Massa aksi yang tergabung dalam Koalisi Anti Proyek Strategis Nasional (PSN) melakukan aksi unjuk rasa di dekat Patung Kuda, Gambir, Jakarta Pusat pada Selasa (19/8). Hal ini merespon tragedi yang menimpa masyarakat Pulau Rempang, Batam, sejak 7 September lalu.
Anggota senior Ikatan Pelajar Mahasiswa Rokan Hilir (Ipemarohil) Jakarta, Guntur, mengatakan tindakan represif berupa penembakan gas air mata dan peluru karet oleh aparat gabungan kepada masyarakat di Pulau Rempang sangat menyesakkan. Hingga saat ini kondisi di Pulau Rempang sangat mencekam, masyarakat ketakutan bahkan mengalami trauma.
“Masyarakat di sana (Pulau Rempang) tidak pernah menolak relokasi ataupun investasi, akan tetapi represifitas oleh aparat sudah kelewat batas, mereka juga manusia bukan binatang,” ucap Guntur.
Padahal, lanjut Guntur sampai saat ini kepastian untuk tempat tinggal baru bagi masyarakat Pulau Rempang tidak ada. Guntur menyaksikan sendiri wilayah yang direncanakan BP Batam sebagai tempat relokasi masih berupa hutan. Kini, ia mengatakan 7.500 jiwa lebih masyarakat ditampung sementara ke 10 rusun di Kota Batam dalam jangka waktu yang tak tahu sampai kapan.
Guntur juga menilai pengusiran masyarakat Pulau Rempang dari tanahnya sendiri, sekaligus memutus mata pencaharian mereka. Mayoritas masyarakat di sana berprofesi sebagai nelayan, maka dari itu warga bukan hanya dijauhkan tetapi juga dihilangkan aksesnya ke laut karena diprivatisasi.
“Ini bukan cuma pengusiran tapi genosida massal, negara telah membunuh rakyatnya karena sudah merampas ruang hidup mereka,” tegasnya.
Rempang Eco City ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), melalui Peraturan Menteri Koordinator (Permenko) Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023, tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Proyek ini akan digarap oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama perusahaan swasta PT Makmur Elok Graha (MEG).
Dilansir dari situs BP Batam, Proyek tersebut akan mengambil lahan seluas 7.572 hektar untuk digunakan sebagai kawasan industri, perdagangan, serta pariwisata. Dengan begitu, proyek pembangunan ini berpotensi menggusur 16 kampung adat Melayu Tua serta mengusir hampir seluruh warga yang mendiami Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru.
Sekjen Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Nasional, Yusron, mengatakan yang terjadi di Pulau Rempang menampakan jelas bahwa negara hanya berpihak kepada pemodal dan berorientasi pada profit saja tanpa memperhitungkan nasib rakyat serta generasi yang akan datang.
“Sudah terlihat cara negara membangun itu bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi hanya sekedar gagah-gagahan dengan negara lain,” ujar Yusron.
Bagi Yusron, logika pembangunan negara hari ini sangat keliru. Seolah-olah pembangunan di berbagai sektor hanya bisa dilakukan dengan mengundang investasi. Padahal, investasi dan hutang yang masif itu justru menunjukkan bahwa negara telah gagal mengelola pendapatan dari pajak, terlihat dari rasio pajak hari ini yang hanya bisa menyentuh sekitar 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan begitu, Yusron menganggap investasi yang kian digencarkan ini patut dikritisi. Setidaknya pada wilayah selain Rempang seperti Bali, Banyuwangi, dan terutama pulau-pulau di Kalimantan serta Riau yang dijadikan kawasan PSN harus diperhatikan.
“Untuk menyelenggarakan PSN, negara harus mempertimbangkan dulu kebutuhan masyarakat, jangan seakan-akan investasi dianggap menguntungkan, kepentingan rakyat seolah tak jadi urusan,” pungkasnya.
Penulis/reporter: Ezra Hanif
Editor: Zahra Pramuningtyas