Air menggenang hingga mata kaki, deru ombak terdengar saut menyaut diiringi suara mesin mesin kendaraan, klakson berbunyi di sana sini, orang orang berjalan cepat melihat jam, dan antrian terlihat di berbagai tempat. Semua tidak peduli dengan air yang memenuhi seluruh kota.
Ini Jakarta, Tahun 20XX. Orang orang kaya tinggal di gedung gedung tinggi, sementara orang orang seperti Rudi harus tinggal di gedung gedung bekas lantai 3 yang terlihat hampir roboh karena sering diterpa ombak.
10 tahun yang lalu, Ombak besar menembus tembok tembok jakarta, korban berhamburan dan yang hidup berlarian ke tempat tinggi, Tembok terus menerus menerus berusaha diperbaiki, tapi ombak ombak besar itu semakin sering dan sering menghancurkan tembok hari kehari.
Rudi menghela nafasnya melihat kakinya yang tergenang, dia harus bertahan malam ini juga. Dia melangkah menuju angkutan umum, duduk di tengah kerumunan di bagian belakang.
Sepersekian detik tanpa dilihat siapapun, tangannya dengan lihai mengambil dompet yang menonjol dari saku bapak tua yang tertidur. Turun di halte berikutnya.
“Rud, kau dapat berapa hari ini?” Seseorang menghampirinya begitu dia turun dari bus, merangkulnya sambil berbisik. Menjauhi kerumunan.
Rudi terlihat bersemangat melihat dompet tebal yang didapatnya itu sebelum mendengus.
“Ck, aku pikir akan berisi lebih banyak karena ini terlihat tebal? Tapi hanya segini?” Ucap Rudi menggerutu.
Temannya Bimo terkikik geli melihat wajah Rudi yang mengkerut, sementara Rudi membuang dompet ketempat sampah sambil tetap menggerutu.
“Kau? Berapa yang kau dapat? Apa lebih banyak?” Tanya Rudi.
Bimo tersenyum, menunjukan giginya yang ompong. Mengangkat kedua bahunya.
“Hanya setengah dari milikmu hahahaha” Bimo tertawa.
Baca Juga: Korelasi Kemiskinan dan Kasus Bunuh Diri
Rudi menepuk dahinya, menggeleng geleng. Yah, keberuntungan mereka hari ini sangat buruk, tapi setidaknya duit kecil bisa menjadi tabungan mereka untuk gedung yang lebih tinggi.
“Sudah jangan cemberut terus, ini tetap uang bagaimanapun kau melihatnya Rud. Bisa digunakan sebagai tabungan, dan makanan anak anak” Bimo mendorong tubuh Rudi kedepan, memaksanya berjalan lebih cepat.
Mereka melihat langit, matahari hampir tenggelam. Ini akan menjadi malam lain dengan ombak besar, melihat genangan yang mulai surut semakin banyak mereka berjalan ke gedung. Kendaraan kendaraan terlihat bergerak ke arah dataran tinggi, sementara deru baling baling terdengar disana sini.
Itu tandanya, tanda ombak ombak besar itu datang malam ini.
Rudi berjalan lebih cepat menyadari hal itu, waktu semakin menipis. Mereka harus cepat cepat berlindung malam ini. Menaiki anak tangga satu persatu hingga ke tangga terakhir.
Rudi dan Bimo terduduk di lantai, mengatur nafasnya. Anak anak datang menghampiri, terlihat khawatir. Suara alarm besar mendengung di seluruh penjuru kota, memunculkan wajah wajah tegang anak anak.
Rudi dan Bimo sebagai yang paling tua, buru buru menghampiri adik adiknya, membentuk lingkaran saling memeluk satu sama lain.
NGINGGGGGGGGGG!!!
Laut mulai mengganas seolah olah menanggapi panggilan alarm besar itu, menenggelamkan apapun yang disentuhnya.
Gedung mereka bergetar, nampak kapan saja runtuh akibat laut yang sedang murka.
Bimo semakin mengeratkan pelukannya, begitu erat hingga tangannya menembus kulit Rudi.
Rudi tidak peduli, dia hanya berdoa.
Tuhan, Aku ingin hidup.
Tuhan, Biarkan aku hidup.
Tuhan, Aku ingin tinggal di gedung tinggi itu.
Tuhan, Biarkan aku tidur setiap malam.
Tuhan, Kami ingin hidup.
Adik adik mereka seakan merasakan pelukan yang kian mengerat, semakin memeluk akuarium berisi uang tabungan. Suatu hari, biarkan suatu hari nanti mereka tinggal di gedung gedung tinggi itu Tuhan.
Penulis: Hanum Alkhansa Ramadhani
Editor: Riyasy Asbabur