Nampaknya aku akan merindukan tempat ini, tempat di mana aku memulai semuanya. Ruangan berukuran 2×2 Meter persegi ini merupakan saksi bisu perjuanganku di perantauan. Bisa dibilang lebih banyak sedih dibanding senangnya. Ah, rasanya berat untuk pergi dari sini, tetapi keputusanku sudah bulat. Pulang ke kampung halaman dan menyudahi semua ini sepertinya akan membuat hidupku lebih tenang.

Aku melangkah keluar kamar itu dengan membawa dua tas besar berisi pakaian. Setelahnya, berjalan mengunjungi rumah pemilik indekos yang ku tinggali untuk menyerahkan kunci kamar dan berpamitan. Rumahnya tidak jauh, hanya berjarak lima rumah dari sana.

“Permisi Bu Ratna, ini aku Fitri ingin berpamitan,” ucapku sambil mengetuk pintu.

Tak lama, Bu Ratna keluar dengan menggunakan piyama merah kesukaannya.

“Eh iya Fitri, kamu benar-benar ingin keluar dari indekos Ibu dan menetap tinggal di kampung? Apa gak sayang, kamu kan sudah bayar sampai bulan depan, kenapa gak nanti saja pindahnya saat kontraknya habis?” tanya Bu Ratna.

“Sepertinya lebih baik jika malam ini aku pulang ke kampung, Bu. Besok Idul Fitri, sudah beberapa tahun juga aku gak merayakan bersama keluarga. Jadi sekalian saja pulang malam ini dan langsung menetap di sana.”

Iklan

“Baiklah. Ibu pasti bakal kangen nih denganmu. Ya sudah, hati-hati di jalan ya.”

“Aku juga pasti akan kangen banget sama Ibu. Baik-baik di sini ya Bu,” Aku berpamitan dan memeluk Bu Ratna sambil menangis. Ia sudah kuanggap orang tua di sini.

Setelahnya, aku berjalan menyusuri gang sempit menuju terminal. Sambil berjalan, aku mendengarkan takbir yang riuh berkumandang. Padahal suara ini selalu hadir setiap tahun, tetapi entah kenapa malam ini rasanya berbeda. Rasanya sedih sekaligus menenangkan.

Sesampainya di terminal, aku langsung menaiki bus besar berwarna hitam-biru dengan berbagai boneka tergantung di bagian kaca depan. Aku memilih posisi tempat duduk di bagian kanan, tepatnya di sebelah jendela. Aku suka melihat berbagai pemandangan di jalan.

Lagi-lagi aku kembali menangis, sejujurnya aku takut untuk pulang. Aku takut mereka tetap tidak bisa menerimaku, aku takut Ibu belum bisa memaafkanku.

“Permisi Kak, maaf mengganggu. Busnya sudah mau berangkat dan semua bangku telah penuh terisi. Boleh aku duduk di sini?” seorang perempuan berpakaian rapih itu mengejutkanku.

“Iya silakan duduk di sini, tidak apa,” ucapku sambil mengelap air mata dan ingus yang keluar.

Tidak lama kemudian, bus yang kutumpangi mulai jalan. Aku hanya terus melihat ke jendela dengan pikiran berkecamuk. Aku ingin tidur untuk melupakan semua hal, tetapi rasanya sangat sulit. Pikiran-pikiran itu selalu datang tiada henti.

“Aku tadi beli dua nasi kotak, tadinya yang satu untuk makan saat sampai. Tapi sepertinya tidak enak kalau buat nanti. Kakak mau satu?” perempuan di sampingku itu menawari satu kotak nasi berisi ayam dan tumis sayuran sambil tersenyum.

“Terima kasih, tapi maaf aku sedang tidak ingin makan,” aku berusaha menolaknya dengan nada sopan.

Iklan

“Ini gapapa Kak, terima saja. Dimakan nanti juga tak apa, perjalanan masih jauh. Mungkin nanti Kakak akan lapar.”

“Baiklah kalau begitu, terima kasih,” karena merasa tidak enak untuk menolak, aku mengambil makanan itu.

Perempuan itu terlihat sangat senang karena aku menerima pemberiannya. Ia melanjutkan makannya dengan lahap. Lalu, ia tiba-tiba melihat ke arahku.

“Oh iya, Aku lupa belum memperkenalkan diri. Namaku Reva, kalau Kakak?” ia kembali berbicara sambil tersenyum.

“Namaku Fitri, salam kenal ya,” balasku.

“Kalau boleh tahu, kamu naik bus ini untuk pergi ke kampung halaman atau ke mana?” ia bertanya dengan senyuman kikuk.

“Aku ingin pulang ke kampung, sekalian akan terus menetap di sana.”

“Ah .. Aku juga ingin seperti Kakak, bagiku lebih nyaman tinggal di kampung halaman. Tapi tahun ini aku harus merantau di Ibu Kota untuk kuliah. Terkadang kalau kangen rumah, aku hanya bisa menangis.”

“Semangat ya, Va. Dulu waktu baru merantau aku juga sering seperti itu. Tapi nanti juga bakal terbiasa pisah dengan keluarga. Memangnya kamu kuliah mengambil jurusan apa?” Aku berusaha memberinya semangat, padahal sampai kemarin pun aku sering menangis karena rindu.

“Aku kuliah jurusan Kedokteran, Kak. Sebenarnya aku tidak begitu tertarik dengan jurusan ini, tapi Papa ingin aku jadi Psikiater. Jadi harus ambil Kedokteran dulu.”

“Oh begitu. Semoga kuliahmu berjalan lancar ya.”

Aku kembali melihat ke arah jendela. Terlihat pemandangan jalan tol dipenuhi banyak mobil berjalan merayap. Jalanan sangat padat karena banyak orang pulang ke kampung halaman menyambut Hari Raya.

Air mataku kembali jatuh. Aku sangat merindukan Ibu. Aku rindu suaranya, wanginya, serta senyum indahnya. Sudah hampir lima tahun aku tidak melihat dan merasakan itu semua. Terakhir kali yang kulihat dari dirinya hanya tangisan kecewa.

“Maaf lancang, Kak. Ini aku punya teh hangat, kamu mau minum? Aku lihat kamu sedang menangis. Mungkin teh ini bisa membuatmu lebih tenang.” Reva menegurku sambil menunjukkan termos kecil miliknya. Anak itu terlihat begitu polos sehingga aku tidak bisa menolak atau mengacuhkannya.

Aku mengangguk sambil tersenyum menerima gelas berisi teh itu. Aku merasa ia memang anak baik dan peduli dengan keadaan di sekitarnya. Mungkin ia berusaha mengajakku bicara agar aku dapat melupakan kesedihanku.

“Terima kasih. Setelah minum teh, perasaanku menjadi lumayan baik. Bagiku kamu memang cocok menjadi Psikiater. Kamu peduli dengan keadaan sekitar. Itu pandangan subjektifku sih.”

“Makasih, Kak. Aku merasa tidak bisa membiarkan orang lain menangis. Mungkin terlihat aneh jika ada orang baru menawarkan diri untuk menjadi teman cerita. Tetapi kamu bisa berkeluh kesah denganku. Siapa tahu dengan bercerita akan membuat perasaanmu lebih lega lagi.”

Aku memikirkan ucapan anak itu. Sebenarnya aku ragu, tetapi aku memang membutuhkan teman cerita. Biasanya jika keadaanku seperti ini, aku akan pergi ke rumah Bu Ratna untuk bercerita sambil menangis. Tetapi untuk saat ini, memang tidak ada lagi teman untuk mendengarkan ceritaku.

“Aku rindu Ibuku, tapi aku takut bertemu dengannya. Sudah hampir lima tahun aku tidak bertemu dan berkomunikasi dengannya,” aku mulai meluapkan perasaanku sambil menangis lagi.

“Kenapa takut? Apakah kamu membuat kesalahan?”

“Aku membuat kesalahan sehingga ia sangat membenciku. Bahkan untuk mendengar penjelasanku dan menyebut namaku saja dia merasa jijik. Mungkin jika kamu tahu yang sebenarnya, kamu juga akan menganggap begitu.”

“Jika kamu menceritakan yang sebenarnya, mungkin aku tidak akan berpikir seperti itu. Bagaimana Ibumu bisa memaafkan jika ia saja tidak mau mendengarkan?”

“Awalnya aku merantau untuk mencari pekerjaan karena Ibuku sakit keras. Tetapi karena aku hanya lulusan Sekolah Menengah, aku tidak bisa mendapat pekerjaan lain. Sehingga aku memutuskan menjadi seorang pelacur.  Aku sudah tidak tahu lagi harus mencari uang ke mana,” mengingat masa itu membuat diriku merasa malu.

“Waktu itu aku masih sering pulang ke rumah. Aku berbohong kalau uang itu kudapatkan hasil bekerja dari buruh di pabrik. Tetapi Kakak pertamaku merasa aneh karena aku berhasil mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat. Hingga akhirnya ia mengetahui hal yang sebenarnya dan langsung memberi tahu Ibu.”

“Aku tidak bisa berbohong lagi, aku mencoba menjelaskan keadaannya, tetapi Ibu tidak mau mendengarkan. Ibu sudah terlanjur merasa jijik denganku. Padahal aku melakukan ini untuk pengobatannya. Kedua Kakak perempuanku hanya bekerja membantu tetangga berjualan di pasar. Penghasilannya hanya cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari.”

Dadaku terasa sesak, air mata pun sudah tidak bisa dikeluarkan lagi. Mengingat kejadian itu aku diselimuti penyesalan, tetapi jika diulang kembali pun aku tidak tahu harus bagaimana. Saat itu aku hanyalah perempuan kecil yang berusaha mengadu nasib di Ibu Kota.

Sejak itu, Ibu tidak ingin lagi bertemu denganku. Kata-kata yang dikeluarkannya untukku hanyalah cacian. Ia bilang tidak ingin menganggapku sebagai anaknya. Ia sangat malu dengan perbuatanku dan menganggap aku adalah perempuan kotor yang tidak pantas dicintai siapapun.

Hatiku hancur berkeping-keping. Namun, aku tetap mencintainya. Dia adalah Ibuku, satu-satunya rumah yang kupunya setelah kepergian Ayah. Meski dia tidak mau menerima uang dariku lagi, aku terus mengirim uang untuk pengobatannya melalui kakak keduaku. Aku meminta kakak keduaku berbohong kepada Ibu bahwa itu bukanlah uangku. Aku tidak tahu pasti bagaimana caranya berbohong, tetapi kakak pertama dan ibuku mempercayainya.

Aku terus bertanya mengenai Ibuku kepada Kakak keduaku itu. Ia selalu bercerita mengenai perkembangan kesehatan Ibu. Ia juga selalu bercerita mengenai keseharian Ibu di sana. Bagiku, hanya mendengar kabar seperti itu saja sudah membuatku bahagia.

“Lalu, sekarang bagaimana keadaan Ibumu? Apakah ia sudah sehat?” Reva bertanya dengan nada pelan.

“Menurut penjelasan Kakak keduaku kondisi Ibu sudah baik. Namun, hanya saja pendengarannya sudah mulai berkurang karena faktor usia. Oleh karena itu, aku ingin menemuinya untuk meminta maaf. Aku ingin menetap di sana untuk mengurus Ibu dan berhenti menjadi pelacur.”

“Aku berharap Ibumu bisa memaafkanmu, Kak. Aku memahami bagaimana rasa cinta dan sayangmu terhadapnya. Mungkin hanya saja kamu tumbuh besar tidak sesuai harapannya sehingga ia membencimu. Bagiku, kamu tidak sekotor apa yang diucapkan Ibumu. Aku tetap memandangmu sebagai manusia yang utuh,” Reva memelukku dengan matanya yang sudah berlinang air mata.

Setelah bercerita kepada Reva, perasaanku mulai lega. Aku menutup mataku secara perlahan. Aku ingin mencoba tidur. Aku mulai mecoba melupakan kegelisahanku dan berpikir semua akan baik-baik saja.

Setelah kurang lebih satu jam aku memejamkan mata, tiba-tiba saja bus yang kutumpangi tertabrak sesuatu dari belakang. Karena dorongan yang kuat itu supir bus membelokkan setirnya ke arah kiri. Bus ini seketika terpelosok dan terguling.

Kesadaranku perlahan sudah mulai pudar. Aku berusaha membuka mata dan terlihat kondisi Reva. Tubuh mungilnya sudah dipenuhi darah, begitu pun dengan penumpang lainnya. Sayup juga terdengar beberapa orang menangis histeris.

Aku sudah tidak kuat lagi, mataku sudah sulit sekali untuk terbuka. Di saat seperti ini aku hanya membayangkan Ibu memaafkanku dan memelukku. Aku ingin disayangnya seperti waktu kecil.

Ibu, jika aku tidak bisa menemuimu lagi, tolong maafkan aku.

 

Penulis: Adinda Rizki