untuk merespons sesuatu yang dianggap keterlaluan. Karena itu, kata-kata yang selama ini dianggap kasar, tidak pantas dan dilarang untuk diucapkan dalam praktik pendidikan tiba-tiba telah menjadi dilema dalam praktik komunikasi politik. Kepatutan dan kesalahannya seketika menjadi nisbi.
Kasus itu mengingatkan kita untuk merenung kembali pepatah lama, seperti “Ojo keminter mundak keblinger” (jangan sok pintar, nanti terjerumus), “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, atau “Air didulang tepercik ke muka sendiri”.
Di atas semua kegaduhan itu, kita perlu menyadari satu hal bahwa kritik itu penting dalam sebuah penyelenggaraan pemerintahan. Argumentasi lapuk dalam praktik demokrasi kita perlu ditinggalkan karena kita perlu cara ungkap yang orisinal dan segar. Memang menyakitkan, tetapi tujuannya adalah menyadarkan agar kebijakan itu diperbaiki.