Dalam Amdal masyarakat berhak ikut serta untuk memberi izin kepada badan usaha mendirikan bangunan. Faktanya, masyarakat tidak dilibatkan.

Kamis (23/3) – Ratusan massa dari berbagai kalangan masyarakat mengadakan aksi solidaritas untuk menolak perusakan ekosistem yang dilakukan perusahaan negara maupun swasta. Petani, nelayan, buruh, komunitas pemuda serta organ masyarakat, seperti Solidaritas Pemuda Rawamangun (Spora), Lembaga Badan Hukum (LBH) dan Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), berkumpul bersama mengutarakan aspirasinya di depan Monumen Nasional. Mereka berjuang untuk mempertahankan sumber daya alam bagi keberlangsungan kehidupan di pulau Jawa. Beberapa dari mereka berasal dari Kendeng, Sukabumi, Karawang dan Indramayu.

Watim, salah satu peserta aksi asal Indramayu mengatakan berdirinya pabrik berakibat rusaknya tanah garapan. Ia menambahkan pembangunan itu akan menghilangkan pekerjaan Watim sebagai petani padi, “aku orang tani, kalau pabrik dibangun pekerjaan tidak ada lagi, orang tani ya garapnya sawah ya,” ungkap Watim.

Menyoal hal itu, Wahyudin Iwang, anggota pegiat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat menyebut proyek pemerintah seperti pembangunan hotel, apartemen serta pembuatan waduk akan mengalihkan fungsi serta membabat habis daerah-daerah tangkapan air. Selain itu, pengangkasan bukit untuk pembuatan jalan tol juga dapat merusak kawasan karst.  Kawasan karst memiliki fungsi dalam menyimpan cadangan air.

Jika kerusakan terjadi pada kawasan karst, maka ekosistem karst tidak akan bisa diperbaiki lagi. Ia menambahkan setengah dari 50.000 hektar kawasan karst kini sudah rusak.

“Salah satu yang terjadi di muka bumi yaitu pabrik Semen SIAM Group, mereka menggunakan bahan baku dan memangkas satu gunung tua. Itu adalah salah satu situs dan itu adalah kawasan karst,” ungkap Wahyudin.

Iklan

Wahyudin melanjutkan, selama ini kebijakan tugas Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) sebagai penjaga rencana agar pengusaha tidak memberikan dampak buruk bagi lingkungan, tidak berjalan dengan semestinya. Peraturan Menteri No 17 tahun 2012 maupun Peraturan Pemerintah No 27 tahun 2012, tentang keterlibatan masyarakat dalam proses Amdal, dijelaskan bila masyarakat berkewajiban ikut serta dalam memberi izin kepada pengusaha untuk membangun pabrik. Namun nyatanya masyarakat tidak dilibatkan, “tiba-tiba ada pembangunan, di mana dalam aturan harus melibatkan dan harus disetujui juga. Seperti Sukabumi, Kendeng dan wilayah-wilayah lainnya,” kata Wahyudin.

Menanggapi hal tersebut, Mike mengatakan bila negara tidak lagi berpihak kepada petani, tetapi kepada pemilik modal. Ia menambahkan pembuatan kebijakan oleh pemerintah tidak untuk melayani kepentingan masyarakat. “Semua permasalahan di Bengkulu, PLTU di Batang dan Cirebon, ini kan terkait dengan kebijakan penguasa juga. Petani diabaikan dan mereka menutup mata,’” ujar vokalis Band Marginal tersebut. Di samping itu, menurut Mike saat ini pemerintah bekerja seperti Event Organizer, “pemerintah kita itu apa sih? Cuma event organizer yang kemudian hanya mencari proyek-proyek saja,” kata Mike.

Sementara itu pernyataan serupa datang dari Jati Aprianto selaku anggota SPORA. Jati mengatakan pemerintah tidak bisa melindungi masyarakat dari pemiliki modal. Terlebih bila pabrik diberikan izin oleh pemerintah untuk membangun pabrik di lahan produktif. Menurut Jati, hal tersebut akan merubah paksa sistem pola kerja, pola konsumsi maupun pola ekonomi masyarakat setempat.

“Dari segi air alam ekonomi dipaksa untuk berubah, dari awal mereka bertani bercocok tanam, menjadi sebuah buruh. Kemerdekaan seorang petani kan lebih besar dari pada  buruh. Perubahan struktur masyarakat terjadi di sana,” ujar Jati.(HY)