Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi nomor 257/M/KPT/2017, menyatakan bahwa Sastra Indonesia dan Linguistik masing-masing berdiri menjadi program studi yang berbeda. Sedangkan di UNJ, keduanya masih dipayungi oleh satu prodi yakni Sastra Indonesia.
Pada semester tiga, mahasiswa Program studi (prodi) Sastra Indonesia dapat memilih peminatan antara sastra atau linguistik. Kedua peminatan ini memiliki kurikulum yang berbeda. Misalnya, mahasiswa peminatan sastra akan mendapat mata kuliah sastra nusantara, sastra klasik, dan sosiologi sastra yang tidak didapat oleh mahasiswa peminatan linguistik. Adapun mahasiswa peminatan linguistik akan mendalami sejarah perkembangan linguistik, filsafat bahasa, dan sosiolinguistik yang tidak dipelajari mahasiswa peminatan sastra.
Diakui oleh Miftahul Khairah Anwar, kepala prodi (kaprodi) Sastra Indonesia bahwa linguistik dan sastra merupakan dua rumpun ilmu yang berbeda. Pemisahan ini menjadi penting mengingat kematangan kurikulum yang nantinya akan didapat oleh mahasiswa.
Kebingungan akan konsentrasi pendidikan dialami oleh Bayu Argha Dhani, mahasiswa peminatan sastra. “Dari penamaan prodi sudah jelas banget. Seharusnya, muatannya juga yang sejurus dengan penamaannya,” ucap anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Prodi ini. ia mengeluhkan mahasiswa sastra yang juga masih mendapat satuan kredit semester (sks) mengenai linguistik, begitu juga sebaliknya.
Selain itu dengan masih berstatus prodi Sastra Indonesia gelar yang akan didapat keduanya sama, yaitu S.S alias Sarjana Sastra. Padahal, dalam nomenklatur menteri, mahasiswa yang mendalami linguistik seharusnya bergelar S.Li alias Sarjana Linguistik.
Namun gelar sarjana sastra bukan menjadi halangan, seperti yang dialami oleh Aningtias Jatmika. Ia mengatakan tidak pernah dipandang sebelah mata dengan gelar yang diterimanya, apabila lulusan sastra tidak mengerti bahasa. Alumni peminatan linguistik lulusan 2012 ini mengakui bahwa bahasa dan sastra saling beriringan. Sehingga di tempatnya bekerja masih melihatnya seperti itu. “Paling masih ada stigma yang mikir sarjana sastra jago bikin dan baca puisi alias pujangga,” canda karyawan Kompas.com tersebut.
Peminat Linguistik Lebih Tinggi
Tiap tahunnya peminatan terhadap linguistik lebih tinggi daripada sastra. Angkatan 2014, 25 mahasiswa sastra dan 29 mahasiswa linguistik. Begitupun angkatan 2015, 22 mahasiswa sastra dan 25 mahasiswa linguistik. Terakhir angkatan 2016, sekitar 40 mahasiswa sastra dan 51 mahasiswa linguistik.
Hal ini kontradiktif di kalangan mahasiswa karena dari penamaan prodi saja, Prodi Sastra Indonesia tanpa embel-embel linguistik. Menanggapi itu, Irsyad Ridho mengatakan bisa jadi mahasiswa yang mendaftar di UNJ ini tidak tertarik terhadap sastra, “makanya begitu tahu ada linguistik, mereka ambil.”
Penuturan dosen Sastra Indonesia tersebut kemudian diaminkan oleh Jessica Verbine Sembiring. “Sebenarnya masuk sastra juga karena udah tak tahu mau ambil apa. Bingung mau jadi apa,” kata mahasiswa 2016 ini. Jessica mengaku bahwa pilihannya pada linguistik juga melihat pada lapangan kerja yang dibuka. “Aku ingin banget menjadi ahli bahasa, apalagi di pengadilan,” cerita Jessica mengenai impiannya.
Namun berangkat dari permasalahan di lapangan, UNJ masih butuh waktu untuk bisa menyesuaikan keputusan Menteri tersebut. Seperti perihal jumlah pengajar linguistik baru ada lima orang, sedangkan sastra tujuh orang. Lalu, kesediaan sarana dan prasarana yang belum memadai. Apalagi Prodi Sastra Indonesia masih berbagi ruangan dengan Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia di gedung Q Kampus A UNJ.//Latifah