Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Forum Pers Mahasiswa Jakarta turut merayakan hari buruh international yang jatuh pada Selasa,1 Mei 2018. Perayaan tersebut dilakukan dengan mengadakan long march dari Tugu Tani sampai ke Patung Kuda.

Adapun tuntutan yang digelorakan pada aksi ini diantaranya:

  1. Mengecam perusahaan media yang tidak memperhatikan jaminan sosial
  2. Setiap perusahaan media wajib mengikuti BPJS kesehatan dan BPJS ketenaga kerjaan dan membayarkannya
  3. Mendirikan Serikat Pekerja untuk menuntut hak-hak terhadap perusahaan media
  4. Mengecam pembungkaman terhadap pers mahasiswa (persma) di kampus atau di luar kampus
  5. Memberikan iklim kebebasan berekspresi di Kampus
  6. Aparat keamanan memberikan perlindungan terhadap aktivis persma dalam melakukan kerja jurnalistik bukan sebaliknya

 

Dari keenam tuntutan diatas, tiga tuntutan diantaranya merupakan keresahan-keresahan yang sering dialami oleh persma. Mochamad Eky salah  satu anggota persma Gema Alpas Universitas Pancasila mengungkapkan bahwa  keresahan-keresahan itu berawal dari anggapan kampus mengenai  persma, yaitu seorang anak yang tidak boleh mengkritik bapaknya sendiri (red:rekotat).

Ia juga mengatakan bentuk-bentuk represi masih sering dirasakan.  Seperti, ancaman dengan menggunakan Undang-Undang ITE ketika persma mengkritik kebijakan kampus. “Kita sering diancam menggunakan UU ITE. Padahal, kami menulis berdasarkan kerja-kerja jurnalistik. Kami wawancara dan mempunyai fakta lapangan,” katanya.

Deni Permana dari Persma Marhaen Universitas Bung Karno (UBK) mengamini pernyataan Eky. Ia mengatakan bahwa di kampusnya ketika persma menuliskan sesuatu yang bersifat mengkritik kebijakan kampus, birokrat kampus sering melakukan represi dengan melarang tulisan tersebut terbit. “Kebebasan kami di kampus semakin digembosi oleh birokrat,” ujar Deni

Iklan

Menurut Sasmito salah satu anggota AJI yang juga merupakan ketua  Forum Pekerja Media ia beranggapan bahwasannya persma juga merupakan bagian dari pers di Indonesia. Bahkan menurutnya, jika melihat sejarah, persma juga ikut berperan dalam perjuangan bangsa Indonesia. Ketika media mainstream dibungkam oleh orde baru, persma yang bersuara.

Selain itu, Sasmito juga mengatakan persma sudah melakukan kerja-kerja jurnalistik sama dengan jurnalis professional seperti melakukan reportase, melakukan kritik terhadap sumber, dan penulisannya menggunakan bahasa jurnalistik. Bedanya, persma tidak memiliki perundang-undangan khusus. Meskipun begitu, seharusnya persma juga mendapat perlindungan dari dewan pers jika terjadi sesuatu terhadap karya-karya jurnalistiknya. “Sebaiknya dewan pers turut melindungi ketika terjadi kekerasan dan intimidasi terhadap persma,” tuturnya.

Terakhir, mengenai represi dan kebebasan berekspresi di kampus, Sasmito mengatakan bahwa persma merupakan ruang pembelajaran, sebelum terjun sebagai wartawan professional. Maka, menurutnya, pihak kampus perlu mewadahi persma, bukan malah melakukan pembungkaman dengan tidak memberikan dana penerbitan. Dana itu (red:dana untuk persma) milik mahasiswa sendiri, kampus hanya mengelolanya. “Jadi, uang itu adalah hak mahasiswa,” ujarnya.

Sependapat dengan Sasmito, Prima Gumilang salah satu wartawan CNN Indonesia mengatakan bahwasanya persma harus memiliki perlindungan hukum yang jelas dan dewan pers harus menaungi persma ketika ada kekerasan dan intimidasi terhadap persma.

Ia juga berharap persma masih tetap menjadi watch dog bagi kampus, sehingga eksistensi persma tidak tergerus oleh media mainstream. “Persma yang paling tau tentang kondisi kampusnya, kebobrokannya dan seluk-beluknya, maka sebagai pers kampus wajib untuk meminformasikannya untuk kebaikan kampus itu sendiri,” tutup Prima.

 

Penulis : Uly Mega S

Editor : Bahri dan Yulia