Sekolah buatmu hanya perlu untuk gengsi

Agar mudah bergaul tentu banyak relasi

Jadi penjilat yang paling tepat

Karirmu cepat uang kan kau dapat

***

Wah aku setuju sekali ternyata ada benarnya aku putus sekolah. Ha… ha… ha… aku tertawa seperti mengiyakan lagu Iwan Fals yang kini sedang ku dengar. Sambil menghisap rokok ditemani secangkir kopi, kadang aku berpikir kembali. Sudah tiga tahun terakhir aku putus sekolah, jika saja hal itu tidak terjadi mungkin aku sudah merasakan kehidupan ala mahasiswa.

Iklan

Sebenarnya itu bukanlah keputusanku, namun apa mau dikata? Jika aku tak bekerja ibuku yang sakit-sakitan semenjak ditinggal mati ayah, ingin dikemanakan. Mau tak mau aku harus bekerja untuk mengidupi Ibu dan seorang adikku. Semenjak itu kini hari-hariku hanya berkeliling dari rumah ke rumah, mengorek tempat sampah. Sambil berharap ada sesuatu yang bisa dijual untuk membeli makan dan obat bagi Ibuku.

“Sudahlah aku tak mau mengutuk takdir”, ucapku. Sebaiknya aku berangkat bekerja. Setidaknya masih ada adikku yang kuharap lebih baik dariku.

Sudah pukul tujuh, aku bergegas mengganti pakaian mengambil gerobak yang terparkir di samping rumah. Setelah berpamitan, aku mulai berkeliling.

Di tengah jalan aku melihat anak-anak berpaikaian merah putih berangkat ke sekolah. Agak jauh melangkah kini kunikmati pemandangan orang-orang seumuranku, dengan pakaian rapih mengandari motor kadang menggunakan almamater kebanggaanya hilir mudik di sekitarku.

Ada yang melihatku heran, ada juga yang menatap sinis. Sebenarnya kesal juga ketika dipandang seperti itu, apa mungkin hanya karena aku mendorong gerobak dengan baju lusuh yang tak diganti berhari-hari. Dibandingkan mereka yang berpakaian rapih hendak pergi menuntut ilmu. Aku dianggap hina oleh mereka, padahal toh sama saja kan setelah lulus kalian juga mencari pekerjaan.

Aku teringat perkataan, Rendra salah satu sastrawan idolaku. Ia pernah mengatakan, apa guna sekolah jika terpisah dari kehidupan. Menurutku hal tersebut ada benarnya, buat apa mereka belajar tinggi-tinggi tentang ekonomi, hukum, dan lain sebagainya. Jika menghargai orang saja tak bisa.

Satu jam lebih aku berjalan rumah-rumah gedongan kini menyambutku. Mungkin mulai dari sini ya, aku mulai mengorek tempat sampah rumah pertama. Tak terlalu banyak isinya, kebanyakan hanya sampah dapur saja.

Kudorong lagi gerobak rumah kedua, ketiga, keempat. Sampai aku tak ingat lagi rumah ke berapa, samar-samar kulihat, wah tempat sampahnya penuh. Aku bergegas mulai memilah-milah apa yang bisa diuangkan.

“Wah lumayan juga nih banyak sekali rongsokan komputer bekas, buku-buku, bahkan sekantong penuh gelas plastik,” kataku.

Kini semuanya berpindah ke gerobakku, sambil berjalan ada sesuatu yang menggangguku. Ketika memilah barang, aku berpikir untuk menyimpan beberapa buku yang kutemui. Lumayan juga untuk dibaca sekedar mengisi kekosongan. Apa salahnya kan tetap belajar meski tak bersekolah. Setidaknya kelak aku tidak bodoh-bodoh amat, jika bertemu dengan teman-temnku yang berkuliah.

Iklan

Sambil berjalan kembali, aku mendongak sedikit ke atas matahari mulai redup. Sudah sore ternyata. Aku mempercepat langkah agar segera sampai ke tempat pengepul. Soalnya kemarin aku datang agak kemalaman, ternyata tempat tersebut sudah tutup. Meski aku melihat masih ada beberapa pekerja masih sibuk menaikan barang ke atas timbangan.

Sekalian pulang pikirku, sebab tempat tersebut tak terlalu jauh dari rumahku. Setelah sampai aku bergegas menurunkan muatanku, selesai hitung-hitungan. Aku langsung balik kanan menuju ke rumah. Hasil kerjaku seharian ini terbayar sudah meski hanya mengantongi empat puluh ribu rupiah. Paling tidak bisa membeli beras dan obat untuk ibuku.

Sesampainya di rumah aku mandi lalu menyeduh kopi. Kemudian aku duduk di teras rumah sambil menikmati hembusan angin malam, meski tak terlalu bisa dinikmati maklum lingkungan kumuh. Andai saja aku tinggal di perumahan-perumahan elit tempat biasa aku mengorek-ngorek sampah. Mungkin dipaksa seharian di rumah pun aku tak akan melawan.

Sambil melamun aku teringat percakapan dengan temanku kemarin, jangan dibayangkan dia seperti diriku. Temanku lebih beruntung bisa mengenyam bangku perguruan tinggi, di salah satu kampus keguruan. Ketika bertemu kami sempat mengobrol tentang apa gunanya sekolah. Seperti biasa temanku seakan ingin menyalahkanku yang memutuskan tak ingin sekolah.

Jujur saja bagiku setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Bukan tanpa alasan toh dalam undang-undang disebutkan kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, bagaimana dengan orang sepertiku yang ditekan kemiskinan, tetap bersikukuh untuk bersekolah. Bisa jadi ibuku makin sakit-sakitan dan adikku tak bisa makan.

“Karyo… Karyo zaman sekarangkan sudah banyak beasiswa. Buktinya saja, aku bisa mendapat beasiswa untuk berkuliah,” gumam temanku.

Memang temanku mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Namun bagiku, uang tersebut nyatanya juga berasal dari rakyat yang membayar pajak.

Kemudian kutanyakan saja, kau kan sudah mendapat beasiswa lalu apa kontribusimu terhadap masyarakat, jangankan itu teman-temanmu sesasama mahasiswa saja melihat orang sepertiku sinis. Lalu buat apa kau belajar semua teori-teori itu jika akhirnya kau tak peduli terhadap orang-orang?

Temanku menghela napas. Lalu ia mengatakan, sebenarnya itulah yang kini ia rasakan, selama berkuliah ia hanya berkutat dengan teori-teori yang membuatnya mual. Belum lagi sedikit kritis bisa jadi dianggap melawan. Jangankan itu ketika masa orientasi kampus waktu malah dihabiskan untuk hal-hal yang tak berguna memakai atribut-atribut menuruti perintah senior. Bahkan sampai aku sendiri masih bertanya-tanya apa maksudnya itu semua.

Ha…..Ha….Ha… aku tertawa nyaring sekali, sambil sedikit mengejek temanku aku katakan saja, “sudah berhenti saja toh, terbukti sekolah tak ada gunanya”

Jangan begitulah setidaknya masih ada harapan untuk merubah itu semua, timpal temanku. Dia sendiri berambisi untuk menciptakan suatu pendidikan yang semuanya terlibat aktif antara murid dan guru. Kemudian dapat menciptakan kesadaran kepada murid-muridnya untuk mengkritisi kondisi lingkungannya. Menurut temanku dia mendapatkan ilham tersebut, setelah membaca buku seorang pendidik dari Brazil yang bernama Freire.

Aku hanya bisa mengangguk saja, mendengarkan ucapan temanku. Bukan meremahkan hal tersebut, aku hanya berpikir jika temanku setelah lulus hanya menjadi seorang Oemar Bakrie yang digambarkan oleh Iwan Fals dalam lagunya. Tanpa bisa merealisasikan mimpinya untuk merubah sistem pendidikan yang ada.

Hoam… hoam, aku menguap, melihat jam dinding yang menunjuk angka sepuluh. Sudah malam ternyata daripada besok kesiangan. Kumatikan rokokku menutup pintu lalu menuju kamarku. Sambil dibayangi cerita temanku yang tak lain hanya sebuah ironi. Aku merebahkan badanku. Kini kepalaku kembali dipenuhi pertanyaan-pertanyaan sebenarnya apa guna sekolah?

Sudahlah lebih baik tidur dan bermimpi semuanya baik-baik saja.

Penulis: Abdul

Editor: M. Muhtar