Pendidikan dan sekolah. Dua kata yang tidak dipisahkan satu sama lain dalam pikiran kita. Padahal tidak demikian. Pandangan itu terjadi sebab masyarakat menyamakan pengertian pendidikan dan sekolah. Jelas, pendidikan sendiri ialah proses pengalaman manusia. Proses itu dimulai sejak lahir hingga akhir hayat. Namun, sekolah merupakan sarana untuk memperoleh pendidikan. Karena hanya sebuah sarana maka sekolah mempunyai sistem. Sistem digunakan untuk mengatur masyarakat. Sistem itu tidak netral. Dalam hal ini sistem itu berhubungan langsung dengan kekuasaan. Artinya sistem digunakan untuk mempertahankan status quo.
Sistem pendidikan seperti itu, membuat Paulo Freire dan Myles Horton bergerak memunculkan pendidikan yang tidak konservatif. Freire berjuang di dalam sistem sekolah, sedangkan Hoston di luar sistem sekolah. Latar belakang sosial berbeda tidak membuat gagasan mereka mengenai pendidikan juga berbeda.
Myles Horton, seorang pendidik yang tak pernah tampil atau bahkan dikenal oleh banyak orang. Mendirikan Highlander Folk School (Sekolah Rakyat Highlander) di Cumberland, sebuah dataran tinggi di Tennesse, Amerika Serikat pada 1932. Dilatarbelakangi oleh situasi industr, di mana, kaum pemodal dengan kekuasaanya menindas kaum buruh. Membuat Horton merencanakan gagasan untuk membela hak-hak buruh dan hak-hak sipil melalui proses pendidikan. Lambat laun gerakan itu menjadi gerakan pemberantasan buta huruf orang kulit hitam yang saat itu terkena diskriminasi rasial terhadap keadilan sosial.
Sedangkan Freire, dengan program-program pemerintahanya, memanfaatkan kekuasaanya untuk merencanakan program buta huruf yang ditujukan untuk kaum buruh di Brazil. Di samping itu pemikiran keduanya dipengaruhi oleh Marxisme serta Antonio Gramsci yang menentang yang menentang adanya kelas-kelas dalam ekonomi.
Mereka sepakat bila pendidikan konvensional tidak mampu menciptakan kesadaran kritis dalam memperoleh hak dan kebebasan. Baik Freire maupun Horton menggunakan pendidikan partisipatoris dalam dasar pemikiran mereka. Pendidikan yang melibatkan rakyat bukan sebagai obyek, tetapi sebagai subyek.
Mengenai keputusannya mengenai berjuang di luar sistem. Horton berpendapat bila pendidikan itu tidak netral. Artinya pendidikan pasti memihak. Dalam konteks ini keterpihakan Hoston tertuju kepada rakyat. Bahkan Hoston sendiri tidak menyukai seseorang yang bersifat netral. Selain tidak mempunyai sikap, sikap itu akan membuat sistem bertahan dan tidak akan merubahnya,
Sedangkan Freire yang berjuang dalam sistem, menekankan bila pendidikan sekarang, harus menciptakan pendidikan yang meluas dan memperbesar pemahaman kritis dari rakyat. Menciptakan pendidikan yang mengabdi pada kebebasan.
Mereka memulai tindakan dengan mengamati situasi dan kondisi sosial masyarakat. Mereka berdua juga sepakat untuk membuat masyarakat baru. Masyarakat baru akan terbentuk bila melibatkan rakyat dalam proses menemukan itu. Artinya ada proses komunikasi dua arah atau dialog. Unsur dialog digunakan untuk menghindari doktrinisasi.
Karenanya mereka tampil bukan sebagai orang yang serba tahu. Tetapi sebagai orang yang mencari tahu juga, mereka belajar bersama rakyat. Proses mencari tahu bertujuan agar keduanya menyelesaikan masalah bersama. Sebab sebenarnya rakyat sendiri tidak kosong. Artinya rakyat memiliki pengetahuan yang lebih konkret tentang masalahnya. Tugas pendidik ialah membantu memunculkan pengetahuan rakyat agat tampil ke permukaan. Proses penyadaran pun berlangsung tanpa adanya pemaksaan.
Berbeda dengan sistem pendidikan konvensional, pendidik tampil sebagai manusia yang serba tahu. Proses komunikasi pun berlangsung satu arah. Mereka memberikan solusi dibandingkan membantu mengembangkan pemikiran masyarakat dalam menemukan jawaban. Menurut Horton hal seperti ini bukan fungsi pendidikan. Pendidikan tidak berfungsi untuk mencari solusi, namun mengembangkan pemikiran kritis.
Namun diakui, hal itu sulit dilakukan. Pandangan mengenai fungsi guru sebagai pentransfer ilmu, dan pandangan bahwa guru sudah pasti memiliki intelektualitas lebih dibanding murid, mempersulit penerapan metode ini. Kadang ketika murid diberi otoritas, mereka bingung. Karena itu guru harus melampaui murid. Artinya selain menguasai materi, guru harus mempunyai pemikiran bagaimana cara untuk memgembangkan pemikiran kritis.
Buku ini sangat relevan dengan kondisi pendidikan Indonesia. Saat ini pendidikan Indonesia masih terlihat unsur diskriminasi. Bukan hanya diskriminasi rasial, namun diskriminasi ekonomi masih jelas terlihat di Indonesia. Sebagian guru juga masih menggunakan sistem pendidikan konvensional, pendidikan dengan komunikasi satu arah. Mungkin hal ini berhubungan dengan kesejahteraan dan kekreatifan guru sendiri. Sistem memaksa hilangnya kreatif guru dalam mengajar dengan berbagai peraturan. Tentu saja, hal itu berdampak kepada psikologi guru sendiri. Indonesia bahkan mempunyai sekolah alternatif, namun sekolah ini tidak dapat dijangkau oleh kelas menengah ke bawah. Alhasil, pendidikan di luar sistem pun tidak menjadi solusi.
Buku ini merupakan buku yang mudah dipahami, sebab buku ini merupakan hasil percakapan. Buku ini akan mengajak kita untuk larut dalam percakapan antara Myles Horton, Paulo Freire dan orang ketiga. Meski hanya percakapan, bahasan buku ini sistematis. Mulai dari latar belakang pemikiran hingga praktiknya dalam pendidikan.
Judul Buku: We Make The Road By Walking
Penerjemah: Hendro Prasetyo
Penerbit: Transbook
Cetakan: I, 2011
Tebal: 188 hlm.
Yap