Selama proses pendaftaran Ujian Mandiri, beberapa calon peserta bingung terhadap kebijakan SPU. Apakah SPU menentukan hasil kelulusan atau tidak? Tak ada yang tau pasti jawabannya. Namun, jawaban tersebut dapat ditemukan dalam pandangan masyarakat mengenai pendidikan. Yaitu pendidikan itu memang mahal.
Pada 2018, UNJ menerapkan uang pangkal dengan nama lain Sumbangan Pengembangan Universitas (SPU) untuk mahasiswa jalur mandiri. Sebetulnya kebijakan uang pangkal di UNJ tidak lah baru. Pada 2016, UNJ menerapkan uang pangkal. Namun, kebijakan tersebut batal diterapkan. Sebab, mahasiswa melakukan demontrasi untuk menolak kebijakan tersebut.
Kini, uang pangkal hadir dengan mempertimbangkan reaksi mahasiswa. Perlu waktu dua tahun bagi UNJ untuk menerapkan uang pangkal dengan sifat yang berbeda. Jika di 2016, calon peserta diwajibkan membayar sebesar 15 juta, maka tahun ini calon peserta dibebaskan untuk menentukan besaran biaya.
Kiranya, kebijakan uang pangkal dalam bentuk halus ini sangat cerdik. Kampus memperkirakan reaksi mahasiswa dan masyarakat umum terhadap kebijakan SPU. Dalam tataran kampus, kebijakan ini memiliki fungsi laten yakni mencegah demonstrasi mahasiswa yang kedua kalinya.
Selain itu, sistem perguran tinggi yang digunakan untuk membungkam pemikiran kritis mahasiswa terhadap kebijakan perguruan tinggi pun nampaknya berhasil. Mahasiswa berhasil disibukan dengan banyaknya tugas, banyaknya mata kuliah serta masalah daftar kehadiran. Alhasil, munculah sifat apolitis mahasiswa. Apalagi pada draft statuta UNJ yang baru, mahasiswa tidak diperbolehkan untuk berpolitik dan harus bersifat netral. Aneh, ketika para birokrat sibuk berpolitik, mahasiswa dipaksa untuk diam saja.
Dalam tataran yang lebih luas, UNJ berhasil menempatkan kebijakan SPU dalam logika pasar, yang sadar atau tidak, tertanam dalam pemikiran masyarakat. Bagi masyarakat pendidikan itu mahal. Oleh karena itu, mereka rela mengeluarkan uang agar anak mereka dapat berkuliah.
Contohnya ialah kebingungan masyarakat terhadap kebijakan SPU. Masyarakat bertanya-tanya apakah besaran biaya untuk disumbangkan menentukan hasil kelulusan. Namun, nampaknya mereka tak perlu mendapatkan jawaban dari pihak UNJ. Sebab mereka yakin, semakin besar biaya yang disumbangkan maka semakin besar pula persentase kelulusan masuk perguruan tinggi.
Pandangan masyarakat bahwa pendidikan itu mahal, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Diantaranya ialah faktor ekonomi dan budaya. Dalam faktor ekonomi, semenjak Indonesia dipengaruhi gagasan globalisasi yang membawa teori ekonomi pasar bebas berpengaruh terhadap logika masyarakat memandang peran negara.
Secara garis besar, teori ekonomi pasar bebas, mampu menghilangkan tujuan negara untuk menyejahterakan masyarakat. Menurut aliran teori ekonomi pasar bebas, peran negara akan menghambat persaingan pasar untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Sebab, pasar memiliki mekanisme sendiri dalam pelaksanaanya. Mereka percaya, kesejahteraan akan ditularkan dari atas ke bawah. Nyatanya, realitas tidak mencerminkan hal itu. Masih banyak kesenjangan sosial antara si kaya dan miskin.
Menurut Bauman, kesenjangan sosial terjadi karena masyarakat miskin tidak mendapatkan mobilisasi yang setara dan bebas. Bauman menyebut keadaan ini sebagai perang ruang. Dalam konteks globalisasi, masyarakat yang berhasil ialah masyarakat yang memiliki mobilisasi yang bebas. Mereka dapat menciptakan dan menentukan makna sesuai keinginan mereka. Sedangkan, masyarakat pecundang tidak memiliki mobilisasi yang bebas. Mereka juga tak dapat memiliki makna dan harus mengikuti keinginan masyarakat pemenang. Hal itu yang membuat sulitnya masyarakat miskin naik dalam status sosial.
Pengangguran dan kemiskinan menjadi sesuatu yang tidak dapat dihilangkan. Untuk menghindari persoalan itu, masyarakat meyakini pendidikan dapat menjadi salah satu cara keluar dari jurang kemiskinan. Dengan pendidikan, masyarakat mampu memilliki keterampilan yang berguna untuk dunia kerja.
Kenyataanya, pendidikan dijadikan sarana untuk menghasilkan tenaga kerja sesuai keinginan pasar. Menurut Louis Althusser, kapitalisme membutuhkan reproduksi manusia untuk menjalankan sistem produksi. Pelatihan singkat yang dibentuk tak cukup untuk mengembangkan keterampilan manusia. Oleh karena itu, mereka menggunakan sekolah untuk mencetak tenaga kerja.
Althusser juga mengatakan, negara dijadikan sarana kapitalisme untuk menyebarkan gagasan kapitalisme. Negara memiliki peran untuk menyebarluaskan dan menanamkan ideologi untuk masyarakat. Sekolah digunakan negara untuk menyebarkan ideologi kapitalisme tersebut. Oleh karena itu, logika pasar dalam dunia pendidikan menjadi hal yang wajar, meskipun harus menghilangan definisi pendidikan yang mencerdaskan dan membentuk pola pikir masyarakat.
Kedua ialah faktor budaya. Masyarakat yang terpengaruh logika kapitalisme disebut masyarakat konsumsi. Masyarakat konsumsi ialah masyarakat yang eksistensinya dilihat hanya dengan pembedaan yang dikonsumsi. Perkembangan kapitalisme global membutuhkan masyarakat konsumsi untuk mempertahankan dirinya. Masyarakat konsumsi melahap semua produk kapitalisme tersebut. Kesadaran masyarakat akhirnya dimanipuasi oleh kapitalisme.
Selain itu, kapitalisme berhasil menanamkan sebuah tanda dan status sosial di balik komoditi yang ditawarkan. Masyarakat dimanipulasi berdasarkan tanda dan status sosial itu. Salah satunya ialah dengan menggunakan barang-barang yang diiklankan pada media massa. Ada keyakinan barang itu mampu membentuk identitas mereka.
Tanda dan status sosial juga terdapat pada pendidikan. Sejak pendidikan dijadikan komoditi, banyak masyarakat berlomba-lomba menempuh pendidikan tinggi. Pendidikan menawarkan sertifikat sebagai tanda identitas mereka. Gelar yang didapat menjadi kebanggaan bagi mereka. Makna pendidikan untuk membantu sesama manusia mulai memudar.
Dua hal tersebut yang menjadi faktor penting masyarakat dalam melihat pendidikan. Pendidikan menjadi sarana mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan naik dalam status sosial. Kuatnya logika pasar dalam semua bidang kehidupan mempengaruhi pemikiran mereka soal pendidikan. Menjadi wajar, bila menempuh pendidikan ialah modal mereka mendapatkan pekerjaan.
Dampak lainnya ialah mahasiswa menjadi berpikiran pragmatis. Tindakan yang dilakukan mereka harus memberikan keuntungan untuk mereka. Nilai moral dan sosial mulai memudar. Hal ini tentu saja membahayakan bagi kehidupan bangsa. Korupsi, yang terjadi di mana-mana membuktikan hal itu.
Dan akhirnya masyarakat yang tidak memiliki modal menjadi korban. Masyarakat yang tidak memiliki modal tidak dapat melakukan mobilisasi sosial. Gerakan mereka dihambat oleh sistem kapitalisme. Khususnya dalam dunia pendidikan, mereka dihambat dengan biaya kuliah yang mahal, seperti membeli buku, biaya makan dan sebagainya.
Padahal jelas dalam kontitusi negara diwajibkan memberikan akses pendidikan kepada semua kalangan tanpa diskriminasi. Namun, hal ini tak dapat dilakukan negara. Sebab, negara telah melepaskan tanggungjawabnya kepada pihak swasta. Akhirnya, tanggungjawab pihak swasta itu digunakan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Penulis: Hendrik Yaputra
Editor: Muhammad Muhtar