Judul Buku         : Mendidik Pemenang Bukan Pecundang
Penulis                 : Dhitta Puti Sarasvati dan J. Sumardianta
Penerbit               : Bentang Pustaka
Tahun Terbit      : Mei 2016
Tebal Buku          : xvi+324 halaman
ISBN                     : 978-602-291-193-7

Layaknya lead dalam sebuah berita, bagian pertama buku merupakan sebuah pertaruhan bagi seorang penulis. Pertaruhan yang dimaksud ialah kemampuan untuk mengajak pembaca tertarik membaca isi buku sampai tuntas. Hal itu setidaknya berhasil dilakukan oleh J. Sumardianta dan Dhitta Putti Sarasvati yang memulai bukunya dengan anekdot kaisar telanjang yang ditulis oleh Hans Christian Andersen pada 1837.

Pada kisah itu, sang kaisar ditipu oleh perancang busana. Sang perancang busana menyatakan akan membuatkan jubah terbaik untuk kasiar yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Parahnya, sang kaisar percaya dan memamerkan “jubah terbaiknya” di sekitar istana. Hingga seorang anak berteriak, “kasiar bodoh, kaisar telanjang!” Namun, kaisar tidak memedulikannya dan terus mengelilingi istana.

Melalui kisah yang ditulis oleh pengarang asal Denmark tersebut, penulis coba memaparkan situasi kondisi pendidikan Indonesia. Menurutnya, sistem pendidikan Indonesia tak bisa mempersiapkan murid menghadapi dunia nyata. Mereka “mabuk” dengan tampilan luar sehingga tak memerhatikan substansi pendidikan. Mereka lulus dari sekolah favorit dengan nilai memuaskan tapi tak pernah mengetahui permasalahan masyarakat (hlm.4).

Dengan kata lain, lembaga pendidikan baik sekolah maupun perguruan tinggi sudah terpisah dari realitas dan tidak lagi menjawab permasalahan kehidupan. Alhasil, lembaga pendidikan hanya memiliki dua fungsi yakni meningkatkan mobilitas kelas sosial dan mempertahankan kelas sosial. Ini tentu menjadi masalah serius bagi Indonesia.

Sebab, para pendiri bangsa—yang notabene kaum terdidik—tidak pernah terpisah dari realitas sosialnya. Fungsi pendidikan, menurut Tan Malaka—salah satu pendiri bangsa, mestinya dapat mempertajam otak dan memperhalus perasaan. Dengan modal pendidikan yang para pendiri bangsa miliki, mereka menjadi seorang pemenang dengan memerdekakan Indonesia.

Iklan

Namun, jika pendidikan sudah terlepas dari realitas, maka dapat dikatakan Indonesia mendidik manusia-manusia pecundang. Tak heran, masyarakat dijangkiti oleh sikap pragmatis, dengan sering melontarkan pertanyaan. “Jika saya masuk sekolah atau perguruan tinggi ini, maka saya akan mendapat apa dan bekerja di mana?”

Menurut Darmaningtyas dalam Melawan Liberalisme Pendidikan (2014), kondisi pendidikan Indonesia yang seperti itu disebabkan oleh masuknya pola liberalisasi ekonomi ke dalam pendidikan. Pendidikan yang semestinya menjadi hak seluruh warga Indonesia, sudah menjadi barang dagangan. Proses liberalisasi tersebut justru terjadi pasca-reformasi melalui tahap komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi.

Melalui buku Mendidik Pemenang Bukan Pecundang, penulis coba memaparkan realitas pendidikan Indonesia melalui pengamatan langsung. Sebab, latar belakang kedua penulis adalah pendidik. J. Sumardianta merupakan Guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di Sekolah Menengah Atas (SMA) Kolese De Britto, Yogyakarta. Sedangkan, Dhitta Puti Sarasvati merupakan Dosen Sampoerna University. Hal tersebut tentu menjadi poin lebih dalam buku ini dibandingkan jika buku ini ditulis oleh pengamat pendidikan. Sebab, J. Sumardianta dan Dhitta Puti Sarasvati sehari-hari bersinggungan langsung dengan murid dan birokrasi.

Buku yang terdiri atas kumpulan tulisan ini dibagi menjadi tiga bab. Pertama, parade pandir kaisar telanjang. Bab ini menjelaskan mengapa pendidikan kurang membekali anak-anak untuk siap menghadapi dunia nyata. Kedua, jebakan balap tikus pendidikan. Bab  ini menjelaskan mengapa kaum terdidik bisa terjangkit mentalitas serakah. Ketiga, orang-orang yang kasmaran belajar.

Dalam memaparkan buku ini, penulis mendasari pada gagasan tokoh pendidikan Brazil, Paulo Freire. Freire ingin menjadikan pendidikan sebagai alat penyadaran bagi masyarakat. Freire kemudian membagi tahapan kesadaran menjadi tiga yakni magis, naif, dan kritis.

Kesadaran magis dicirikan dengan seseorang yang tidak menemukan kondisi ketertindasannya atau ketidakberdayaannya dengan struktur sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Kesadaran naif, manusia menyalahkan dirinya sendiri atas segala kondisi. Sedangkan, kesadaran kritis adalah manusia yang sadar dan mampu mengaitkan penyebab ketidakberdayaannya yang disebabkan oleh struktur sosial, budaya, ekonomi,  dan politik.

Oleh sebab itu, penulis ingin murid mencapai kesadaran kritis dengan berkali-kali menekankan pembelajaran berbasis realitas. Hal ini diawali dengan mengubah posisi guru dan murid menjadi setara. Lantas, guru mengkontekstualkan pembelajaran dengan pengalaman hidup sehari-hari. Dengan tujuan, murid mampu menghubungkan pembelajaran yang diberikan dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Alhasil, murid yang lulus dari sekolah tidak dalam kondisi telanjang menghadapi kenyataan hidup.

Salah satu cara dari pembelajaran berbasis realitas adalah adanya program live-in yang diterapkan oleh SMA Kolese De Britto, Yogyakarta. Murid-murid dipaksa meninggalkan identitas mereka. Tak peduli orang tuanya doktor atau rektor. Mereka hidup bersama induk semang di daerah miskin. Murid bergantung pada induk semang, tanpa dibekali uang sepeser pun. Bahkan ada yang ikut mengamen bersama induk semangya, keliling kampung (hlm.251-252).

Dengan metode ini diharapkan murid tak meninggalkan masyarakat dan tetap belajar bersama masyarakat. Jangan sampai ketika lulus, murid bersikap pragmatis, individualistis, dan materialistis. Atau bahkan membedakan orang yang berpendidikan dengan yang tidak, bahkan membedakan kerja otak dengan kerja otot. Seperti yang dituliskan oleh Tan Malaka dalam SI Semarang Onderwijs (1921), pendidikan mestinya bertujuan untuk dapat menjawab arus modal, berogranisasi atau bergaul, dan selalu berorientasi pada kaum kromo (kaum bawah).

Sebab, tolok ukur majunya pendidikan suatu negara bukan diukur melalui banyak medali olimpiade, lulus dengan nilai UN tinggi dan memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna, melainkan menjawab permasalahan kehidupan dan sejuah mana seluruh masyarakatnya kasmaran belajar. Kumpulan tulisan yang berisi pengalaman mengajar penulis dalam buku ini menarik untuk dibaca oleh siapa saja, terutama bagi mereka yang bergelut dalam dunia pendidikan.

Iklan

Gaya bahasa yang sederhana dan komunikatif juga memudahkan siapa saja untuk memahami ide dalam setiap tulisan. Sama seperti buku Guru Gokil Murid Unyu yang ditulis oleh J. Sumardianta pada 2013, sebelum memasuki inti tulisan ia memulai tulisan dengan anekdot, kutipan, atau kisah inspiratif untuk membangkitkan semangat pembaca untuk tetap membumi bersama masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh WS Rendra dalam salah satu puisinya, “Apa guna berpikir, jika terlepas dari masalah kehidupan?”

Virdika Rizky Utama