Kongres XI Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menghasilkan ketua umum dan sekertaris jenderal baru yang dilaksanakan secara virtual pada 27 Februari – 2 Maret 2021. Pasangan Sasmito Madrim – Ika Ningtyas terpilih menjadi ketua umum dan sekretaris jenderal periode 2021-2024 dengan perolehan 119 dari 228 suara. Sedangkan pasangan Revolusi Riza – Dandy Koswara memperoleh 109 suara.

Dikutip dari siaran pers Kongres AJI XI 2021, Sasmito, yang merupakan jurnalis Voice of America (VoA) memberikan sambutannya usai disahkan menjadi ketua umum AJI pada Selasa (2/3/2021) dini hari. Menurut Sasmito, tantangan media ke depan cukup besar, mulai dari rezim yang otoriter, regulasi yang mengancam, dan banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis. “Dari segi ekonomi juga kita banyak tantangan. Selain pandemi, juga ada disrupsi digital,” ucap Sasmito.

Pandangan senada disampaikan Ika Ningtyas. “Ini amanat yang tidak mudah di tengah tantangan luar biasa ini, mulai dari multikrisis dan belum lagi dari disrupsi digital,” kata jurnalis Tempo ini. Ika dan Sasmito menegaskan bahwa semua tantangan itu tidak akan bisa dihadapi tanpa bantuan dan kerjasama dari seluruh anggota AJI.

Saat dihubungi Tim Didaktika melalui Whatsapp pada 2 Maret, Sasmito menyampaikan bahwa akan menjalankan Tripanji yang dimiliki oleh AJI, yaitu mempertahankan kebebasan pers, meningkatkan kesejahteraan jurnalis, dan meningkatkan profesionalisme. Ia menyoroti kekerasan yang kerap dialami oleh jurnalis. Ia juga akan melakukan lobby-lobby dengan aparatur negara, DPR, bahkan presiden kalau perlu. “Kasus kekerasan jurnalis harus diselesaikan agar tidak berulang kembali,” ujar Sasmito, jurnalis yang lahir dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika UNJ.

Menurut Sasmito, kekerasan jurnalis tidak hanya terjadi pada jurnalis media mainstream. Kekerasan juga kerap dialami oleh jurnalis media alternatif, seperti jurnalis pers mahasiswa. Namun, tak ada badan hukum yang menaunginya. Sebab hingga hari ini, menurut Sasmito, Dewan Pers masih enggan mengakui pers mahasiswa sebagai jurnalis. Padahal, menurutnya, jurnalis pers mahasiswa juga melakukan kerja-kerja jurnalistik dengan kode etik. “Oleh karena itu, kami ingin menyamakan perspektif AJI dengan Dewan Pers soal kedudukan pers mahasiswa ini,” ujar Sasmito.

Dilansir dari laman advokasi.aji.or.id, data kekerasan jurnalis di Indonesia terus mengalami peningkatan. Rekam laporan yang diterima AJI dari 2016 hingga 2020 berturut-turut sebanyak 81 laporan, 66 laporan, 64 laporan, 58 laporan, dan 78 laporan. Sebagian besar kekerasan dilakukan oleh aparatur negara dan mengalami kekerasan fisik.

Iklan

Sasmito juga mengajak seluruh pers mahasiswa di Indonesia untuk bergabung dengan AJI di daerahnya masing-masing. “Akan banyak manfaat ketika teman-teman pers mahasiswa bergabung. Kita bisa belajar bersama dengan pelatihan-pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan,” tutup Sasmito.

Wacana Sasmito mengenai penyamaan perspektif kedudukan pers mahasiswa disambut baik oleh Danu Gustria, Pemimpin Umum (PU) LPM Marhaen. Danu berharap, pers mahasiswa memiliki payung hukum yang jelas. “Minimal ada kesepakatan hitam di atas putih, karena pers mahasiswa juga melakukan kerja-kerja jurnalistik kan,” tutur Danu. Ia juga berharap, kedepannya, AJI dapat memberikan advokasi dan pendampingan terhadap jurnalis pers mahasiswa yang mengalami kekerasan saat peliputan oleh aparatur negara.

Hal serupa juga dikatakan oleh Nurul Luthfi, PU LPM Arena. Luthfi mengatakan, maraknya isu kriminalisasi jurnalis harus terus dikawal. Ia pun mengharapkan AJI dapat membantu mengadvokasi pers mahasiswa yang terkadang diintimidasi oleh pihak kampus.

Reporter-Penulis : Imtitsal Nabibah
Editor : Hastomo Dwi Putra