Secara general, rektor berfungsi sebagai pemimpin universitas yang memegang amanat untuk melaksanakan tri dharma perguruan tinggi PT –penelitian, pendidikan dan pengabdian masyarakat. Sejauh itu, sebagai pimpinan, rektor memegang posisi sangat sentral. Meskipun kita akan belum sepakat akan persoalan tafsir tri dharma perguruan tinggi dalam tiap-tiap detail implementasinya yang cukup multi tafsir. Kemultitafsiran mengundang pertanyaan. Misalnya penelitian seperti apa? Penelitian terindeks scopus kah? Atau kah penelitian yang bermanfaat langsung untuk masyarakat? Bagaimana bentuk manfaatnya?
Secara moral, perguruan tinggi sebetulnya ditafsirkan lewat bagaimana lembaga itu mampu mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kemajuan peradaban dan kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Walaupun moral yang demikian pun, akhirnya kembali menjebak kita pada kemultitafsiran. Pertanyaan pastinya muncul kembali. Kepentingan masyarakat yang mana? Secara menyeluruh seperti apa?
Di lain sisi, Rektor, sebagaimana pemimpin, dalam konteks perguruan tinggi, adalah mereka yang diberi pertanggungjawaban secara status untuk menjalankan fungsi kampus. Mereka tentunya diharapkan untuk bertanggung jawab penuh. Maka, segala baik-buruknya kampus dipandang sebagai hasil kerja si rektor, selaku pemimpin kampus.
***
UNJ, kini sedang dilaksanakan pemilihan rektor. Tiga nama, sejak 26 Agustus 2019 sudah dikirimkan ke Kemenristekdikti. Semua yang berkomentar secara normatif berharap, satu nama yang terpilih adalah yang terbaik. harapannya, rektor terpilih dapat bertanggung jawab secara moral untuk melaksakan tugasnya sesuai term yang dimimpikan semua orang tentang perguruan tinggi. Barangkali melaksanakan tri dharma perguran tinggi sebenar-benarnya. Sayangnya, perguruan tinggi pun tidak punya term yang jelas, selain berfungsi sebagai lembaga yang berwenang mencetak ijazah. Ijazah adalah syarat administratif untuk memudahkan lulusannya mendapat pekerjaan yang layak (gaji yang besar secara nominal).
Sebetulnya, orang-orang berpengaruh di UNJ sudah mencurahkan isi hatinya akan imajinasi tentang rektor UNJ di masa depan. Senat UNJ misalnya, berharap rektor yang akan terpilih sekiranya mampu meningkatkan reputasi akademik kampus, rujukan pendidikan nasional, dan membawa UNJ go international. Selain itu, Ubedillah Badrun, membuat kriteria yang cenderung sama terhadap hal itu. Dirujuknya visi UNJ, yakni menjadi kampus yang bereputasi di kawasan Asia. Untuk mencapai itu, calon rektor harus bisa menjadikan risetnya berkualitas, dalam definisi diakui dan dirujuk dunia.
Namun kiranya mimpi itu hanyalah angan-angan, jika UNJ sebagai perguruan tinggi tidak selesai dengan permasalahannya sendiri. Artinya, kampus harus beranjak dari hasil pembacaan permasalahan. Jika rektor hanya menjanjikan mimpi, pilih saja Elon Musk yang punya segudang mimpi untuk mengeksploitasi dunia. Yang jelas, tanpa orang seperti itu, kita tetap bisa hidup dengan tanpa kekurangan apapun.
Permasalahan bisa dianalisis dengan melihat salah satu contoh yang paling sederhana. Misalnya, dengan dorongan mahasiswa agar lulus secepat-cepatnya. Tidak lulus dalam waktu empat tahun langsung dirundung bertubi-tubi tekanan –Tekanan dari seluruh masyarakat, tekanan dari pihak kampus, tekanan dari orang tua, calon mertua, dan lain lain. Jika logikanya sarjana adalah menempuh syarat adminsitratif, maka tekanan-tekanan itu wajar adanya. Lebih parah, setiap kampus mendorong mahasiswa lulus cepat (tidak lebih dari empat tahun) agar kampusnya mendapatkan akreditasi yang baik. Akreditasi yang baik akan membuat lulusannya mudah diterima disegala bidang pekerjaan yang layak sesuai definisi layak diatas. Hal sesederhana itu saja sudah menjebak logika kampus dalam lingkaran setan.
Tidak ada yang peduli apakah mahasiswanya sudah melakukan penelitian, pendidikan, atau pengabdian terhadap masyarakat. Meskipun kampus bisa saja menyederhanakan itu dengan mengatakan, “skripsi adalah bentuk penelitian mahasiswa. Pendidikan dilihat melalui dinamikanya di ruang kelas. Pengabdian masyarakat terimplementasi dalam bentuk kuliah lapangan.” Padahal, semestinya tidak bisa disimplipikasi sedemikian rupa. Perlu dilihat bagaimana kualitas dari skripsi tersebut. Jangan sampai ada istilah “asal mengerjakan.” Walaupun pada prakteknya pembuatan skripsi melalui tahapan yang sangat ketat. Seperti sidang dan tempaan-tempaan lainya. Selanjutnya, kualitas perkuliahan dikelas pun harus jelas. Betulkah sudah tidak ada mahasiswa yang mengutip dari wikipedia misalnya. Selain itu, bagaimana dengan kuliah lapangan mereka? Betulkah kuliah lapangan itu sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat? Bukan safari kelas? Atau sekadar menyelesaikan mata kuliah lapangan–yang sifatnya administratif itu– yang justru disenangi dosen. Sebab, hasil penelitiannya akan dinikmati dosen untuk melanjutkan pendidikannya. Sebetulnya ini adalah himbauan agar perguruan tinggi tidak melakukan simplifikasi-simplifikasi atas implementasi tri dharma yang mestinya sangat dijunjung tinggi.
UNJ menuju masa depan?
Jika melihat dengan logika birokratis, untuk memperbaiki UNJ dan memajukannya, sangat dibutuhkan peran dari semua pihak. Bukan cuma rektor dan jajarannya. Mahasiswa dan semua elemen yang ada di perguruan tinggi, jika ingin kampus menjunjung moralitas demikian, harus ikut melibatkan diri. Namun, itu menjadi sekadar cuci tangannya orang-orang yang secara status paling bertanggung jawab terhadap hal itu. Rektor dimohon tidak berlaku cengeng. Sebab, bagaimana mungkin mahasiswa yang notabene-nya tidak pernah dilibatkan dalam hal-hal penting; misalnya menentukan kebijakan, diharapkan agar bertanggung jawab. UNJ misalnya. Hafidz Abbas, Ketua Senat UNJ, beranggapan bahwa mahasiswa adalah objek yang akan dilayani sedemikian rupa sebaik-baiknya oleh kampus. Logikanya, semua sistem dan mekanisme yang dibuat kampus ditujukan secara keseluruhan, untuk kebaikan kampus, dan mahasiswa harus mengikuti aturan mainnya sebaik mungkin jika ingin berpartisipasi, sehingga bisa menjadi mahasiswa yang baik.
Logika demikian akan terbentur dengan keadaan lapangan, dimana akan selalu ada situasi yang terasa mekanis saja oleh mahasiswa. Keterlibatannya hanya sebatas ikut saja cara main. Dengan begitu, akan selalu ada celah untuk mengancam sistem itu. Karena untuk menghadirkan keterlibatan, yang pertama kali harus diciptakan adalah rasa memiliki. Rasa memiliki itu lahir dari peran untuk menentukan. Itu disimpulkan melalui pembacaan penulis dalam logika negara yang kuat. Buku berjudul Tanggung Jawab Negara disusun oleh Makmur Keliat, Agus Catur Aryanto dkk. Negara yang kuat harus didukung oleh kepatuhan yang kuat dari warga negaranya. Namun, kepatuhan itu bukan sekadar kepatuhan atas dasar penguasa dan yang dikuasai. Lebih karena warga negara memiliki keterlibatan mengambil bagian dalam menciptakan hukum. Demikian, sejalan dengan konsep perguruan tinggi, dimana mahasiswa adalah masyarakat atau dalam bahasa buku di atas sebagai warga negara. Maka, kampus perlu melibatkan mahasiswa dalam kebijakan sentral, terutama yang menyangkut kepentingan mahasiswa secara langsung.
Selain itu, kampus pun tidak hanya berkepentingan menciptakan mahasiswa yang taat sistem kampus. Namun, juga menciptakan mahasiswa atau lulusan yang bertanggung jawab secara moral bermanfaat untuk masyarakat, dan bukan perusahaan. Mengapa demikian? Karena secara konstitusional peran lembaga sosial adalah seperti itu– bermanfaat secara untuk hajat hidup orang banyak. Hal itu sebetulnya sudah tertulis secara etik. Akademisi mempunyai etika yang perlu dijunjung tinggi. Paling sederhana adalah melaksanakan tri dharma perguruan tinggi sesuai dorongan moral, bukan syarat administratif belaka. Akan tetapi, etika sifatnya mengikat tidak bisa dengan kekerasan, sehingga diperlukan peran budaya untuk menciptakan kesadaran etis. Dimana dalam kehidupan sehari-hari, kampus mengimplementasikan kegiatan akademis. Dititik itulah peran budaya diperlukan.
Akademisi perlu hidup dalam lingkungan yang berbudaya akademik. Misalnya, membaca, menulis, dan mendiskusikan problem-problem sosial berdasarkan landasan perumusan masalah. Budaya, menurut Ki Hajar, adalah simpulan-simpulan amatan manusia yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Pertanyaannya, selama ini mahasiswa terpaksa untuk cepat-cepat lulus, apakah bisa budaya itu bisa berterima?
Mengamati dinamika di lapangan, agaknya mahasiswa cenderung tidak sensitif dengan situasi kampusnya. Salah satu contoh ketika UNJ sedang kampanye calon rektor, hanya sedikit mahasiswa yang mau menyaksikannya. Sebetulnya, hal itu seharusnya menjadi perhatian kampus.
Sayangnya, melihat pembahasan visi-misi calon rektor UNJ, yang secara umum terjebak dalam logika bisnis. Karena, mereka hanya terdorong untuk menjalankan program pemerintah saat ini, bukan untuk menyelesaikan permasalahan jangka panjang. Mengindikasikan bahwa kampus pun tidak sama sekali sensitif dengan masalah. Atau malah menutup diri dari masalah. Rektor yang diharapkan banyak orang, terutama elit kampus, tidak perlu diakui peran dan kebijakannya!
Penulis: M. Muhtar
Editor: Ahmad Qori H.