“Aku seorang manusia yang sunyi, dan tidaklah mungkin bahwa kau pun seorang yang sunyi pula.” (hlm. 16)

Begitulah penggambaran Sensei (dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai guru) terhadap dirinya dalam novel yang bertajuk Rahasia Hati (versi asli bertajuk Kokoro) kepada “Aku” yang merupakan seorang mahasiswa pascasarjana di perguruan tinggi Tokyo. Karakter Sensei yang merasa asing dalam masyarakat menyebabkan “Aku” penasaran dengan latar belakang kehidupannya.
Pertemuan antara “Aku” dengan Sensei dimulai di Kamakura. Saat itu, “Aku” yang sedang berlibur melihat Sensei ingin berenang di pantai, tetapi ia tidak sempat berkenalan. “Aku” menjadi penasaran dengan seorang tua ini dan ingin berkenalan lebih dekat dengannya.

Perkenalan dengan Sensei baru dimulai di sebuah pemakaman Zoshigaya, di Kota Tokyo, sesuai informasi yang didapat dari Shizu, istri Sensei tentang keberadaannya saat “Aku” berkunjung ke rumahnya. Saat di pemakaman, ia menanyakan tentang seseorang yang makamnya dikunjungi oleh Sensei, yang diketahui merupakan seorang teman lamanya.

Perubahan sifat Sensei yang tertutup disebabkan karena kesalahannya di masa muda menurut Shizu. Tetapi, ia lebih memilih untuk menceritakan sebagian dari masa mudanya Sensei. “Aku tak dapat mengatakan semuanya kepadamu. Jika kukatakan, Sensei tentu akan sangat marah. Aku hanya hendak menceritakan bagian-bagian peristiwa yang bagi Sensei agaknya tak keberatan kalau kukatakan kepadamu. (hlm. 43)”

Perlahan, Sensei mulai membuka tabir rahasia di dalam hatinya kepada “Aku”. Dimulai dari pertanyaan Sensei tentang sifat dari keluarga “Aku” dan lingkungan masyarakatnya di desa, ia juga menjelaskan latar belakang keluarganya. Sensei menganggap keluarganya sudah menipu dirinya demi harta warisan dan dia bersumpah untuk membenci keluarganya serta umat manusia pada umumnya (hlm. 70). Inilah hal yang menyebabkan Sensei mengasingkan diri dari lingkungan masyarakatnya.

Sensei juga mempertanyakan kepada istrinya tentang siapa yang akan meninggal terlebih dahulu (hlm. 79). Shizu dan “Aku” melihat isyarat aneh dari seorang tua ini. Belum sempat “Aku” mendalami karakter Sensei, ia disuruh kembali ke desa oleh ibunya karena ayahnya jatuh sakit.

Saat kembali ke tempat asalnya, “Aku” merasakan gelagat Sensei yang semakin aneh karena ia tidak membalas setiap pesan yang dikirimkan. Begitu paniknya terhadap kondisi Sensei, “Aku” ingin berangkat ke Tokyo tetapi juga memikirkan kondisi ayahnya yang juga sakitnya semakin parah. Situasi dilematis harus dihadapi oleh sang tokoh utama ini.

Iklan

Ketika surat dari Sensei sampai di hadapannya, ia juga dihadapkan dengan kondisi ayahnya yang sedang sakaratul maut. “Aku” membaca surat tersebut yang isinya tentang masa lalu dari Sensei (hlm. 128). Seiring kalimat demi kalimat yang dibaca, ayahnya dinyatakan meninggal oleh dokter yang merawatnya.

Dalam surat yang dibaca oleh “Aku”, terdapat kisah masa lalu Sensei bersama dengan sahabatnya, K. K juga merupakan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Tokyo. Ia mengajak sahabatnya untuk tinggal di rumah Okusan, seorang janda yang mempunyai anak perempuan bernama Ojosan. Sensei memilih meninggalkan rumah di Tokyo dan membawa surat-surat penting karena kekayaannya dikuras habis oleh pamannya. 

Konflik dimulai saat K juga menyatakan perasaan cintanya kepada Ojosan (hlm. 194), yang juga disukai oleh Sensei. Sesudah itu, Sensei tidak begitu lagi memedulikan persahabatannya dengan K. Ia mulai bersaing dengan K dalam mendapatkan cinta Ojosan. Sensei yang melihat K lebih pasif, mengambil kesempatan ini untuk melamar Ojosan dan disetujui oleh ibunya.

Tetapi, hal inilah yang membuat K putus asa. Malamnya, ia bunuh diri di kamarnya dan disaksikan oleh Sensei. Sensei merasa sangat bersalah dan berpikir bahwa ia menjadi penyebab sahabatnya bunuh diri. Setelah menikah dengan Ojosan (dikenal nantinya sebagai Shizu), ia menjadi semakin menderita seolah istrinya merupakan penghubung antara tragedi yang menimpa K di masa lalu. Sensei menuliskan dalam suratnya tentang betapa kuatnya ia merasakan dosa seorang manusia “Aku jadi jijik pada diriku sendiri sebagaimana aku pun jijik pada dunia selebihnya. Bertindak bagaimana saja pun jadi tak mungkin bagiku. (hlm. 254)” Perasaan itulah yang membuatnya untuk bersedia dihukum oleh orang lain.

Sensei juga merasakan dalam tulisannya bahwa hukuman itu bukanlah datang dari orang lain, melainkan dari dirinya sendiri. Ia melakukan tindakan bunuh diri, yang menurutnya tepat untuk menghapus semua dosanya. Dalam kalimat terakhir, Sensei menyuruh “Aku” untuk tidak memberitahukan hal ini kepada istrinya dan ia menyanggupi permintaan seorang tua itu.

Soseki seakan merefleksikan sebagian orang yang mentalnya mudah jatuh akibat dirundung masalah dalam kehidupan nyata. Saat ini, bukannya masalah itu yang diatur dengan lebih positif, tetapi masalah itu menjadi beban sehingga tindakan bunuh diri menjadi jalan satu-satunya untuk lepas dari masalah. 

Banyak kasus bunuh diri saat ini di Indonesia karena berbagai alasan, bahkan sampai ada yang menyiarkan tindakan sia-sia tersebut secara langsung di sosial media. Dalam novel ini, K memilih untuk bunuh diri karena tidak kuat menerima kenyataan bahwa orang yang dicintainya menikah dengan sahabatnya. Egoisme K membunuh dirinya sendiri dan membuat orang lain merasa bersalah. Bunuh diri memang akan menimbulkan masalah baru bagi orang-orang di sekitarnya setelah ditinggalkan.

Jelas bahwa manajemen masalah dari Sensei begitu buruk sehingga ia lebih memilih mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat, termasuk kepada istrinya. Dosa masa lalu dari Sensei terhadap sahabatnya yang tidak bisa ditawar lagi kepahitannya menjadi penyebab bunuh dirinya. Padahal, di balik dosa tersebut terdapat hidayah yang akan menjadikan pribadi yang lebih baik dalam diri manusia. “Allah tidak membebankan seseorang melainkan dengan kesanggupannya, (Q.S. Al-Baqarah: 286)” ayat ini mengisyaratkan bahwa Tuhan memberikan masalah kepada manusia sesuai dengan batas dalam penyelesaiannya. 

Novel ini memainkan dua sudut pandang penokohan, yaitu tokoh “Aku” sebagai mahasiswa yang ingin menggali pribadi Sensei yang tertutup dan juga tokoh Sensei yang urung lepas dari jerat dosanya di masa lalu. Sebagai penulis berpengalaman, Soseki sukses menyatukan dua sudut pandang ini menjadi cerita yang runut. 

Dalam novel ini, Soseki juga menyisipkan kondisi masyarakat pada masa Restorasi Meiji di awal abad ke-20, sesuai dengan latar hidup sang penulisnya. Berita di surat kabar tentang wafatnya Kaisar Meiji yang dibaca oleh ayahnya “Aku” (hlm. 96) menandakan latar waktu dari novel ini.

Iklan

Selain itu, Soseki juga menggambarkan paradigma masyarakat desa terhadap lulusan perguruan tinggi di kota seperti “Aku” (hlm. 90-91). Pendidikan tinggi menjadi barang langka, karena masih terdapat kesenjangan pendidikan antara desa dan kota di Jepang. Masyarakat desa juga menggambarkan setelah lulus dari perguruan tinggi akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. “Anakmu tentu bergaji besar kini setelah lulus dari universitas, (hlm. 98)” begitulah pertanyaan masyarakat desa terhadap keluarga “Aku” dalam novel ini. 

Di Indonesia, refleksi dari latar di novel tepat karena kesenjangan pendidikan antara desa dan kota masih ada. Keberhasilan seseorang dalam menimba ilmu di kota nantinya diharapkan masyarakat desa untuk memajukan lingkungannya dengan pendidikan. Karena, sebagian masyarakat desa merupakan orang-orang yang berlatar pendidikan rendah, bahkan mengalami buta huruf. Selain itu, juga terdapat paradigma di desa yang menganggap sekolah hanya membuang uang dan tenaga bagi para pemuda, sehingga kerja menjadi pilihan dalam mencukupi kebutuhan hidup. 

  • Judul: Rahasia Hati
  • Penulis: Natsume Soseki
  • Penerjemah: Hartojo Andangdjaja
  • Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
  • Tahun Terbit: 2016
  • Tebal Buku: 264 halaman
  • ISBN: 978-602-424-032-5

M. Rizky Suryana