Pendidikan di Indonesia selalu berkiblat ke negara-negara Barat. Padahal banyak teori yang tidak relevan dengan kondisi sosial Indonesia.

Tak ada orang Indonesia yang tak mengenal presiden pertamanya, Sukarno. Namanya begitu akrab di telinga seluruh masyarakat Indonesia. Tekadnya yang kuat mampu menyatukan seluruh kepulauan Indonesia. Tak peduli beribu-ribu pulau tersebar, ratusan suku dan bahasa daerah di Indonesia, Sukarno mampu menyatukan semuanya menjadi suatu kesatuan yang utuh, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Presiden yang lahir pada 6 Juni 1901 ini, sempat menjadi pengajar di beberapa sekolah, seperti di Yayasan Ksatrian di Bandung yang dipimpin oleh Douwes Dekker. Namun, ia dipecat oleh si pemilik sekolah yang berasal dari Belanda. Sebab, Sukarno dianggap menghasut para siswa dengan mengkritik kolonialisme dan imperialisme. Si pemilik memecat Sukarno. Ia pun menyatakan bahwa Sukarno bukan seorang guru, melainkan seorang pembicara. Sukarno dibilang sulit mengontrol diri ketika membahas sejarah. Ia tidak bisa membedakan kapan ia menjadi guru dan kapan ia menjadi pejuang revolusi.

Sukarno memiliki perhatian yang besar pada pendidikan. Ia mengkhawatirkan kondisi pendidikan di Indonesia yang terlalu menuhankan negara-negara di Barat. Ia takut jika masyarakat kehilangan identitas dirinya akibat globalisasi (istilah ‘globalisasi’ sebenarnya muncul pada akhir 1980-an, namun sebenarnya globalisasi sudah ada jauh sebelum istilahnya muncul).  Terlebih lagi ketika Belanda menjajah. Ilmu pengetahuan yang berkembang dari Barat dapat dengan mudahnya masuk ke Indonesia. Sejatinya, masyarakat yang peradabannya lebih rendah akan mengadaptasi sesuatu dari peradaban yang lebih maju, seperti pendidikan. Saat itu, peradaban di Indonesia memang tidak lebih maju dari Belanda. Maka dari itu, tak dapat dipungkiri lagi bahwa Indonesia sebenarnya sangat bergantung pada penjajah yang notabenenya lebih maju di berbagai aspek kehidupan.

Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan dan merupakan salah satu sarana berkembangnya ilmu pengetahuan. Sekolah yang ada di Indonesia pada zaman kolonial Belanda memiliki kurikulum yang berbasis Eropa. Di masa itu, hanya kaum bumiputera dari golongan atas yang boleh mengenyam pendidikan di sekolah. Oleh karenanya, mereka yang bersekolah pada zaman kolonial Belanda tak lepas dari ilmu pengetahuan yang berkembang di Eropa, dari negara Barat. Di sekolah pun bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.

Pribumi yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah tersebut nantinya hanya maju dalam bergaya hidup. Maksudnya, dalam kesehariannya mampu berbahasa Belanda dan bertingkah kebarat-baratan. Tolak ukur kemajuan pendidikan pribumi hanya sebatas itu. Di samping itu, sebenarnya banyak ilmu-ilmu yang didapat dari sekolah. Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang diajarkan guru di sekolah berasal dari luar Indonesia, kebanyakan dari negara Barat, baik ilmu sosial maupun sains.

Iklan

Untuk sains atau ilmu pasti yang sifatnya universal, bukanlah suatu masalah jika dijadikan dasar di Indonesia. Namun, yang jadi masalah adalah ketika konsep-konsep ilmu sosial yang didapat dari hasil observasi di Barat diterapkan di Indonesia. Sebab, kondisi sosial di negara Barat berbeda dengan di negara-negara Barat. Ilmu sosial bukan ilmu yang pasti. Teori dari ilmu sosial yang ada pasti mengalami pembaharuan seiring dengan perubahan yang kerap terjadi. Perubahan sosial di setiap tempat berbeda-beda dan bergantung pada keadaan masyarakat itu sendiri.

Contohnya ketika berbicara tentang teori pertentangan kelas yang dicetuskan oleh Karl Marx di akhir abad ke-19. Teorinya tersebut didapat atas hasil observasi masyarakat Jerman yang sedang mengalami industrialisasi. Pada saat itu, kelas dibagi menjadi dua yakni kaum proletar yang tidak memiliki alat produksi dan kaum borjuis yang memiliki alat produksi. Teori tersebut sejatinya tidak cocok disandingkan dengan keadaan sosial di Indonesia. Jika teori tersebut dijadikan tolak ukur, lantas petani yang memiliki tanah sendiri, alat produksi sendiri, dan mengonsumsi hasil panen garapannya sendiri, namun masih hidup miskin masuk ke kelas yang mana? Kendati demikian, teori pertentangan kelas masih dijadikan acuan. Hingga saat ini masih ada di buku-buku sekolah di Indonesia. Padahal teori tersebut tak sepenuhnya relevan dengan kontekstual Indonesia saat ini.

Pendidikan yang diharapkan Sukarno yakni pendidikan yang sesuai dengan jati diri serta identitas bangsa Indonesia. Sukarno menginginkan agar bangsanya kembali kepada kepribadiannya masing-masing. Ia menganjurkan agar bangsa Indonesia untuk bertindak skeptis jika ada hal baru yang masuk ke negaranya. Alangkah baiknya jika bangsa Indonesia tidak menelan mentah-mentah suatu hal yang baru, seperti konsep atau teori dari luar. Jika memang sesuai dengan kondisi sosial di Indonesia, konsep tersebut bisa diambil untuk dimodifikasi  kemudian diadaptasi sesuai dengan kepribadian bangsa. Jika tidak, lebih baik tidak mengaplikasikannya.

Bagi Sukarno, membaca buku yang dipenuhi teori hanya untuk melihat pengalaman orang lain serta belajar darinya. Sayangnya, buku-buku pelajaran sekolah sekolah dasar (SD) bahkan hingga perguruan tinggi (PT) saat ini sudah dipenuhi dengan teori-teori dari luar. Bagi mahasiswa di PT bukan suatu hal yang asing ketika dihadapi teori-teori tersebut, sebab mereka dituntut kritis agar menyandingkannya dengan kontekstual di negara saat ini. Bagi siswa SD yang mudah percaya dengan sekolah, hal ini mengkhawatirkan. Namun, ketika mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, pastinya akan sadar mengenai hal ini.


Lutfia Harizuandini