Saya rasa membahas cinta di bulan ini terbilang pas. Saya tertarik pada permasalahan bagaimana arti cinta berasa begitu bias.
Pembahasan saya berangkat dari suatu gosip tetangga sebelah. Gosip yang tak pernah saya lewati ketika tiba di rumah. Meski saya berusaha acuh, ini tak mungkin. Sebab, ibu saya di rumah seringkali membahasnya. Gosip ini bermula ketika Ibu tetangga menjodohkan anak gadisnya, sebut saja Menma, dengan lelaki paruh baya. Menurut kabar, Menma dijodohkan demi harta; harta bagi kemaslahatan keluarganya. Urusan cinta atau tidak itu belakangan.
Kali pertama mendengar cerita itu, saya tak percaya. Alah, masa sih? Saya merasa cerita ini terlalu dilebih-lebihkan. Dijodohkan demi harta. Saya membayangkan pedagang di pasar yang memajang barang dagangannya. Pembeli tak bisa mendapatkan barang di pajangan, kecuali ia membayar. Bagi saya, perjodohan demi harta sama seperti kegiatan tukar-menukar pasar.
Dalam kegiatan perjodohan, orang tua menjodohkan anaknya dengan pertimbangan-pertimbangan sosial, seperti kondisi ekonomi menantu. Pertimbangan-pertimbangan dalam memilih pasangan ternyata bukan hanya terjadi dalam perjodohan. Terkait dengan percintaan, dalam memilih pasangan, seseorang butuh pertimbangan. Termasuk mencari pacar pun demikian. Misalnya, dalam mencari pacar, seseorang mengedepankan kenyamanan visual. Mereka mencari pasangan yang enak dilihat bagi dirinya. Atau mungkin pertimbangan lain, entahlah. Subjektif memang. Dari sini dapat dilihat bahwa perkara memilih objek itu sangat penting dalam cinta.
Pandangan cinta bagi masyarakat yang seperti itu dikritik Erich Fromm dalam bukunya The Art of Loving. Banyak orang menganggap cinta merupakan suatu hal yang remeh. Mencari objek yang tepat untuk mencintai dan dicintai-lah yang sulit. Padahal persoalan cinta yang sebenarnya ada pada kemampuan seseorang untuk mencintai, bukan memilih objek.
Seseorang menuntut dirinya sendiri atau dituntut untuk mencari pasangan (dibaca: objek) yang sesuai dengan kriterianya. Kriteria yang diinginkan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman; sesuai dengan bentukan media. Di zaman modern yang serba digital ini, media mampu membentuk pandangan masyarakat dalam memilih pasangan. Misalnya, zaman sekarang lelaki ingin memiliki kekasih yang cantik seperti di iklan dan film di TV, yakni perempuan bertubuh langsing, berkulit putih nan mulus serta berkepribadian lemah dan lembut. Definisi cantik selalu berbeda setiap masa. Sama halnya dengan definisi tampan.
Selain perkara memilih objek, ada dua persoalan lain yang disebutkan oleh Erich, yakni corak zaman dan keinginan manusia untuk dicintai.
Mengenai corak zaman sudah disinggung sebelumnya. Contohnya, arti kata ‘cantik’ yang selalu berbeda di setiap masa. Erich memberikan contoh di Amerika pada 1920-an, di mana perempuan perokok, peminum, seksi, dan ulet dianggap menarik. Namun, perempuan yang menarik pada zaman sekarang ialah yang senang tinggal di rumah dan pemalu.
Persoalan kedua ini berkaitan dengan perkara pertama, memilih objek. Mereka yang menarik pada zamannya kemungkinan besar bisa memenangkan hati lawan jenis.
Permasalah terakhir dan yang paling penting yakni keinginan manusia untuk dicintai. Banyak orang mencari tahu bagaimana cara agar dicintai. Kedua masalah yang sudah disebutkan sebelumnya berakar dari sini. Sadar atau tidak, mereka memosisikan dirinya sebagai objek.
Upaya pembenahan diri secara fisik ataupun psikis ditempuh agar dirinya menarik, disukai, atau dicintai. Demi mencapai keinginan ini, orang-orang melakukan berbagai cara, seperti mempercantik penampilan, merawat diri, mencapai kesuksesan, bersikap sesuai aturan, tidak norak, dan sebagainya tanpa mengenyampingkan kriteria di suatu zaman.
Permasalahan soal cinta, terutama yang ketiga, menjadi ladang keuntungan bagi para kapitalis. Dengan menggunakan media dan mengendalikannya, para kapitalis yang haus akan keuntungan ini membentuk pandangan masyarakat agar mengikuti pasar. Sambil menyelam minum air. Mereka menyuguhkan tontonan yang dilakonkan oleh orang yang sempurna melalui iklan atau film. Karena selalu disuguhkan lewat media, tipe manusia sempurna ini menjadi dambaan semua insan yang melihatnya. Standar seseorang dalam melihat lawan jenis ternyata dibentuk media; sesuai dengan pasar keinginan kapitalis.
Dewasa ini, TV menjadi kebutuhan primer. Hampir seluruh keluarga di seluruh lapisan keluarga memilikinya. Informasi serta hiburan, secara visual, bisa didapat dari TV. Karenanya, TV dijadikan media yang cocok bagi para kapitalis untuk menyebarluaskan doktrinnya. Banyak acara yang menyuguhkan tontonan bertubuh langsing dan berkulit putih nan mulus. Lama-kelamaan pandangan lelaki tentang perempuan cantik dan menarik sama seperti itu.
Anggapan “sebelum dicintai, maka harus menarik”-lah yang akhirnya membuat perempuan mengikuti tuntutan zaman. Para kapitalis ini tidak kehabisan cara untuk mencari keuntungan. Menjual produk kecantikan dan mengiklankannya melalui TV atau media lain. Banyak produk kecantikan yang kemudian muncul demi mengatasi ketidaksanggupan perempuan menjadi cantik dan menarik ala media. Tidak hanya perempuan yang menjadi korban kapitalis. Lelaki pun demikian. Sudah banyak pula produk kecantikan—atau ketampanan, entahlah—yang dibuat untuk lelaki agar menjadi tampan dan menarik sesuai bentukan media.
Apa yang dibahas tadi hanyalah salah satu contoh dari banyak hal yang dijadikan ladang keuntungan bagi kapitalis. Hal yang tadinya tidak diperlukan menjadi diperlukan. Sulit memang ketika cinta bercampur dengan egoisme kapitalis. Karenanya persoalan cinta menjadi bias. Cinta memang bersifat abstrak. Akan tetapi, dengan pengaruh kapitalisme, menjadikan banyak orang mengartikan cinta dengan suatu materi yang konkret. Untuk mendapatkan dan mengeksresikan cinta rupanya memerlukan materi. Seperti uang untuk membeli produk kecantikan agar tampil menarik, misalnya. Atau coklat, bunga, dan kartu ucapan dalam perayaan Valentine. Atas nama cinta para kapitalis mencari keuntungan.
(Lutfia Harizuandini)