Kemeriahan “pesta demokrasi” mahasiswa tidak kalah dengan euforia pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada tingkat nasional. Pemilihan mahasiswa raya (pemira), menjadi salah satu bentuk partisipasi politik mahasiswa dalam lingkup kampus. Berbagai media komunikasi dimanfaatkan untuk memperkenalkan para calon kandidat ketua. Poster dan spanduk meramaikan sudut-sudut kampus. Twitter, Instagram, Facebook, Line serta media sosial lain turut ambil bagian menyebarkan visi dan misi para calon. Kegiatan debat kandidat memperlengkap “pesta demokrasi” untuk menunjukan keintelektualan mereka. Sekilas, berbagai kegiatan politik mengambarkan bila mahasiswa benar terlibat aktif dalam mengikuti macam rupa bentuk kegiatan demokrasi tersebut. Faktanya meski difasilitasi, tetap saja ada mahasiswa yang enggan mengikuti maupun mengawasi pemilihan. Mulai muncul pertanyaan dalam benak saya. Apakah keacuhan mereka karena ketidakpahaman politik? Atau kesibukan akademik yang menyebabkan tidak ikut berpatisipasi?

Telisik ditelisik akar permasalahan tenyata bukan saja berasal dari kedua hal itu. Pernyataan tentang ketidakpahaman politik mahasiswa terbantahkan bila mengamati perkembangan teknologi dan komunikasi. Berbagai media cetak maupun media elektronik, menawarkan berbagai informasi mengenai perkembangan politik negara ini. Perbincangan dengan teman juga tidak menutup kemungkinan pembahasan mengenai politik terjadi. Pendidikan sebagian besar, berhasil menurunkan angka buta huruf. Kemungkinan untuk buta politik presentasinya kecil. Situasi berbeda bila kondisi negara ini sebagian besar masyarakat buta huruf seperti terjadi terhadap sebagian besar negara-negara di benua Afrika. Buta huruf menjadi faktor penentu kestabilan politik dalam suatu negara, selain faktor ekonomi. Dahulu, pelarangan pemilih yang buta huruf masih menjadi kebijakan yang diterapkan untuk menghindari keikutsertaan ras kulit hitam dalam kegiatan politik. Sebagian besar ras kulit hitam mengalami buta huruf. Kelemahan itu dimanfaatkan kaum elit partai untuk tetap mempertahankan kekuasaan.

Di Indonesia pada ranah pendidikan, efek berkelanjutan dari Normalisasi Kegiatan Kampus (NKK) kebijakan menteri pendidikan Daoed Joesuf masih terasa hingga saat ini. NKK melarang semua kegiatan politik di ruang lingkup pendidikan tanpa pesetujuan dari kaum elit birokrat. Kebijakan SKS berhasil merekontruksi pikiran agar segera lulus. Dampaknya kebijakan itu berhasil mengalihkan pemikiran agar tetap fokus belajar di dalam ruang kelas. Meski begitu, perkembangan saat ini tidak benar-benar semencekam kebijakan NKK. Kondisi  dan situasi sekarang memperlihatkan kebebasan kegiatan politik. Berbagai sudut-sudut kampus dimanfaatkan untuk membuat berbagai macam ruang diskusi. Tujuan tidak lain, agar mahasiswa memahami realita dan fenomena sekitar, agar jiwa dan raganya tidak lagi dimanfaatkan.

Kepasifan mahasiswa dapat dimengerti bila mengamati esensi dan tujuan pemira itu sendiri. Program kerja (proker) yang ditawarkan, tidak terlepas dari proker sebelumnya. Tidak jarang ditemui, proker yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman tetap diajukan. Inovasi program mengambarkan kesungguhan calon kandidat, namun kekreatifan itu di luar batas. Pembuatan program baru dihadirkan tanpa mengamati kebutuhan yang diperlukan mahasiswa. Kegagalan membaca kebutuhan tersebut berbahaya bagi eksistensi organisasi. Keinginan individu atau golongan menyamarkan kebutuhan mahasiswa.

Esensi demokrasi yang sejati ialah melibatkan rakyat dalam kegiatan politik. Rakyat banyak menjadi penentu dalam proses pengambilan keputusan. Format dan bentuknya bisa bermacam-macam. Kemunculan organisasi menjadi tolak ukur memperjuangkan kepentingan rakyat. Pada era modern, demokrasi perwakilan dalam bentuk organisasi, digunakan untuk mengatasi kelemahan demokrasi langsung. Kekuasaan oleh sedikit mahasiswa menjadi alternatif terhadap banyaknya kebutuhan mahasiswa yang sulit diterapkan. Penggunaan sistem demokrasi perwakilan digambarkan sebagai  representasi kebutuhan mahasiswa. Sayangnya para kandidat yang maju, terkesan tidak mewakili berbagai perbedaan kebutuhan lapisan masyarakat kampus. Pilihan cenderung homogen. Pemilih akhirnya tidak diberikan pilihan selain dari faktor fisik.

Di Amerika Serikat, pada abad 19, televisi (tv) digunakan sebagai sarana kampanye politik untuk memperkenalkan para kandidat. Debat politik dijadikan program khusus dengan pertimbangan tingginya rating. Keterbatasan waktu dalam program, berdampak kepada jawaban yang diungkapkan para kandidat. Pernyataan-pernyataan singkat dan tidak mendalam menjadi pilihan. Para kandidat berpikir keras membuat strategi untuk menarik pendukung dari waktu yang singkat itu. Pemilihan diksi, kata, kalimat dan bahasa yang sensional –bahkan berbau menyerang program lawan – digunakan untuk menarik ketertarikan rakyat. Keunggulan ditentukan pula oleh faktor fisik. Pernyataan berkualitas dikalahkan oleh kegenitan bahasa serta kharismatik fisik. Sifat hiburan tv berpengaruh terhadap kegiatan politik.

Iklan

Kepentingan organisasi ekstra turut berpengaruh bagi program dari kandidat yang dibuat. Kurangnya pengawasan dapat dimanfaatkan oleh mereka. Pada Mei 1998 setelah Soeharto turun, mahasiswa dan rakyat menawarkan pembuatan komite rakyat atau dewan rakyat. Komite rakyat dibentuk agar rakyat turut aktif dalam pembuatan kebijakan. Tujuannya untuk menghapuskan aparatur serta warisan sistem orba. Penolakan pembuatan komite rakyat terjadi.  Oposisi pemerintah Soeharto yang kala itu berjuang bersama untuk menjatuhkan Soeharto, menolak permintaan pembentukan komite tersebut. Partai oposisi memilih diselenggarakan pemilu yang dijanjikan oleh Habibie. Para kaum elit partai beranggapan, sebaiknya rakyat tidak lagi terlibat kegiatan politik, sebab aspirasi mereka sudah terwakilkan oleh partai. Bujukan itu dituruti. Alhasil pergantiaan kepemimpinan terjadi, tetapi tidak menghilangkan sistem lama. Revolusi gagal.

Sejarah juga membantu dalam menganalisa berbagai kepentingan kelompok tertentu yang bertujuan untuk mempertahankan status quo. Menelisik waktu lebih jauh lagi. Pasca jatuhnya orde lama (orla), hubungan kuat tentara dan organ kampus untuk menjatuhkan pemerintahan orla juga bisa dijadikan bahan analisis. Tentara memanfaatkan masyarakat sipil untuk menjadi basis pendukung kekuatan untuk menjatuhkan orla. Salah satunya dukungan dari mahasiswa. Organisasi mahasiswa itu melakukan beberapa aksi dan demontrasi untuk menjatuhkan Soekarno berserta para pendukungnya.

Keterlibatan setiap manusia dalam politik tidak terlepas dari kepentingan yang dibawa. Persoalanya, lebih ke arah kepentingan yang dibawa dan untuk siapa? Niat baik tidak akan mengundang permasalahan selama tanggung jawab digunakan untuk mahasiswa. Tulisan ini membuat saya teringat syair yang diciptakan WS. Rendra. Syair pertanyaan tentang semangat perlawanan ini berjudul Sajak Pertemuan Mahasiswa, dia menulis. Dan kita di sini bertanya:“Maksud baik saudara untuk siapa? Saudara berdiri di pihak yang mana?”