19 September 1945 merupakan peristiwa pasca proklamasi dimana peran pemuda dan Tan Malaka berpengaruh. Sayangnya peristiwa tersebut dilupakan tidak hanya itu bahkan Tan Malaka beserta pahlawan lainnya belum ada perhatian lebih dari pemerintah.

Pada 18 September 2016, Tan Malaka Institute bekerjasama dengan Direktorat Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyelenggarakan Dialog Kebangsaan. Dialog tersebut mengambil Tema “Peristiwa 19 September 1945, Masa Aksi dan Revolusi Pemuda” berlangsung di Museum Perumusan Naskah Proklamasi (ex-rumah Laksamana Maeda), Jakarta, pukul 10.00 WIB.

Pembicara dalam Dialog Kebangsaan ini menghadirkan Harry A. Poeze (Sejarahwan Belanda / Penulis Buku “Tan Malaka Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia”), Khatibul Umam Wiranu (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Komisi VIII / Tokoh Muda NU), dan Zulhasril Nasir (Guru Besar Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI)). Moderator dalam acara ini adalah Bob R. Randilawe (Aktivis Pergerakan / Pro Demokrasi (ProDem)).

Dialog Kebangsaan dibuka dengan sekilas pengantar oleh Bung Bob. Menurut ia, Tan Malaka adalah seorang pejuang revolusioner,  tidak hanya itu Tan Malaka juga sangat berjasa terhadap republik ini. “Tan Malaka menginspirasi kita terhadap sebuah prinsip melawan Kolonalisme dan Imperialisme Moderen(Nekolim),”katanya. Tan Malaka juga adalah seorang yang politis dan penerima extamen politik dari Soekarno setelah peristiwa IKADA.

Harry Poeze mengatakan Revolusi Indonesia dianggap merupakan titik puncak perjuangan rakyat Indonesia untuk mengusir kolonialisme Belanda. Mitos seputar Revolusi bermunculan yaitu setelah proklamasi 17 Agustus 1945 suatu negara Indonesia akan dipimpin oleh pemimpin Indonesia. Akan tetapi ketika saat itu Jepang masih menduduki Indonesia pada bulan pertama pasca proklamasi. “Mitos-mitos tersebut menjadi penghambat outlentik-outlentik berjalannya pemerintahan Indonesia,” ujarnya

Ia melanjutkan setelah proklamasi dikumandangkan, kabinet dibentuk. Posisi Indonesia saat  itu tidak begitu kuat, Harry berspekulasi Soekarno melakukan kolaborator dengan jepang. Kabinet tersebut tidak menunjukan keaktifan sehingga menimbulkan ketidaksenangan dikaum pemuda. Saat itu Kondisi Indonesia penuh dengan kekerasan polisi dan militer yang masih dikuasai Jepang. Sepertinya Jepang tidak ingin menyerahkan Indonesia kepada sekutunya. Melihat keperihatinan tersebut Tan Malaka merencanakan membuat Rapat Raksasa dan juga sebagai katalisator dalam suasan jalan buntu. “15 September 1945 tiba waktu untuk mengusulkan Rapat Raksasa,” kata Harry

Iklan

Pagi hari dengan triknya panasnya Jakarta tibalah masa aksi bersama dengan Tan Malaka menuju Lapangan IKADA. Tan Malaka memimpin demonstrasi tersebut. Dalam rapat IKADA inilah rakyat Jakarta dan sekitarnya membuktikan legitimasi politik bahwa “Indonesia sekarang Merdeka”.Akan tetapi semangat masa aksi luntur ketika mendengar pidato lima menit Soekarno. Dalam pidatonya Soekarno menghimbau agar masa aksi untuk pulang dan serahkan masalah ini kepada kabinet Syahrir.Tan Malaka tiga bulan setelah itu berusaha mengambil alih kekuasaan dan menggulingkan kabinet tersebut namun ia gagal. “Peristiwa Di Lapangan IKADA 19 September 1945 merupakan sejarah terpenting menyaksikan gelombang masa dan memaknai hak-hak bangsa dan aspirasi rakyat,” kata Harry

“Peristiwa IKADA adalah peristiwa hebat bagi saya, IKADA Time of Mind,”kata Zulhasril. Seluruh rakyat dari Jakarta, Bogor, dan Banten berkumpul dilapangan IKADA siap untuk mati untuk mempertahankan hak-hak bangsa. Sehubungan dengan peristiwa IKADA, hal yang sama terjadi di Semenanjung Malaya. Kala itu para pejuang Semenanjung Malaya mendirikan Partai Kesatuan Melayu Malaya (PKMM) pada tanggal 17 Oktober 1945.

Ia menambahkan, saat itu para pemuda malaya ingin bergabung dengan Indonesia Raya. Alasan para pemuda ingin bergabung dengan Indonesia Raya karena mereka masih keturunan pemuda Minangkabau. Kala itu Soekarno dan Hatta pernah berjanji untuk menyatukan Semenanjung Malaya dengan Indonesia Raya.“Saya tiidak tau kenapa para elit politik tidak memberikan perhatian kepada pemuda malaya,” katanya

“Sekali lagi kenapa hal ini tidak jadi perhatian khusus oleh pemerintah?,”cewanya. Ia melihat sampai saat ini pun masih ada pemuda Malaya yang ingin bergabung dengan Indonesia. Dalam makalahnya ia menampilkan beberapa pemuda Malaya yang mengibarkan bendera 100% merdeka (semboyan Tan Malaka).

Umam menyayangkan bahwa sejak orde baru hingga sekarang pemerintah belum memberikan hak-hak para pejuang dan pahlawan kemerdekaan. Pemeritah belum menempatkan Tan Malaka selayaknya pahlawan nasional bahkan kuburannya pun di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur tidak terawat dengan baik. “Karena itu saya menghimbau kepada pemerintah indonesia dibawah presiden Joko Widodo untuk mengumumkan dan mengukuhkan kembali Tan Malaka sebagai pahlawan kemerdekaan nasional dan mengembalikan kehormatan yang menjadi hak-haknya,”katanya.

“Kita tahu bahwa kepres presiden Soekarno, keputusan presiden RI nomer 53, yang ditandatangani presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan nasional,”jelasnya.

 

An nissa nur istiqomah

 

 

Iklan